Selain Kesehatan, Pemerintah Harus Prioritaskan Sektor Pangan
loading...
A
A
A
Bagaimana mau mencetak sawah, kalau anggarannya telah dipangkas? Kalau cetak sawah baru dianggap penting, kenapa kemarin anggarannya justru dipangkas? Ini tak konsisten dan tak ada koordinasi.
Di luar soal anggaran, saya melihat program cetak sawah sekarang ini tak akan efektif. Cetak sawah bukanlah jawaban atas krisis pangan yang sudah di depan mata.
Ketimbang memboroskan anggaran semacam itu, dengan risiko kegagalan yang sudah di depan mata, sebaiknya pemerintah menggunakan anggaran yang ada untuk mensubsidi petani. Adanya stimulus dan insentif ekonomi ini akan menambah kegairahan petani dalam berproduksi.
Untuk merangsang peningkatan produksi pangan, pemerintah sebenarnya bisa memulainya dengan menaikan insentif ekonomi bagi para petani, termasuk meningkatkan investasi di sektor pertanian. Sayangnya, kita belum melihat itu dalam politik anggaran Pemerintah.
Dengan bekal Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penanganan Covid-19, pemerintah telah mengalokasikan tambahan belanja sebesar Rp405,1 triliun untuk menangani pandemi dan krisis yang ditimbulkannya. Namun, kita tidak melihat alokasi anggaran tersebut di bidang pangan.
Kita memang mendengar Pemerintah akan memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) bagi 2,4 juta petani miskin sebesar Rp600 ribu. Itupun, uang tunai yang akan diterima oleh petani hanya Rp300 ribu, karena sisanya akan diberikan dalam bentuk Saprotan (Sarana Produksi Pertanian).
Jika ditotal, rencana BLT untuk petani ini hanya bernilai Rp1,4 triliun. Menurut saya, jumlah tersebut sangat tak memadai, dan juga tidak adil. Bandingkanlah anggaran BLT untuk petani itu dengan anggaran yang dialokasikan untuk 8 industri start up yang terlibat sebagai mitra program Kartu Prakerja, yang nilainya mencapai Rp5,6 triliun. Menurut saya, itu tidak pantas.
Sebagaimana pernah diingatkan oleh ADB (Asia Development Bank), untuk mengatasi krisis pangan dan kelaparan, Indonesia seharusnya mendorong peningkatan investasi dalam bidang ketahanan pangan dan perdesaan. Tujuannya adalah untuk memacu produktivitas, modernisasi sistem pangan, serta meningkatkan efisiensi pasar pangan.
Kita perlu menyadari ketersediaan pangan rakyat Indonesia selama ini disokong oleh 26,125 juta rumah tangga petani (RTP). Sehingga, mereka sangat pantas diprioritaskan dalam pemberian bantuan dan stimulus ekonomi, bukannya industri start up, atau sektor tersier lainnya. Demikianlah suara HKTI terkait ancaman krisis pangan di tengah pandemi.
Di luar soal anggaran, saya melihat program cetak sawah sekarang ini tak akan efektif. Cetak sawah bukanlah jawaban atas krisis pangan yang sudah di depan mata.
Ketimbang memboroskan anggaran semacam itu, dengan risiko kegagalan yang sudah di depan mata, sebaiknya pemerintah menggunakan anggaran yang ada untuk mensubsidi petani. Adanya stimulus dan insentif ekonomi ini akan menambah kegairahan petani dalam berproduksi.
Untuk merangsang peningkatan produksi pangan, pemerintah sebenarnya bisa memulainya dengan menaikan insentif ekonomi bagi para petani, termasuk meningkatkan investasi di sektor pertanian. Sayangnya, kita belum melihat itu dalam politik anggaran Pemerintah.
Dengan bekal Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penanganan Covid-19, pemerintah telah mengalokasikan tambahan belanja sebesar Rp405,1 triliun untuk menangani pandemi dan krisis yang ditimbulkannya. Namun, kita tidak melihat alokasi anggaran tersebut di bidang pangan.
Kita memang mendengar Pemerintah akan memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) bagi 2,4 juta petani miskin sebesar Rp600 ribu. Itupun, uang tunai yang akan diterima oleh petani hanya Rp300 ribu, karena sisanya akan diberikan dalam bentuk Saprotan (Sarana Produksi Pertanian).
Jika ditotal, rencana BLT untuk petani ini hanya bernilai Rp1,4 triliun. Menurut saya, jumlah tersebut sangat tak memadai, dan juga tidak adil. Bandingkanlah anggaran BLT untuk petani itu dengan anggaran yang dialokasikan untuk 8 industri start up yang terlibat sebagai mitra program Kartu Prakerja, yang nilainya mencapai Rp5,6 triliun. Menurut saya, itu tidak pantas.
Sebagaimana pernah diingatkan oleh ADB (Asia Development Bank), untuk mengatasi krisis pangan dan kelaparan, Indonesia seharusnya mendorong peningkatan investasi dalam bidang ketahanan pangan dan perdesaan. Tujuannya adalah untuk memacu produktivitas, modernisasi sistem pangan, serta meningkatkan efisiensi pasar pangan.
Kita perlu menyadari ketersediaan pangan rakyat Indonesia selama ini disokong oleh 26,125 juta rumah tangga petani (RTP). Sehingga, mereka sangat pantas diprioritaskan dalam pemberian bantuan dan stimulus ekonomi, bukannya industri start up, atau sektor tersier lainnya. Demikianlah suara HKTI terkait ancaman krisis pangan di tengah pandemi.
(dam)