Sejarah Nahdlatul Ulama, Lahir dari Pergulatan Pemikiran Para Kiai

Rabu, 22 Desember 2021 - 06:05 WIB
loading...
Sejarah Nahdlatul Ulama,...
NU didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926 M bertepatan dengan 16 Rajab 1344 Hijriah oleh sekelompok ulama yang merupakan kepentingan Islam tradisional. Foto: SINDOnews/Dok
A A A
JAKARTA - Nahdlatul Ulama (NU) akan menyelenggarakan Muktamar ke-34 hari ini, Rabu (22/12/2021). Nahdlatul Ulama yang artinya kebangkitan ulama merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang memiliki sejarah panjang.

Berdirinya Nahdlatul Ulama tidak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ (keputusan-keputusan para ulama sebelumnya), dan Qiyas (kasus-kasus yang ada dalam cerita Al-Qur’an dan Hadits).



Nahdhatul Ulama didirikan di Surabaya, Jawa Timur pada 31 Januari 1926 M bertepatan dengan 16 Rajab 1344 Hijriah oleh sekelompok ulama yang merupakan kepentingan Islam tradisional, terutama sistem kehidupan pesantren.

“Lahirnya Jami’iyyah NU didahului dengan beberapa peristiwa penting. Pertama adalah berdirinya grup diskusi di Surabaya pada tahun 1914 dengan nama Taswirul Afkar yang dipimpin KH Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansyur,” kata Bibit Suprapto dalam buku ‘Nahdlatul Ulama: Eksistensi Peran dan Prospeknya’, dikutip Rabu (22/12/2021).

Menurut Masykur Hasyim dalam tulisan ‘Merakit Negeri Berserakan’, NU lahir sebagai reprensentatif dari ulama tradisionalis, dengan haluan ideologi ahlus sunnah waljamaah. Tokoh-tokoh yang ikut berperan di antaranya KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan para ulama pada masa itu.

Sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924 di Arab Saudi, sedang terjadi arus pembaharuan. leh Syarif Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi.



Dikutip dari nu.or.id, sebelum Nahdlatul Ulama dibentuk KH Hasyim Asyari terlebih dahulu melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT. Sikap bijaksana dan kehati-hatian KH Hasyim Asyari dalam menyambut permintaan KH Wahab Hasbullah juga dilandasi oleh berbagai hal. Di antaranya posisi KH Hasyim Asyari saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa).

KH Hasyim Asyari juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari KH Hasyim Asyari itu membuat ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam.

Hasil dari istikharah KH Hasyim Asy’ari dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin. KH As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah KH Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Hasbullah.

Dari petunjuk tersebut, KH As’ad yang ketika itu menjadi santri KH Cholil berperan sebagai mediator antara KH Cholil dan KH Hasyim Asyari. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh KH As’ad sebagai penghubung atau washilah untuk menyampaikan amanah KH Cholil kepada KH Hasyim Asyari.

Dari proses lahir dan batin yang cukup panjang tersebut menggambarkan bahwa lika-liku lahirnya Nahdlatul Ulama tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. Nahdlatul Ulama lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT.

Terlihat di sini, fungsi ide dan gagasan tidak terlihat mendominasi. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT melalui ikhtiar lahir dan batin. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa berdirinya Nahdlatul Ulama merupakan rangkaian panjang dari sejumlah perjuangan.

Berdirinya Nahdlatul Ulama merupakan respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat. Digawangi oleh KH Abdul Wahab, sebelumnya para kiai pesantren telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918.

Dengan kata lain, Nahdlatul Ulama adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, namun dengan cakupan dan segmen yang lebih luas. Komite Hijaz embrio lahirnya Nahdlatul Ulama juga berangkat dari sejarah pembentukan Komite Hijaz.

KH Wahab Hasbullah Berkhidmah untuk NU

Rektor Unisnu Jepara H Sa'dullah Assa'idi dalam sebuah tulisannya menyebutkan, cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama tak lepas dari seorang pemuda 26 tahun kelahiran Tambakberas, Jombang. Dia adalah KH Abdul Wahab Hasbullah.

Pada tahun 1914 Masehi, saat kaum Muslimin mulai merasa kurang dinamis, terutama di bidang sosial kemasyarakatan-agama, dan kurang berorganisasi, KH Wahab Hasbullah pulang ke Indonesia setelah lama belajar di Makkah. KH Abdul Wahab yang bertempat tinggal di rumah mertuanya, Haji Musa, di kampung Kertopaten, Surabaya, mulai bermasyarakat mendirikan semacam discussion group yang diberi nama Tashwirul Afkar.

Pada mulanya kursus debat ini bertempat di Langgar Haji Musa Kertopaten, kemudian pindah ke Ampel, tepatnya di Lawang Agung Ampel, Surabaya. KH Wahab Hasbullah berkenalan dengan KH Mansur, yang juga baru pulang belajar dari Mesir, dan berdomisili di kampung Sawahan, Surabaya.

Dari perkenalannya, dua tokoh muda ini sepakat membuat organisasi yang tujuannya untuk meningkatkan mutu madrasah-madrasah sebagai sarana pendidikan dan pengajaran Islam. Maka dilahirkanlah organisasi bernama Jam'iyyah Nahdlatul Wathan, yang kemudian mendapatkan legal-formal (rechtspersoon) pada tahun 1916 M.

Sesuai dengan asas dan tujuannya, maka Nahdlatul Wathan mendirikan sebuah madrasah yang memenuhi persyaratan bertempat di Kawatan Gang IV, Surabaya, dan dipimpin oleh KH Mansur. Karena hendak ikut ke dalam Pengurus Pusat Muhammadiyah, pada tahun 1922 M, KH Mansur mengundurkan diri dari Nahdlatul Wathan. Untuk mengisi kekosongan, diadakanlah pemilihan yang kemudian jatuh pada KH Abdul Halim Leuwimunding, dengan pemimpin bagian ulama KH Wahab Hasbullah.

KH Wahab Hasbullah dengan KH Hasyim Asyari memiliki hubungan yang sangat dekat, meski selisih usianya 17 tahun. Selain hubungan guru dan santri, juga dilandasi hubungan keluarga yang tidak jauh.

KH Wahab Hasbullah dan KH Hasyim memiliki datuk yang sama, yaitu KH Abdussalam (Mbah Shihah), Pendiri Pesantren Tambakberas. Sebagai yang lebih muda, KH Abdul Wahab sering berkunjung sowan kepada KH Hasyim Asy'ari di Tebuireng.

Bakat sebagai aktivis organisasi mendorong KH Wahab Hasbullah mengadakan pertemuan di Langgar Haji Musa Kertopaten, Surabaya, untuk membahas faham Wahabi yang melanda Hijaz. Dalam pertemuan itu hadir para tokoh Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan, juga tokoh sepuh KH Hasyim Asyari yang saat itu berusia 55 tahun. Kemudian dibentuklah Komite Hijaz.

Eksponen-eksponen dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Syubbanul Wathan, pada hakekatnya satu arah, satu orientasi baik dalam akidah maupun ibadah, juga satu dalam aspirasi kemasyarakatan berlebur dalam ikatan Komite Hijaz di bawah pimpinan KH Wahab Hasbullah, KH Hasyim Asyari, KH Bisri Syansuri, KH Ridwan (Semarang), KH R Asnawi (Kudus), KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrawi (Malang) dan KH Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya), serta beberapa kiai lainnya.

Di bawah pimpinan KH Wahab Hasbullah berkumpullah di Surabaya pada 16 Rajab 1344 Hijriyah bertepatan 31 Januari 1926. Dalam pertemuan itu diputuskan mengirim delegasi ke Kongres Islam Dunia di Makkah untuk memperjuangkan kepada Raja Ibnu Sa'ud agar hukum Syari'ah berdasarkan madzhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Juga agar mendapat perlindungan dan kebebasan di dalam wilayah Arab Saudi.

Kemudian, membentuk suatu Jam'iyyah bernama Nahdlatul Ulama, Kebangkitan Ulama, yang bertujuan menegakkan berlakunya Syari'at Islam yang berhaluan salah satu dari Madzhab-madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Jam'iyyah ini disusun dengan kepengurusan Syuriyah dan Tanfidziyah.

Nama Nahdlatul Ulama diusulkan oleh KH Mas Alwi Abdul Aziz. Delegasi ke Makkah terdiri dari KH Wahab Hasbullah dan Syaikh Ghanaim, dan pulang ke Indonesia membawa sukses dalam misinya, semua yang diperjuangkan berhasil. Meskipun demikian, KH Wahab Hasbullah berjiwa besar dan berhati mulia, merintis mulai sekitar tahun 1914 M hingga berdirinya NU pada 1926 M, tidak bersedia menduduki jabatan Rois Akbar dalam Nahdlatul Ulama.

KH Wahab Hasbullah justru menyerahkan jabatan itu kepada KH Hasyim Asy'ari, dan Presiden Tanfidziyah dipercayakan kepada Haji Hasan Gipo. KH Wahab Hasbullah merasa cukup menduduki jabatan Katib 'Aam Syuriyah.
(thm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1408 seconds (0.1#10.140)