Peneliti SMRC Ungkap Daya Tarik Politik NU
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nahdlatul Ulama (NU) punya magnet politik yang besar. Itu sebabnya NU selalu mewarnai panggung politik nasional. Menurut peneliti senior SMRC Saidiman Ahmad daya tarik NU dalam politik bisa dilihat dari setiap perhelatan pemilihan presiden, khususnya setelah reformasi.
Setelah KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur yang terpilih lewat MPR, hampir setiap pilpres langsung selalu mengikutkan kader NU.
"Bahkan partai besar PDIP punya tradisi ambil orang NU sebagai cawapres. Apa yang terjadi di NU seperti yang terjadi di parpol dalam berpolitik. Wakil NU selalu muncul sebagai cawapres. Tapi tidak berhasil. Ada jarak antara pilihan elite dan massa," ujar Saidiman, dalam diskusi di Warung Upnormal, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (12/12/2021).
Dinamika NU tahun ini kembali menyedot perhatian menjelang Muktamar Ke-34. Persaingan antara dua kubu calon kuat PBNU sangat terasa. Tetapi hal itu sebenarnya biasa saja. Saidiman mengatakan pernyataan Yahya Staquf yang tidak ingin calon presiden dan wakil presiden dari PBNU itu merupakan pernyatan politis.
"Tidak memiliki makna tunggal. Dia (Yahya Staquf) tidak melarang. Ini pernyataan politis untuk melihat inisiasi antara dia dengan lawan dalam kompetisi Ketum PBNU. Dia tidak mengatakan tidak boleh. Tapi dia hanya mengatakan perubahan. Tentu NU sebagai organisasi besar sangat menarik partai-partai," kata Saidiman.
Berkaca pada hasil survei SMRC, Saidiman mengatakan, massa NU itu rasional dalam beragama maupun berpolitik. Hanya 4% yang mendengar dari tokoh agama terkait penanganan Covid-19 dan kebijakan PPKM.
"Ada pandangan massa NU selalu tegak lurus. Tapi menurut saya massa NU rasional dalam beragama. Dan itu tercermin dalam politik. Itu tercermin dalam survei yang dilakukan, seperti soal PPKM, hanya 4% yang mendengar dari tokoh agama. Lebih banyak mendengar dari dokter. Jadi religiusitas tinggi tidak serta-merta tegak lurus, tapi rasional. Dan itu tercermin dalam berpolitik. meski religiusitas tinggi, tapi dalam keduniaan, bicara soal politik sangat rasional," kata Saidiman.
Setelah KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur yang terpilih lewat MPR, hampir setiap pilpres langsung selalu mengikutkan kader NU.
"Bahkan partai besar PDIP punya tradisi ambil orang NU sebagai cawapres. Apa yang terjadi di NU seperti yang terjadi di parpol dalam berpolitik. Wakil NU selalu muncul sebagai cawapres. Tapi tidak berhasil. Ada jarak antara pilihan elite dan massa," ujar Saidiman, dalam diskusi di Warung Upnormal, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (12/12/2021).
Dinamika NU tahun ini kembali menyedot perhatian menjelang Muktamar Ke-34. Persaingan antara dua kubu calon kuat PBNU sangat terasa. Tetapi hal itu sebenarnya biasa saja. Saidiman mengatakan pernyataan Yahya Staquf yang tidak ingin calon presiden dan wakil presiden dari PBNU itu merupakan pernyatan politis.
"Tidak memiliki makna tunggal. Dia (Yahya Staquf) tidak melarang. Ini pernyataan politis untuk melihat inisiasi antara dia dengan lawan dalam kompetisi Ketum PBNU. Dia tidak mengatakan tidak boleh. Tapi dia hanya mengatakan perubahan. Tentu NU sebagai organisasi besar sangat menarik partai-partai," kata Saidiman.
Berkaca pada hasil survei SMRC, Saidiman mengatakan, massa NU itu rasional dalam beragama maupun berpolitik. Hanya 4% yang mendengar dari tokoh agama terkait penanganan Covid-19 dan kebijakan PPKM.
"Ada pandangan massa NU selalu tegak lurus. Tapi menurut saya massa NU rasional dalam beragama. Dan itu tercermin dalam politik. Itu tercermin dalam survei yang dilakukan, seperti soal PPKM, hanya 4% yang mendengar dari tokoh agama. Lebih banyak mendengar dari dokter. Jadi religiusitas tinggi tidak serta-merta tegak lurus, tapi rasional. Dan itu tercermin dalam berpolitik. meski religiusitas tinggi, tapi dalam keduniaan, bicara soal politik sangat rasional," kata Saidiman.
(muh)