Ratio Legis Kawin Siri
loading...
A
A
A
Ilman Hasjim
Hakim Yustisial Mahkamah Agung Republik Indonesia
ISU keabsahan kawin siri atau kawin tidak tercatat kembali hangat dalam ruang-ruang diskusi. Benturan norma regulasi dan kewenangan antarlembaga diduga menjadi salah satu pemicu. Imbasnya, warna hukum kawin siri menjadi abu-abu. Padahal sejak lama undang-undang menghendaki perkawinan untuk dicatat. Apalagi konstitusi sudah mendeklarasi Indonesia sebagai negara hukum. Konsekuensinya, segala hal terkait hajat hidup masyarakat banyak dan ragam pola penyelenggaraan negara harus diatur dengan hukum.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dan wanita untuk hidup bersama. Demikian makna tersirat pasal pembuka undang-undang perkawinan. Hal senada juga terurai dalam kompilasi hukum Islam (KHI). Ringkasan kalimat di atas menunjukkan perkawinan merupakan institusi penting dalam kehidupan manusia. Sebab, hanya dengan perkawinan terjadi penyatuan jiwa-raga dua insan berbeda dengan hak dan kewajiban masing-masing. Sehingga wajar kiranya prosesi ijab-kabul yang dilaksanakan harus terselenggara dengan paripurna.
Kini, legalitas kawin siri kembali memunculkan kontroversi. Cuplikan video kebolehan nikah tidak berakta tersebut dapat dicatat dalam dokumen resmi menuai polemik. Padahal regulasi telah lama mengatur. Bila belum berkekuatan hukum, mereka yang terjebak dalam “ikatan suci” tak tercatat harus mengajukan pengesahan perkawinan ke pengadilan. Sebab, meskipun sah menurut agama sebagaimana maksud pasal 2 ayat 1 undang-undang perkawinan, secara hukum kawin siri harus dinyatakan tidak pernah terjadi. Karena dilakukan tanpa “sepengetahuan” negara. Maka menjadi aneh ketika yang tak pernah terjadi dituliskan dalam akta kependudukan milik negara.
Keabsahan Perkawinan
Beberapa waktu lalu media komunikasi masyarakat dibanjiri pula pemberitaan kawin siri sepasang public figure. Sekilas tak ada masalah sepanjang perkawinan dilakukan sesuai tuntunan agama. Rukun dan syarat perkawinan telah terpenuhi guna mengukur sah tidaknya prosesi yang dilangsungkan. Akan tetapi, meski dianggap biasa oleh (mungkin) banyak kalangan, namun yang dilakukan tak bernilai edukasi pada khalayak. Seakan menjadi pembenar. Padahal sejatinya praktik demikian harus dihindari.
Keabsahan perkawinan merupakan masalah penting yang harus dipahami. Terlebih dalam hukum Islam. Telah menjadi pemahaman umum, apabila tidak tercatat pada register kantor urusan agama, perkawinan yang dilangsungkan wajib dinyatakan sah jika sudah memenuhi ketentuan rukun dan syarat. Meskipun demikian, perkawinan macam ini tidak dibenarkan karena dilakukan tanpa prosedur resmi.
Selanjutnya, ketika dalam kacamata agama telah dianggap sah, bukan berarti kawin siri menjadi tren, membudaya, dan tidak masalah untuk dilakoni. Sebab akibat yang ditimbulkan di belakang hari bisa tampak negatif dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Misalnya tentang perlindungan, tentang pengayoman, tentang pemberian kehidupan yang layak, dan juga tentang penghindaran kesewenang-wenangan.
Dalam praktiknya, pencatatan pada kolom tertentu dalam “kartu keluarga” bagi pelaku kawin siri didasarkan pada surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM). Konsensus suami istri dalam SPTJM juga dikuatkan dengan keterangan dua saksi. Pertanyaannya kemudian, apa jaminan kawin siri yang dicatatkan telah sah dan sesuai ketentuan hukum agama? Jika SPTJM yang diperlukan untuk memastikan peristiwa kelahiran anak, tentu tidak masalah. Karena faktanya jelas. Menjadi problem bila itu dialami pasangan suami istri kawin tak tercatat. Apalagi perkawinan sangat berkait erat dengan kejelasan hukum berdimensi ukhrawi. Berhubungan dengan halal dan haram.
Proses pencatatan kawin siri pada akta resmi rasanya kurang pas dan jauh dari kemaslahatan. Meski tidak dalam rangka menikahkan, tapi dampak sosialnya bisa negatif. Di samping itu, adanya kawin siri seakan menyimpan banyak misteri. Padahal kawin normal dan tercatat termasuk perkara mudah untuk dilakukan. Terlebih di era sekarang. Terkait ini, masalah lainnya adalah apa jaminan bila istri dari kawin siri adalah orang pertama? Bukan kedua, ketiga, dan seterusnya. Bukankah ketidakjelasan ini bisa memberi konsekuensi buruk di masa mendatang. Bahwa mencegah keburukan lebih utama daripada meraih kebaikan. Karenanya, perkawinan dan pengakuan atas perkawinan yang dilakukan harus dengan penuh kehati-hatian.
Benturan Kewenangan
Perkawinan perlu diatur guna mencipta ketertiban. Bisa dibayangkan jika negara tak ikut hadir dalam masalah sensitif ini. Apa yang akan terjadi dalam kehidupan sosial. Karena pentingnya masalah ini, sejak lama, sekira setahun usai Indonesia merdeka terbit UU No 22/1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Bahkan, jauh sebelum itu, di masa pra kemerdekaan telah terbit beberapa regulasi terkait hal serupa.
Hakim Yustisial Mahkamah Agung Republik Indonesia
ISU keabsahan kawin siri atau kawin tidak tercatat kembali hangat dalam ruang-ruang diskusi. Benturan norma regulasi dan kewenangan antarlembaga diduga menjadi salah satu pemicu. Imbasnya, warna hukum kawin siri menjadi abu-abu. Padahal sejak lama undang-undang menghendaki perkawinan untuk dicatat. Apalagi konstitusi sudah mendeklarasi Indonesia sebagai negara hukum. Konsekuensinya, segala hal terkait hajat hidup masyarakat banyak dan ragam pola penyelenggaraan negara harus diatur dengan hukum.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dan wanita untuk hidup bersama. Demikian makna tersirat pasal pembuka undang-undang perkawinan. Hal senada juga terurai dalam kompilasi hukum Islam (KHI). Ringkasan kalimat di atas menunjukkan perkawinan merupakan institusi penting dalam kehidupan manusia. Sebab, hanya dengan perkawinan terjadi penyatuan jiwa-raga dua insan berbeda dengan hak dan kewajiban masing-masing. Sehingga wajar kiranya prosesi ijab-kabul yang dilaksanakan harus terselenggara dengan paripurna.
Kini, legalitas kawin siri kembali memunculkan kontroversi. Cuplikan video kebolehan nikah tidak berakta tersebut dapat dicatat dalam dokumen resmi menuai polemik. Padahal regulasi telah lama mengatur. Bila belum berkekuatan hukum, mereka yang terjebak dalam “ikatan suci” tak tercatat harus mengajukan pengesahan perkawinan ke pengadilan. Sebab, meskipun sah menurut agama sebagaimana maksud pasal 2 ayat 1 undang-undang perkawinan, secara hukum kawin siri harus dinyatakan tidak pernah terjadi. Karena dilakukan tanpa “sepengetahuan” negara. Maka menjadi aneh ketika yang tak pernah terjadi dituliskan dalam akta kependudukan milik negara.
Keabsahan Perkawinan
Beberapa waktu lalu media komunikasi masyarakat dibanjiri pula pemberitaan kawin siri sepasang public figure. Sekilas tak ada masalah sepanjang perkawinan dilakukan sesuai tuntunan agama. Rukun dan syarat perkawinan telah terpenuhi guna mengukur sah tidaknya prosesi yang dilangsungkan. Akan tetapi, meski dianggap biasa oleh (mungkin) banyak kalangan, namun yang dilakukan tak bernilai edukasi pada khalayak. Seakan menjadi pembenar. Padahal sejatinya praktik demikian harus dihindari.
Keabsahan perkawinan merupakan masalah penting yang harus dipahami. Terlebih dalam hukum Islam. Telah menjadi pemahaman umum, apabila tidak tercatat pada register kantor urusan agama, perkawinan yang dilangsungkan wajib dinyatakan sah jika sudah memenuhi ketentuan rukun dan syarat. Meskipun demikian, perkawinan macam ini tidak dibenarkan karena dilakukan tanpa prosedur resmi.
Selanjutnya, ketika dalam kacamata agama telah dianggap sah, bukan berarti kawin siri menjadi tren, membudaya, dan tidak masalah untuk dilakoni. Sebab akibat yang ditimbulkan di belakang hari bisa tampak negatif dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Misalnya tentang perlindungan, tentang pengayoman, tentang pemberian kehidupan yang layak, dan juga tentang penghindaran kesewenang-wenangan.
Dalam praktiknya, pencatatan pada kolom tertentu dalam “kartu keluarga” bagi pelaku kawin siri didasarkan pada surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM). Konsensus suami istri dalam SPTJM juga dikuatkan dengan keterangan dua saksi. Pertanyaannya kemudian, apa jaminan kawin siri yang dicatatkan telah sah dan sesuai ketentuan hukum agama? Jika SPTJM yang diperlukan untuk memastikan peristiwa kelahiran anak, tentu tidak masalah. Karena faktanya jelas. Menjadi problem bila itu dialami pasangan suami istri kawin tak tercatat. Apalagi perkawinan sangat berkait erat dengan kejelasan hukum berdimensi ukhrawi. Berhubungan dengan halal dan haram.
Proses pencatatan kawin siri pada akta resmi rasanya kurang pas dan jauh dari kemaslahatan. Meski tidak dalam rangka menikahkan, tapi dampak sosialnya bisa negatif. Di samping itu, adanya kawin siri seakan menyimpan banyak misteri. Padahal kawin normal dan tercatat termasuk perkara mudah untuk dilakukan. Terlebih di era sekarang. Terkait ini, masalah lainnya adalah apa jaminan bila istri dari kawin siri adalah orang pertama? Bukan kedua, ketiga, dan seterusnya. Bukankah ketidakjelasan ini bisa memberi konsekuensi buruk di masa mendatang. Bahwa mencegah keburukan lebih utama daripada meraih kebaikan. Karenanya, perkawinan dan pengakuan atas perkawinan yang dilakukan harus dengan penuh kehati-hatian.
Benturan Kewenangan
Perkawinan perlu diatur guna mencipta ketertiban. Bisa dibayangkan jika negara tak ikut hadir dalam masalah sensitif ini. Apa yang akan terjadi dalam kehidupan sosial. Karena pentingnya masalah ini, sejak lama, sekira setahun usai Indonesia merdeka terbit UU No 22/1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Bahkan, jauh sebelum itu, di masa pra kemerdekaan telah terbit beberapa regulasi terkait hal serupa.