Gerindra: Kasus Habib Bahar dan Ferdinand Bukti Indonesia Masih Terbelah

Senin, 10 Januari 2022 - 10:11 WIB
loading...
Gerindra: Kasus Habib...
Politikus Partai Gerindra Habiburokhman menilai kasus Habib Bahar dan Ferdinand Hutahaean membuktikan segregasi sosial akibat pilpres belum berakhir. Foto/ist
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Habiburokhman menyoroti dugaan kasus ujaran kebencian dan penistaan agama yang menimpa Habib Bahar Bin Smith dan Ferdinand Hutahaean. Menurut dia, kedua kasus tersebut merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia masih seperti terbelah.

"Saat ini kita seolah kembali terbelah terkait dua kasus dugaan ujaran kebencian yang sangat menarik perhatian," kata Habib dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (10/1/2022).

Anggota Komisi III DPR ini menjelaskan, beberapa saat lalu Bahar bin Smith diperiksa, ditangkap dan ditahan aparat penegak hukum terkait pernyataannya saat berdakwah. Sebagian masyarakat membelanya dan menyatakan apa yang dillakukannya murni bagian dari menyampaikan pendapat, mengkritik, yang menjadi bagian dari demokrasi yang tidak boleh dipidana.

"Sebagian lain meminta aparat menindak tegas dengan menangkap dan menahan beliau dengan alasan tindakan tersebut merupakan ujaran kebencian yang berbahaya," ujarnya.



Setelahj itu, Ferdinand Hutahaean dilaporkan dan ditetapkan sebagai tersangka dan dipanggil aparat terkait pernyataannya di Twitter. Sebagian masyarakat membelanya menyatakan apa yang disampaikan adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang walaupun tidak tepat, tetapi tak harus dihadapi dengan penetapan tersangka.

"Sebagian lain meminta aparat menindak tegas dengan menangkap dan menahan beliau dengan alasan tindakan tersebut merupakan ujaran kebencian yang berbahaya," imbuhnya.

Habib sendiri enggan membandingkan pribadi dua orang tersebut, yang jelas keduanya menggambarkan bahwa ketegangan antara dua kelompok anak bangsa yang disebabkan oleh Pilpres 2019 masih belum berakhir. Hal ini menimbulkan munculnya kasus-kasus hukum dan fenomena saling lapor terkait ujaran kebencian.

"Saya tidak membandingkan sosok pribadi dua orang warga negara Indonesia ini, tapi dua kasus itu menggambarkan belum berakhirnya ketegangan dua kelompok besar anak bangsa, yang akhirnya berimbas pada munculnya kasus-kasus hukum, fenomena saling melaporkan terkait ujaran kebencian," papar Habib.



Menurut legislator Dapil Jakarta Timur ini, setiap hari selama beberapa tahun ini, bangsa Indonesia terjebak pada perdebatan soal kasus-kasus dugaan ujaran kebencian seperti di atas. Kasus dan orang-orangnya bisa berbeda-beda, tetapi substansi perseteruan kita tetaplah sama. Kalau pelakunya kawan tentu akan dibela mati-matian, tetapi kalau lawan tentu ingin mereka dipenjarakan.

"Setiap hari kita berganti peran, kadang meminta orang dibiarkan bebas berbicara, besoknya minta orang lain dipenjara. Mau sampai kapan kita seperti ini? Berapa banyak waktu, tenaga, biaya yang kita kuras?" tukasnya.

Habib melihat, media sosial memang membuat bangsa Indonesia mudah sekali menyampaikan pendapat di ruang publik. Pernyataan spontan pun bisa dengan cepat tersebar dalam hitungan menit bahkan detik, kadang apa yang ingin disampaikan tidak sepenuhnya sama dengan apa yang dituliskan.

Terkadang apa yang dituliskan dimaknai berbeda oleh orang yang menyaksikan. Hal tersebut yang membuat siapapun mudah terjerat kasus hukum dugaan ujaran kebencian. "Jangan dikira yang dekat kekuasaan bisa terus selamat, sebab kalau tekanan dahsyat tetap bisa juga terjerat," ungkapnya.



Oleh karena itu, dia mengingatkan, penegakan hukum atas dugaan ujaran kebencian tidak bisa dilakukan dengan semangat untuk mencari kesalahan semata. Penegakan hukum terkait ujaran harus dilakukan dengan semangat restorasi berkeadilan atau disebut keadilan restoratif. Keadilan restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

"Aparat penegak hukum hendaknya berkomunikasi dengan para pihak terutama korban dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi," terang Habib.

"Dengan keadilan restoratif, hukum tidak diabaikan, tapi justru ditegakkan dengan penuh kebijaksanaan dan keadilan. Kita kedepankan dialog daripada saling menonjok,kita hindari kesalahpahaman dan perkuat persaudaraan," pungkasnya.
(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1734 seconds (0.1#10.140)