LaNyalla Sebut Amendemen di Indonesia Lebih Masif Dibanding Amerika dan India
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai amendemen konstitusi yang dilakukan Indonesia dalam kurun waktu 1999-2002 lebih brutal dan masif dibandingkan dengan Amerika Serikat dan India. Menurutnya, amendemen yang terjadi pascareformasi itu merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Oleh karenanya, kita harus sudahi kerusakan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan imbas dari amandemen konstitusi yang dilakukan secara brutal dan masif pada kurun waktu 1999-2002," kata LaNyalla saat menjadi Keynote Speech Diskusi Nasional Amendemen UUD 1945 kerja sama DPD RI dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya di Gedung Nusantara IV Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (13/12/2021).
Senator asal Jawa Timur itu memaparkan, konstitusi asli Amerika Serikat terdiri dari 4.500 kata. Lalu dilakukan amendemen sebanyak 27 kali yang hanya menambah 2.500 kata. Sedangkan konstitusi India, terdiri lebih dari 117.000 kata dan dilakukan amendemen 104 kali dengan hanya menambah 30.000 kata.
"UUD 1945 asli sekitar 1.500 kata, dilakukan amandemen empat tahap menjadi 4.500 kata yang secara substansi juga berbeda dengan aslinya. Artinya terjadi perubahan besar-besaran dan tidak dilakukan dengan cara adendum. Inilah yang saya sebut kecelakaan konstitusi," tegas LaNyalla.
Pada kegiatan yang mengambil tema 'Urgensi UUD 1945 Dalam Rangka Menuju Indonesia Maju', LaNyalla mengatakan partai politik telah menjadi penentu tunggal arah perjalanan bangsa.
Partai politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini. Dan, hanya partai politik melalui fraksi di DPR RI yang memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga negara.
Sebaliknya, kata LaNyalla, DPD RI sebagai wakil dari daerah, wakil dari golongan-golongan, wakil dari entitas-entitas civil society yang non-partisan, tidak memiliki ruang dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa.
Faktanya, sejak amendemen saat itu hingga hari ini, entitas civil society non-partisan terpinggirkan. "Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan partai politik. Tanpa second opinion dan tanpa reserve. Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all," ucapnya.
Dikatakan LaNyalla, partai-partai besar menjadi tirani mayoritas untuk mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen. Mereka juga bersepakat membuat Undang-Undang yang memberi ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
"Oleh karenanya, kita harus sudahi kerusakan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan imbas dari amandemen konstitusi yang dilakukan secara brutal dan masif pada kurun waktu 1999-2002," kata LaNyalla saat menjadi Keynote Speech Diskusi Nasional Amendemen UUD 1945 kerja sama DPD RI dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya di Gedung Nusantara IV Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (13/12/2021).
Senator asal Jawa Timur itu memaparkan, konstitusi asli Amerika Serikat terdiri dari 4.500 kata. Lalu dilakukan amendemen sebanyak 27 kali yang hanya menambah 2.500 kata. Sedangkan konstitusi India, terdiri lebih dari 117.000 kata dan dilakukan amendemen 104 kali dengan hanya menambah 30.000 kata.
"UUD 1945 asli sekitar 1.500 kata, dilakukan amandemen empat tahap menjadi 4.500 kata yang secara substansi juga berbeda dengan aslinya. Artinya terjadi perubahan besar-besaran dan tidak dilakukan dengan cara adendum. Inilah yang saya sebut kecelakaan konstitusi," tegas LaNyalla.
Pada kegiatan yang mengambil tema 'Urgensi UUD 1945 Dalam Rangka Menuju Indonesia Maju', LaNyalla mengatakan partai politik telah menjadi penentu tunggal arah perjalanan bangsa.
Partai politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini. Dan, hanya partai politik melalui fraksi di DPR RI yang memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga negara.
Sebaliknya, kata LaNyalla, DPD RI sebagai wakil dari daerah, wakil dari golongan-golongan, wakil dari entitas-entitas civil society yang non-partisan, tidak memiliki ruang dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa.
Faktanya, sejak amendemen saat itu hingga hari ini, entitas civil society non-partisan terpinggirkan. "Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan partai politik. Tanpa second opinion dan tanpa reserve. Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all," ucapnya.
Dikatakan LaNyalla, partai-partai besar menjadi tirani mayoritas untuk mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen. Mereka juga bersepakat membuat Undang-Undang yang memberi ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.