Ini Saran Pakar dari IPB untuk BPOM Terkait Aturan Pangan

Kamis, 02 Desember 2021 - 00:11 WIB
loading...
Ini Saran Pakar dari...
Rancangan Peraturan BPOM tentang Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan diharapkan tidak bersifat diskriminatif.Foto/Ilustrasi/Istimewa
A A A
JAKARTA - Rancangan Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan ( BPOM ) tentang Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan jangan sampai bersifat diskriminatif. Tak itu saja sebelum aturan dikeluarkan sebaiknya dilakukan kajian Regulatory Impact Assessment (RIA) yang mengakomodasi semua stakeholder, termasuk di dalamnya analisis mendalam terhadap dampak ekonomi dan sosial yang disebabkan.

Hal itu disampaikan ahli teknologi pangan yang juga Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dedi Fardiaz. Dedi mengatakan, sebetulnya tentang migrasi dari zat kontak pangan ke produk pangannya itu sudah diatur dalam Peraturan BPOM No 20/2019 tentang Kemasan Pangan.

“Di sana semua jelas sekali dipaparkan,” kata Dedi dalam siaran tertulis pada Rabu (1/12/2021). Peraturan itu menyebutkan label bebas dari zat kontak pangan itu tidak hanya berlaku untuk kemasan berbahan PC yang mengandung BPA saja, tapi juga produk lainnya seperti melamin perlengkapan makan dan minum, kemasan pangan plastik polistirene (PS), kemasan pangan timbal (Pb), Kadmium (Cd), Kromium VI (Cr VI), merkuri (Hg), kemasan pangan Polivinil Klorida (PVC) dari senyawa Ftalat, kemasan pangan Polyethylene terephthalate (PET), juga kemasan pangan kertas dan karton dari senyawa Ftalat.

Khusus yang terkait BPA, lanjut dia, BPOM telah menetapkan satuan untuk keamanan pangannya sama dengan yang lain yang disebut TDI (tolerable daily intake). Di mana, sesuai ketentuan dalam Peraturan Badan POM No 20/2019 tentang Kemasan Pangan, batas migrasi maksimal BPA adalah sebesar 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg).

Pada pertengahan tahun ini, kata Dedi, BPOM juga telah melakukan pengujian terhadap migrasi BPA terhadap AMDK berbahan PC dan menemukan bahwa hasilnya rendah sekali dibandingkan dengan persyaratan kandungan dalam airnya.

“Setelah dihitung ternyata paparannya itu jauh sekali di bawah itu. Artinya relatif aman,” ujarnya.

Terkait adanya rencana BPOM untuk meminta kemasan polikarbonat air minum dalam kemasan untuk mencantumkan label ‘berpotensi mengandung BPA’, Dedi mengusulkan agar itu dibuat pengecualian. Di mana, kemasan yang sudah memenuhi batas migrasi aman, yaitu 0,6 bpj tidak perlu melabeli kemasannya dengan label bebas BPA.

Sedang untuk kemasan plastik lainnya yang memang dalam proses pembuatannya tidak menggunakan BPA sebagai zat aditif menurutnya juga tidak perlu dibuat mengada-ada dengan melabeli ‘bebas BPA’.

“Karena kemasan lainnya kan tidak mengandung BPA. Yang Policarbonat (PC) itu yang pasti menggunakan BPA dalam proses pembuatannya. Yang bukan PC seperti PET, PVC, atau bahkan kaca kan memang tidak mengandung BPA. Jadi kalau diklaim mengandung bebas BPA kan itu mengada-ada namanya, artinya mengklaim sesuatu yang tidak ada,” ujarnya.

Selain itu, dia juga menyarankan agar yang dilakukan uji laboratorium itu bukan hanya kemasan pangan berbahan PC saja, tapi semua jenis kemasan pangan yang mengandung unsur zat kontak pangan seperti yang diatur dalam Peraturan BPOM No.20 Tahun 2019. Kemudian, laboratorium yang mengujinya juga harus laboratorium yang terakreditasi bukan laboratorium pemerintah saja. “Kan PET ada juga monomornya. Pada saat mengajukan izin edar, bahan pangan ini juga harus mengikuti Peraturan BPOM soal migrasi,” tukasnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1601 seconds (0.1#10.140)