Muktamar NU dan Kesejahteraan Nahdliyin

Rabu, 22 Desember 2021 - 13:18 WIB
loading...
Muktamar NU dan Kesejahteraan Nahdliyin
Abdul Halim (Ist)
A A A
Abdul Halim
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan
(Center of Maritime Reform for Humanity), Jakarta

MUKTAMAR Nahdlatul Ulama ke-34 bakal digelar pada 23-25 Desember 2021 di Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Dengan mengambil tema “Satu Abad NU: Kemandirian dalam Berkhidmat untuk Peradaban Dunia”, muktamar kali ini memiliki makna yang sangat strategis. Betapa tidak, di tengah ancaman polarisasi umat, elite pemimpin NU dituntut untuk konsisten menghadirkan wajah Islam Nusantara yang moderat dan merangkul yang lain. Terlebih lagi, di tingkat akar rumput, publik mafhum bahwa warga NU (nahdliyin) didominasi oleh kaum tradisionalis yang berprofesi sebagai petani, nelayan, dan petambak garam di perdesaan dan bergelut dengan ancaman kemiskinan.

Badan Pusat Statistik (15 Juli 2021) menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia turun tipis sebanyak 0,04% dari 27,55 juta pada September 2020 menjadi 27,54 juta. Lebih dari itu, BPS juga mengungkap fakta bahwa berdasarkan wilayah, kemiskinan di perdesaan lebih tinggi dari perkotaan. Angka kemiskinan di perdesaan mencapai 13,1%, sementara di perkotaan sebesar 7,89%. Selain disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang masih melanda Indonesia, ancaman kemiskinan juga terjadi sebagai imbas dari pemilihan kebijakan yang kontra produktif, seperti alih fungsi lahan pertanian dan wilayah pesisir, impor komoditas pangan, dan terlampau kuatnya cengkeraman oligarki di lapangan politik dan ekonomi yang mematikan mata pencaharian kaum nahdliyin. Belum lagi akibat dampak perubahan iklim yang kian serius dirasakan oleh kaum tani, nelayan, dan petambak garam di perdesaan. Inilah pekerjaan rumah elite NU di Muktamar Bandar Lampung.

Seperti diketahui, sejak awal berdirinya, NU telah menegaskan bahwa peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat adalah prioritas utama jam’iyyah diniyah ini. Kenapa hal ini sedemikian pentingnya? KH Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa setiap kegiatan Nahdlatul Ulama yang diorientasikan untuk kemaslahatan manusia dipandang sebagai perwujudan amal ibadah yang didasarkan pada paham keagamaan Aswaja.

Tak mengherankan apabila kesadaran religius yang mengarah pada gagasan kemajuan bersama ini dituangkan di dalam Statoeten Nahdlatoel Oelama 1926, yakni bahwa (NU mesti) “mendirikan badan-badan oentoek memajoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh sjara’ agama Islam”. Dalam konteks inilah, NU berkewajiban untuk menumbuhkan sikap partisipatif kepada setiap usaha nahdliyin yang bertujuan membawa masyarakat kepada kehidupan yang mendatangkan maslahat.

Pada perkembangannya, usaha NU untuk mendatangkan kemaslahatan bagi nahdliyin sejatinya jauh lebih mudah ketimbang periode 1950-an. Betapa tidak, di abad XXI ini, NU tengah memanen apa yang telah ditanamnya sejak dasawarsa 1980-1990-an. Saat itu, dalam istilah Cak Nur, terjadi fenomena baby-booming atau muncul dan berkembang pesatnya generasi muda terdidik dan terampil nahdliyin. Cak Nur memprediksi, dalam 25 tahun ke depan, NU akan memanen bibit-bibit mudanya. Saat musim panen tiba, mereka akan menguasai sektor-sektor penting dalam struktur kelembagaan negara dan masyarakat di Indonesia. Apa yang disampaikan Cak Nur kini terbukti benar adanya.

Dalam situasi surplus sumber daya manusia, sudah seyogianya elite pemimpin NU bergerak mandiri dalam memanfaatkan momentum kebangkitan kaum muda dan berkolaborasi dengan nahdliyin untuk mengatasi persoalan konservatisme dan kemiskinan yang masih membelenggu.

Pertama, gejala konservatisme yang menguat belakangan ini tidak cukup memadai apabila hanya diatasi dengan mengampanyekan sikap keberagamaan yang bertumpu pada prinsip persaudaraan (ukhuwwah), toleransi (at-tasâmuh), kebersamaan dan hidup berdampingan dengan sesama warga negara secara harmonis. Pasalnya, problem kronis yang mengemuka di ruang publik adalah adanya rasa ketidakadilan sosial berkaitan dengan distribusi pendapatan dan kekayaan.

Riset yang dilakukan oleh Oxfam (2017) menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir, ketimpangan antara kelompok terkaya dan kelompok yang lain di Indonesia mengalami peningkatan lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia Tenggara. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih dari 100 juta penduduk termiskin. Ketimpangan tersebut, tidak hanya memperlambat pengentasan kemiskinan, tetapi juga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengancam kohesi sosial.

Menyikapi fakta tersebut, sudah seyogianya elite pemimpin NU mengelaborasi kembali Khittah 1984. Jamak diketahui, di dalam Keputusan Muktamar XXVII NU Nomor 2 Tahun 1984, ditegaskan bahwa “Nahdlatul Ulama sejak semula meyakini bahwa persatuan dan kesatuan para ulama dan pengikutnya, masalah pendidikan, dakwah Islam, kegiatan sosial serta perekonomian adalah masalah yang tidak bisa dipisahkan untuk mengubah masyarakat yang terbelakang, bodoh dan miskin menjadi masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlak mulia”. Dengan pendekatan holistik inilah, niscaya keberadaan NU jauh lebih strategis dan memberikan manfaat dalam menghadirkan perbaikan, perubahan dan pembaharuan masyarakat.

Kedua, alih fungsi lahan pertanian dan wilayah pesisir untuk kepentingan perumahan, pembangunan destinasi rekreasi berbayar, mal, jalan tol, dan fasilitas umum lainnya telah berimbas pada kian menyusutnya lahan pertanian dan perikanan produktif yang menjadi ladang penghidupan nahdliyin. Kementerian Pertanian (Januari 2020) mencatat sebanyak 60.000 hektare lahan pertanian beralih peruntukan setiap tahunnya. Perubahan penggunaan lahan ini, sebagaimana disebut di dalam laporan IPCC (2021), berdampak pada pelepasan emisi karbon yang berujung pada pemanasan global. Fenomena ini berakibat pada pergeseran awal musim hujan dan intensitas curah hujan dengan keragaman dan deviasi yang semakin tinggi, serta peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrem, seperti banjir dan kekeringan.

Setali tiga uang, dalam satu dasawarsa terakhir, proyek privatisasi dan komersialisasi di kawasan pesisir meningkat drastis seiring berkembangnya tren pembangunan kawasan wisata bahari berbayar. Situasi ini diperparah oleh adanya kebijakan impor komoditas pangan, seperti beras, bawang merah, dan garam; serta terlampau kuatnya cengkeraman oligarki di lapangan politik dan ekonomi yang mematikan mata pencaharian kaum nahdliyin.

Di sektor perikanan, nelayan tradisional juga menghadapi ancaman paceklik sumber daya. Seperti diketahui, FAO (2018) menyebutkan bahwa tingkat eksploitasi sumber daya ikan yang tidak terkontrol dan memuncak antara tahun 1970-1980 ditengarai menjadi penyebab utama menurunnya tren produksi perikanan tangkap di dunia. Hal ini berimbas pada merosot tajamnya tingkat keberlanjutan biologis (biologically sustainable levels) stok sumber daya ikan, dari 90% (1974) menjadi 66,9% (2015).

Setali tiga uang, tingkat ketidakberlanjutan biologis (biologically unsustainable levels) stok sumber daya ikan justru meningkat, yakni 10% pada tahun 1974 menjadi 33,1% pada 2015. Tak mengherankan apabila sejumlah spesies ikan dilaporkan kian sulit ditemukan oleh nelayan dalam 8 tahun terakhir. Di Kabupaten Lombok Timur, misalnya, nelayan menyebut adanya sejumlah spesies ikan yang terbilang langka sejak tahun 2010, di antaranya adalah ikan selangat (Anadonstoma chacunda). Belum lagi keserbaterbatasan yang dialami oleh petambak garam dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Tak ayal, situasi ini turut memperburuk kehidupan sosial dan ekonomi nahdliyin yang berprofesi sebagai petani, nelayan, dan petambak garam.

Guna mengatasi tantangan di atas, langkah strategis yang perlu dilakukan oleh elite pemimpin NU, sejak pengurus ranting hingga PBNU, adalah dengan mengontekstualisasikan kembali Khittah 1984 ke dalam bentuk program kerja konkret dan terukur yang diorientasikan untuk mengatasi problem sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh nahdliyin.

Pertama, belajar dari koreksi kebijakan ekspor benur lobster yang dilakukan oleh LBM-PBNU di pengujung 2020 sejatinya menunjukkan betapa strategisnya peran NU di lapangan politik dan ekonomi. Ke depan, peran seperti ini perlu ditindaklanjuti dengan memastikan bahwa perubahan kebijakan yang dihasilkan dapat dioperasionalisasikan di tingkat akar rumput.

Terlebih lagi, jam’iyyah diniyah terbesar ini telah memanen ilmuwan dan intelektual muda dari pelbagai perguruan tinggi terbaik di dunia dan kini tersebar di 274 perguruan tinggi yang dimiliki oleh NU atau lembaga nasional dan internasional lainnya. Potensi ini mesti digerakkan bersama dengan jejaring sosial-ekonomi nahdliyin untuk menjalin inisiatif kolaborasi dengan pemerintah. Dengan meminjam ungkapan Imam Syafi’i, NU mesti terlibat dalam upaya mempertahankan yang baik dan berijtihad melahirkan inisiatif sosial-ekonomi baru guna meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan nahdliyin yang berprofesi sebagai petani, nelayan, dan petambak garam.

Berbarengan dengan itu, NU mesti pro-aktif merangkul yang lain untuk mengedepankan sikap keberagamaan yang menjunjung tinggi prinsip persaudaraan, toleransi, dan keadilan sosial di dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sinilah letak betapa strategisnya Muktamar NU di Bandar Lampung. Selamat bermuktamar!

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1817 seconds (0.1#10.140)