Kementerian Agama dan Gema Moderasi Beragama
loading...
A
A
A
Wildani Hefni
Direktur Rumah Moderasi Beragama, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Tanggal 3 Januari diperingati sebagai Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama yang dalam bahasa lain disebut sebagai hari lahir. Kementerian yang memiliki tagline Ikhlas Beramal ini ditetapkan dengan Penetapan Pemerintah nomor 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946. Peringatan HAB pada tahun 2022 ini menandakan kementerian ini telah berusia 76 tahun. HAB dirayakan untuk menggugah semangat dan menguatkan amal bakti dalam melayani serta membimbing kehidupan beragama di republik ini.
Tentu, banyak hal telah dilakukan oleh Kementerian Agama, utamanya dalam menghidupkan keberagamaan yang damai dan toleran. Eksistensi Kementerian Agama dalam konstruksi teoritis dipandang sebagai kementerian yang secara intensif menangani dan mengelola dinamika dan corak kehidupan keagamaan. Persoalan ini, jika ditarik lebih luas, maka sejatinya Kementerian Agama mengurusi hampir keseluruhan dinamika kehidupan bangsa, kaitannya dengan kehidupan keagamaan, hubungan antarumat beragama, nation-building, dan integrasi bangsa secara umum.
Tidak heran, kementerian ini senantiasa menjadi perbincangan publik, bukan melulu karena persoalan “person” atau karakter dari seorang pimpinan tertinggi, melainkan karena peran dan kontribusinya yang sangat besar dalam republik ini, terutama dalam menjahit tenunan sosial (social fabric) keutuhan bangsa. Derap langkah kementerian ini juga akan dijadikan indikator penting tentang situasi dan perkembangan masyarakat-bangsa.
Tidak berlebihan, sejarawan Taufik Abdullah menyebut dalam kata pengantar buku Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (1998), bahwa langkah-langkah Menteri Agama serta keberhasilan dan kegagalan, kegembiraan dan kekecewaannya, bukan saja indikator dari kinerja Departemen (Kementerian) Agama yang dipimpinnya, tetapi juga sesungguhnya merupakan gambaran perkembangan sosial, politik, dan ekonomi serta budaya yang sedang terjadi.
Sebagai refleksi pada HAB ke-76 ini, kita patut bersyukur atas beberapa capaian yang cukup menggembirakan. Jika kita cek data terbaru dengan menggunakan prinsip evidentalism di atas realitas yang majemuk, indeks kesalehan umat beragama mengalami kenaikan yaitu 83,92, sebelumnya pada 2020 capaiannya 82,52. Sementara indeks kerukunan umat beragama, sebagaimana survei Balitbang Diklat Kemenag 2021, berada dalam ketegori baik. Jika capaian 2020 sebesar 67,46, berbeda capaian pada tahun 2021 yang mengalami kenaikan menjadi 72,39.
Tantangan Keberagamaan
Pada satu sisi, capaian itu sangat menggembirakan. Namun pada sisi yang lain, tantangan keberagamaan di republik ini masih menyisakan rimba raya “kecelakaan sosial”. Monopoli tafsir keagamaan, sikap intoleran, dan sektarianisme masih menghantui wajah republik ini. Beruntung, Gus Menteri Yaqut Cholil Qoumas bergerak cepat, sigap dan berani.
Satu tahun memimpin Kementerian Agama, Gus Men dengan cerdas melihat beberapa hal fundamental yang harus diselesaikan, khususnya berkaitan dengan kehidupan keberagamaan. Pertama, kerukunan umat beragama. Karena itu, program penguatan moderasi beragama menjadi program prioritas.
Menguatnya arus kelompok konservatisme dan ekslusivisme yang salah satunya ditandai dengan lahirnya politik identitas dan polarisasi yang dalam, meniscayakan untuk menaikkan konsentrasi pada penguatan komitmen kebangsaan dengan merawat keindonesiaan. Gus Men sering menegaskan bahwa dirinya adalah Menteri Semua Agama. Penasbihan ini sekaligus menguatkan secara kelembagaan bahwa Kementerian Agama adalah milik semua agama.
Kedua, pernyataan Gus Men saat ditunjuk sebagai Menteri Agama langsung menghentak publik. Gus Men secara tegas menyebutkan, melalui Kementerian Agama ia akan menjadikan agama sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Gus Men hendak menunjukkan, baik melalui argumen akademis maupun secara empirik, bahwa agama menjadi inspirasi sebagai tatanan nilai dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Tatanan ini kemudian akan mengantarkan pada terbangunnya soliditas dan solidaritas kemanusiaan. Bukan sebaliknya, agama bukan diperalat sebagai aspirasi kepentingan subyektif kelompok tertentu, bahkan untuk memperoleh kekuasaan.
Direktur Rumah Moderasi Beragama, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Tanggal 3 Januari diperingati sebagai Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama yang dalam bahasa lain disebut sebagai hari lahir. Kementerian yang memiliki tagline Ikhlas Beramal ini ditetapkan dengan Penetapan Pemerintah nomor 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946. Peringatan HAB pada tahun 2022 ini menandakan kementerian ini telah berusia 76 tahun. HAB dirayakan untuk menggugah semangat dan menguatkan amal bakti dalam melayani serta membimbing kehidupan beragama di republik ini.
Tentu, banyak hal telah dilakukan oleh Kementerian Agama, utamanya dalam menghidupkan keberagamaan yang damai dan toleran. Eksistensi Kementerian Agama dalam konstruksi teoritis dipandang sebagai kementerian yang secara intensif menangani dan mengelola dinamika dan corak kehidupan keagamaan. Persoalan ini, jika ditarik lebih luas, maka sejatinya Kementerian Agama mengurusi hampir keseluruhan dinamika kehidupan bangsa, kaitannya dengan kehidupan keagamaan, hubungan antarumat beragama, nation-building, dan integrasi bangsa secara umum.
Tidak heran, kementerian ini senantiasa menjadi perbincangan publik, bukan melulu karena persoalan “person” atau karakter dari seorang pimpinan tertinggi, melainkan karena peran dan kontribusinya yang sangat besar dalam republik ini, terutama dalam menjahit tenunan sosial (social fabric) keutuhan bangsa. Derap langkah kementerian ini juga akan dijadikan indikator penting tentang situasi dan perkembangan masyarakat-bangsa.
Tidak berlebihan, sejarawan Taufik Abdullah menyebut dalam kata pengantar buku Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (1998), bahwa langkah-langkah Menteri Agama serta keberhasilan dan kegagalan, kegembiraan dan kekecewaannya, bukan saja indikator dari kinerja Departemen (Kementerian) Agama yang dipimpinnya, tetapi juga sesungguhnya merupakan gambaran perkembangan sosial, politik, dan ekonomi serta budaya yang sedang terjadi.
Sebagai refleksi pada HAB ke-76 ini, kita patut bersyukur atas beberapa capaian yang cukup menggembirakan. Jika kita cek data terbaru dengan menggunakan prinsip evidentalism di atas realitas yang majemuk, indeks kesalehan umat beragama mengalami kenaikan yaitu 83,92, sebelumnya pada 2020 capaiannya 82,52. Sementara indeks kerukunan umat beragama, sebagaimana survei Balitbang Diklat Kemenag 2021, berada dalam ketegori baik. Jika capaian 2020 sebesar 67,46, berbeda capaian pada tahun 2021 yang mengalami kenaikan menjadi 72,39.
Tantangan Keberagamaan
Pada satu sisi, capaian itu sangat menggembirakan. Namun pada sisi yang lain, tantangan keberagamaan di republik ini masih menyisakan rimba raya “kecelakaan sosial”. Monopoli tafsir keagamaan, sikap intoleran, dan sektarianisme masih menghantui wajah republik ini. Beruntung, Gus Menteri Yaqut Cholil Qoumas bergerak cepat, sigap dan berani.
Satu tahun memimpin Kementerian Agama, Gus Men dengan cerdas melihat beberapa hal fundamental yang harus diselesaikan, khususnya berkaitan dengan kehidupan keberagamaan. Pertama, kerukunan umat beragama. Karena itu, program penguatan moderasi beragama menjadi program prioritas.
Menguatnya arus kelompok konservatisme dan ekslusivisme yang salah satunya ditandai dengan lahirnya politik identitas dan polarisasi yang dalam, meniscayakan untuk menaikkan konsentrasi pada penguatan komitmen kebangsaan dengan merawat keindonesiaan. Gus Men sering menegaskan bahwa dirinya adalah Menteri Semua Agama. Penasbihan ini sekaligus menguatkan secara kelembagaan bahwa Kementerian Agama adalah milik semua agama.
Kedua, pernyataan Gus Men saat ditunjuk sebagai Menteri Agama langsung menghentak publik. Gus Men secara tegas menyebutkan, melalui Kementerian Agama ia akan menjadikan agama sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Gus Men hendak menunjukkan, baik melalui argumen akademis maupun secara empirik, bahwa agama menjadi inspirasi sebagai tatanan nilai dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Tatanan ini kemudian akan mengantarkan pada terbangunnya soliditas dan solidaritas kemanusiaan. Bukan sebaliknya, agama bukan diperalat sebagai aspirasi kepentingan subyektif kelompok tertentu, bahkan untuk memperoleh kekuasaan.