Kaki Prajurit Kopassus Ini Patah, Mampu Lumpuhkan Teroris dalam Waktu 3 Menit

Selasa, 04 Januari 2022 - 04:59 WIB
loading...
Kaki Prajurit Kopassus...
Peristiwa pembajakan pesawat DC 9 milik Garuda Indonesia atau disebut Woyla, terjadi pada 28-31 Maret 1981. Peristiwa ini menyisakan sejumlah cerita heroik. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Peristiwa pembajakan pesawat DC 9 milik Garuda Indonesia atau disebut juga Woyla , terjadi pada 28-31 Maret 1981. Peristiwa ini menyisakan sejumlah cerita heroik yang ditampilkan para prajurit Kopassus .



Keduanya, baik Jenderal M Yusuf dan Letjen Benny saat itu tengah berada di Ambon dalam rangka latihan gabungan ABRI. Secara pribadi, Yusuf langsung memerintahkan Benny untuk mengatasi pembajakan pesawat Garuda Woyla.



Yusuf juga memerintahkan Danjen Kopassus Brigjen Yogi S Memet, untuk mempersiapkan pasukan. Secara cepat Yogi menghubungi markas Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), sekarang menjadi
Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Cijantung.

Lewat telepon, Yogi memerintahkan Pejabat Asisten 2 Operasi Kopassus Letkol Sintong Panjaitan, untuk memimpin operasi pembebasan sandera. Padahal kondisi Sintong kala itu tidak begitu baik. Kakinya patah saat latihan penerjunan.

Sintong sempat menjalani perawatan selama 2 minggu di RSPAD Gatot Subroto. Setelah dinyatakan membaik, Sintong diperbolehkan pulang. Namun kondisinya belum pulih benar, kakinya masih sulit berjalan normal. Dia harus menggunakan dua tongkat penyangga untuk berjalan.

Namun karena dia diberi kepercayaan untuk memimpin operasi, Sintong tidak memperdulikan kondisi kakinya. Dikutip dari DC Channel, Sintong segera membentuk grup antiteror dari grup 4 Sandhi Yudha yang berjumlah 30 orang.

Sementara Benny Moerdani dari Ambon segera terbang di Jakarta. Saat tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, dia bersama Sudomo menghadap Presiden Soeharto. Benny menyampaikan ke Soeharto untuk mengambil opsi militer dalam mengatasi pembajakan.

Minggu 29 Maret 1981 malam, Benny dan pasukan antiteror bersiap berangkat ke Thailand. Sebelum berangkat, Benny inspeksi pasukan. Saat inspeksi, dilihatnya pasukan menggunakan senjata serbu jenis M16 A1.

Benny mengatakan, kalau senjata M16 ditembakkan ke dalam pesawat, bisa meledak pesawat itu. Karena itu Benny memerintahkan untuk mengganti senapan serbu heads and key MP5 kaliber dua 9 mm buatan Jerman.

Namun, pasukan tersebut belum ada yang pernah memegang senjata tersebut. Hal ini tentu saja berbahaya, karena belum tahu cara mengoperasikan senjata baru itu. Karenanya Sintong memandang, setiap senjata baru harus diuji coba dulu.

Oleh sebab itu Sintong menolak saat pasukannya harus mengganti senjatanya dengan MP5. Namun Benny tegas untuk memerintahkan mengganti senjata itu. Alhasil, Sintong meminta waktu kepada Benny untuk pasukannya berlatih senjata MP5.

Saat pasukan berlatih, ternyata benar senjata MP5 tersebut macet. Padahal senjata ini yang dipakai dalam pembebasan sandera pesawat Jerman di Somalia. Ternyata diketahui, bahwa peluru yang dipakai sudah kedaluwarsa. Benny pun memerintahkan Letkol Kuntara untuk mengambil peluru baru di kantornya.

Benar saja, begitu diganti pelurunya dengan yang baru, senjata bisa digunakan. Segera mereka langsung terbang ke Thailand. Setelah sampai di Thailand, pasukan Sintong segera berlatih membebaskan sandera. Sementara Benny melobi pemerintah Thailand untuk meminta izin operasi pembebasan sandera.

Awalnya pemerintah Thailand menolaknya, namun dengan diplomasi Benny dan atas dorongan Presiden Soeharto, pemerintah Thailand akhirnya mengizinkan pasukan Sintong untuk menggelar operasi militer.

Rencana pasukan antiteror Kopassus melakukan penyerbuan ke dalam pesawat pada pukul 4 subuh. Benny beranggapan pada jam tersebut para pembajak pasti sudah bangun dari tidurnya. Untuk itu rencana penyerbuan dimajukan menjadi pukul 3, di mana para pembajak diperkirakan masih terlelap.

Kemudian saat waktunya tiba, pasukan Kopassus bergerak dari arah belakang pesawat, di mana Benny tiba-tiba ikut masuk dalam pasukan dan ini di luar skenario. Pasukan selanjutnya menuju pintu depan pesawat sebelah kiri.

Dalam peristiwa pembebasan sandera tersebut, terjadi kontak tembak. Anggota tim Antiteror Calon Perwira Letnan Ahmad Kirang yang masuk ke pesawat lewat pintu belakang terkena tembakan pembajak.

Tembakan itu mengenai perut bawah Kirang yang tak terlindungi rompi antipeluru. Dia pun tersungkur. Di saat tembak menembak terjadi, pilot Herman Rante terkena tembakan dari pembajak tepat di kepalanya.

Dalam operasi ini, pihak pembajak yang berjumlah 5 orang semuanya tewas. Sementara dari pihak Kopassus kehilangan satu prajurit, yakni Letnan Ahmad Kirang. Pilot Herman Rante juga meninggal, setelah menjalani perawatan selama 6 hari di rumah sakit Thailand. Operasi ini berlangsung singkat, kurang lebih 3 menit.

Diketahui, pembajakan pesawat Garuda Woyla ini disadur dari sejumlah buku, di antaranya Benny Moerdani Profil Prajurit Negarawan karya Julius Poor, Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando karya Hendro Subroto, Jenderal M Jusuf Panglima Para Prajurit karya Atmadji Sumarkidjo, dan
Buku Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1033 seconds (0.1#10.140)