1 dari 8 Orang Indonesia Tidak Mampu Membeli Makanan Bergizi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hasil analisis Fill the Nutrient Gap (FNG) menyatakan satu dari delapan orang Indonesia tidak mampu membeli makanan yang memenuhi kebutuhan gizi mereka. Meskipun Indonesia terus membuat kemajuan dalam komitmennya untuk mengakhiri segala bentuk malnutrisi, sebuah analisis baru mengungkapkan makanan bergizi masih belum terjangkau oleh banyak orang.
Hasil analisis Fill the Nutrient Gap (FNG) yang baru saja dirilis menunjukkan setidaknya satu dari delapan orang Indonesia tidak mampu membeli makanan yang memenuhi kebutuhan gizi mereka. Di provinsi-provinsi seperti Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara, makanan bergizi tidak terjangkau oleh lebih dari sepertiga hingga setengah dari populasi.
Situasi ini tidak hanya didorong oleh kurangnya pendapatan di antara sebagian besar rumah tangga, tetapi juga oleh tingginya harga pangan di wilayah tersebut. Analisis FNG menemukan makanan beragam yang terdiri atas sayur-sayuran, buah-buahan, dan sumber protein yang memenuhi kebutuhan gizi makro dan mikro keluarga hampir tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan makanan pokok yang hanya memenuhi kebutuhan energi.
Analisis FNG dilakukan oleh World Food Programme (WFP), bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Kesehatan Indonesia. Hasil analisis FNG diluncurkan pada acara nasional secara daring pada 23 November 2021 lalu yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah, akademisi, mitra pembangunan, donor, dan asosiasi gizi nasional.
Deputi Menteri Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Deputi Menteri Kependudukan dan Ketenagakerjaan, serta perwakilan Deputi Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas menyambut baik hasil analisis FNG sebagai basis bukti program gizi dan pangan di Indonesia.
“Analisis FNG akan digunakan sebagai referensi utama bagi Bappenas untuk menentukan konsensus, sinergi dan upaya bersama dalam prioritasasi kebijakan dan intervensi peningkatan pangan dan gizi di Indonesia,” ungkap Anang Noegroho,Direktur Pangan dan Pertanian, Kementerian PPN/Bappenas pada Kamis (2/12/2021).
Melalui analisis FNG yang dilakukan dari September 2020 hingga November 2021, para pemangku kepentingan di tingkat nasional telah mengidentifikasi aksi prioritas untuk mendukung pencapaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dalam bidang pangan, kesehatan, dan gizi. Baca: Kemendagri Minta Konsep Kota Cerdas Harus Layak Huni dan Berkelanjutan
“Membuat makanan bergizi menjadi terjangkau oleh semua rumah tangga membutuhkan aksi dari berbagai sistem termasuk kesehatan, pangan dan pertanian, serta perlindungan sosial. Peluncuran analisis FNG ini diharapkan dapat membantu memanfaatkan peluang dan memperluas kolaborasi strategis di antara para pemangku kepentingan di Indonesia untuk meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas, dan keterjangkauan makanan bergizi untuk mencegah malnutrisi,” ucap Christa Raeder, Perwakilan WFP untuk Indonesia.
Adapun beberapa temuan analisis FNG antara lain, harga terendah dari makanan yang memenuhi kebutuhan gizi adalah Rp 8,532 per kapita per hari. Makanan bergizi yang beragam harganya rata-rata 2,5 kali lebih mahal daripada makanan pokok yang hanya memenuhi kebutuhan energi.
Ada variasi yang besar dalam keterjangkauan makanan bergizi di tingkat daerah. Di beberapa wilayah, seperti Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara, lebih dari 30-50 persen populasi tidak mampu membeli makanan bergizi, berdasarkan data tahun 2019 (SUSENAS).
Dampak dari pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung terus memperburuk kondisi kerentanan. Rumah tangga berpenghasilan rendah telah terpengaruh secara tidak proporsional, dengan lebih banyak rumah tangga jatuh ke dalam kemiskinan dan makanan bergizi semakin menjadi tidak terjangkau.
Remaja perempuan, serta ibu hamil dan menyusui adalah anggota rumah tangga yang paling rentan. Mereka membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi, dengan harga mahal yang diperoleh dari makanan lokal yang tersedia. Intervensi dalam bidang kesehatan yang ditargetkan secara khusus, seperti suplementasi dan fortifikasi zat gizi mikro dapat mengurangi beban pemenuhan kebutuhan gizi mereka.
Bagi anak di bawah dua tahun, pemberian ASI yang kurang optimal, keragaman makanan yang rendah, dan tingginya konsumsi makanan ringan yang tidak sehat meningkatkan biaya makanan bergizi mereka. Pengurangan konsumsi jajanan tidak sehat, peningkatan distribusi bubuk vitamin dan mineral (Taburia), dan promosi pemberian ASI serta makanan pendamping ASI yang beragam bisa menjadi solusi.
Program perlindingan sosial meningkatkan keterjangkauan rumah tangga terhadap makanan bergizi serta melindungi populasi yang paling rentan. Namun, perlindungan sosial yang diterima haruslah cukup untuk memenuhi harga makanan bergizi dan dilengkapi dengan edukasi gizi, untuk meningkatkan permintaan dan konsumsi makanan bergizi.
Sistem pertanian memiliki potensi yang kuat untuk menyediakan makanan bergizi yang terjangkau bagi semua rumah tangga. Meskipun demikian, hal ini membutuhkan transformasi pertanian yang didorong oleh kebijakan yang menyelaraskan insentif dengan capaian gizi, yang dicapai dengan mempromosikan dan mendukung produksi pertanian yang beragam. Selain itu, makanan yang difortifikasi, termasuk beras, sebaiknya tersedia dan dihubungkan dengan program perlindungan sosial.
Hasil analisis Fill the Nutrient Gap (FNG) yang baru saja dirilis menunjukkan setidaknya satu dari delapan orang Indonesia tidak mampu membeli makanan yang memenuhi kebutuhan gizi mereka. Di provinsi-provinsi seperti Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara, makanan bergizi tidak terjangkau oleh lebih dari sepertiga hingga setengah dari populasi.
Situasi ini tidak hanya didorong oleh kurangnya pendapatan di antara sebagian besar rumah tangga, tetapi juga oleh tingginya harga pangan di wilayah tersebut. Analisis FNG menemukan makanan beragam yang terdiri atas sayur-sayuran, buah-buahan, dan sumber protein yang memenuhi kebutuhan gizi makro dan mikro keluarga hampir tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan makanan pokok yang hanya memenuhi kebutuhan energi.
Analisis FNG dilakukan oleh World Food Programme (WFP), bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Kesehatan Indonesia. Hasil analisis FNG diluncurkan pada acara nasional secara daring pada 23 November 2021 lalu yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah, akademisi, mitra pembangunan, donor, dan asosiasi gizi nasional.
Deputi Menteri Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Deputi Menteri Kependudukan dan Ketenagakerjaan, serta perwakilan Deputi Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas menyambut baik hasil analisis FNG sebagai basis bukti program gizi dan pangan di Indonesia.
“Analisis FNG akan digunakan sebagai referensi utama bagi Bappenas untuk menentukan konsensus, sinergi dan upaya bersama dalam prioritasasi kebijakan dan intervensi peningkatan pangan dan gizi di Indonesia,” ungkap Anang Noegroho,Direktur Pangan dan Pertanian, Kementerian PPN/Bappenas pada Kamis (2/12/2021).
Melalui analisis FNG yang dilakukan dari September 2020 hingga November 2021, para pemangku kepentingan di tingkat nasional telah mengidentifikasi aksi prioritas untuk mendukung pencapaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dalam bidang pangan, kesehatan, dan gizi. Baca: Kemendagri Minta Konsep Kota Cerdas Harus Layak Huni dan Berkelanjutan
“Membuat makanan bergizi menjadi terjangkau oleh semua rumah tangga membutuhkan aksi dari berbagai sistem termasuk kesehatan, pangan dan pertanian, serta perlindungan sosial. Peluncuran analisis FNG ini diharapkan dapat membantu memanfaatkan peluang dan memperluas kolaborasi strategis di antara para pemangku kepentingan di Indonesia untuk meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas, dan keterjangkauan makanan bergizi untuk mencegah malnutrisi,” ucap Christa Raeder, Perwakilan WFP untuk Indonesia.
Adapun beberapa temuan analisis FNG antara lain, harga terendah dari makanan yang memenuhi kebutuhan gizi adalah Rp 8,532 per kapita per hari. Makanan bergizi yang beragam harganya rata-rata 2,5 kali lebih mahal daripada makanan pokok yang hanya memenuhi kebutuhan energi.
Ada variasi yang besar dalam keterjangkauan makanan bergizi di tingkat daerah. Di beberapa wilayah, seperti Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara, lebih dari 30-50 persen populasi tidak mampu membeli makanan bergizi, berdasarkan data tahun 2019 (SUSENAS).
Dampak dari pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung terus memperburuk kondisi kerentanan. Rumah tangga berpenghasilan rendah telah terpengaruh secara tidak proporsional, dengan lebih banyak rumah tangga jatuh ke dalam kemiskinan dan makanan bergizi semakin menjadi tidak terjangkau.
Remaja perempuan, serta ibu hamil dan menyusui adalah anggota rumah tangga yang paling rentan. Mereka membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi, dengan harga mahal yang diperoleh dari makanan lokal yang tersedia. Intervensi dalam bidang kesehatan yang ditargetkan secara khusus, seperti suplementasi dan fortifikasi zat gizi mikro dapat mengurangi beban pemenuhan kebutuhan gizi mereka.
Bagi anak di bawah dua tahun, pemberian ASI yang kurang optimal, keragaman makanan yang rendah, dan tingginya konsumsi makanan ringan yang tidak sehat meningkatkan biaya makanan bergizi mereka. Pengurangan konsumsi jajanan tidak sehat, peningkatan distribusi bubuk vitamin dan mineral (Taburia), dan promosi pemberian ASI serta makanan pendamping ASI yang beragam bisa menjadi solusi.
Program perlindingan sosial meningkatkan keterjangkauan rumah tangga terhadap makanan bergizi serta melindungi populasi yang paling rentan. Namun, perlindungan sosial yang diterima haruslah cukup untuk memenuhi harga makanan bergizi dan dilengkapi dengan edukasi gizi, untuk meningkatkan permintaan dan konsumsi makanan bergizi.
Sistem pertanian memiliki potensi yang kuat untuk menyediakan makanan bergizi yang terjangkau bagi semua rumah tangga. Meskipun demikian, hal ini membutuhkan transformasi pertanian yang didorong oleh kebijakan yang menyelaraskan insentif dengan capaian gizi, yang dicapai dengan mempromosikan dan mendukung produksi pertanian yang beragam. Selain itu, makanan yang difortifikasi, termasuk beras, sebaiknya tersedia dan dihubungkan dengan program perlindungan sosial.
(hab)