Tangkal Radikalisme, Perlu Ada Kebijakan Pembauran di Tengah Masyarakat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Radikalisme dinilai memiliki hubungan dengan kondisi suatu bangsa. Sedangkan Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Pengamat politik Said Salahudin menilai sifat yang majemuk ini menyebabkan kekhasan dalam suatu masyarakat, akhirnya menyebabkan sifat eksklusivitas.
"Sifat eksklusivitas itu pengaruh faktornya banyak, misalnya kedaerahan, warna kulit, agama, golongan, kecenderungan politik, bahkan tingkat pendidikan, tingkat penghasilan hingga kelas sosial," ujarnya dalam webinar Partai Perindo bertajuk Tantangan, Radikalisme, dan Konsolidasi Demokrasi, dikutip dari kanal YouTube Partai Perindo, Selasa (23/11/2021).
Menurut Said, hal-hal semacam itu sering sekali mempengaruhi perasaan kelompok. Sehingga, kata dia, semakin besar tingkat kemajemukan di dalam masyarakat, faktor-faktor penentu perasaan kelompok itu dapat menimbulkan apa yang disebut sebagai segmentasi dan fragmentasi dalam kehidupan bermasyarakat.
"Sebab itu, menurut saya hal-hal semacam itu perlu menjadi perhatian bagi pemerintah untuk membuat suatu kebijakan pembauran yang harus dilakukan secara sengaja. Harus ada upaya untuk itu,” tuturnya.
Dia mengatakan pembauran itu harus tercermin seperti di lingkungan perumahan, perkantoran, pekerjaan, lembaga pendidikan, dan aliansi kemasyarakatan. "Bahkan ada juga beberapa pakar yang mengatakan, perlu dikembangkan kebijakan pembauran itu dalam bentuk intercultural merintis. Jadi satu kebijakan perkawinan antar budaya,” ujarnya.
Dia mengingatkan di masa lalu selalu terjadi satu kerajaan meminang putri dari kerajaan lain agar tidak terjadi pergesekan. Said berpendapat, tradisi lintas budaya ini perlu dibangun untuk membentuk suatu pergaulan yang inklusif.
Menurutnya, pergaulan eksklusif bisa digeser menjadi suatu bentuk pergaulan inklusif satu sama lain. Dengan tradisi yang perlu dibangun lewat kebijakan pembauran, diharapkan pada gilirannya digunakan satu budaya yang inklusif dan terbuka dalam kehidupan bermasyarakat.
Bahwa kemudian muncul radikalisme, kata Said, hal itu merupakan gerakan-gerakan pemikiran ekstrem. Dia pun berpandangan hal semacam itu hanya segelintir orang, dan itu tidak bisa dianggap mewakili arus utama dalam suatu golongan di masyarakat.
"Kita ini tetap sebagai bangsa yang majemuk. Kita bersatu dalam suatu wadah yang namanya NKRI dengan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika. Nah ini yang kadang-kadang suka dilupakan oleh sebagian masyarakat," katanya.
Maka itu, dia menilai perlu adanya upaya dengan cara disengaja untuk menjaga satu integrasi sosial. “Yang maksudnya adalah pada gilirannya kita membuat satu kerukunan bangsa atau integrasi nasional. Jadi dari integrasi sosial itu menjelma menjadi integrasi nasional. Kebiasaan bergaul secara inklusif harus ditingkatkan," ucapnya.
Lihat Juga: Sekjen Partai Perindo AYP Tegaskan Bakal Dukung Program Pramono-Doel dan Menjadi Mitra Strategis
"Sifat eksklusivitas itu pengaruh faktornya banyak, misalnya kedaerahan, warna kulit, agama, golongan, kecenderungan politik, bahkan tingkat pendidikan, tingkat penghasilan hingga kelas sosial," ujarnya dalam webinar Partai Perindo bertajuk Tantangan, Radikalisme, dan Konsolidasi Demokrasi, dikutip dari kanal YouTube Partai Perindo, Selasa (23/11/2021).
Menurut Said, hal-hal semacam itu sering sekali mempengaruhi perasaan kelompok. Sehingga, kata dia, semakin besar tingkat kemajemukan di dalam masyarakat, faktor-faktor penentu perasaan kelompok itu dapat menimbulkan apa yang disebut sebagai segmentasi dan fragmentasi dalam kehidupan bermasyarakat.
"Sebab itu, menurut saya hal-hal semacam itu perlu menjadi perhatian bagi pemerintah untuk membuat suatu kebijakan pembauran yang harus dilakukan secara sengaja. Harus ada upaya untuk itu,” tuturnya.
Dia mengatakan pembauran itu harus tercermin seperti di lingkungan perumahan, perkantoran, pekerjaan, lembaga pendidikan, dan aliansi kemasyarakatan. "Bahkan ada juga beberapa pakar yang mengatakan, perlu dikembangkan kebijakan pembauran itu dalam bentuk intercultural merintis. Jadi satu kebijakan perkawinan antar budaya,” ujarnya.
Dia mengingatkan di masa lalu selalu terjadi satu kerajaan meminang putri dari kerajaan lain agar tidak terjadi pergesekan. Said berpendapat, tradisi lintas budaya ini perlu dibangun untuk membentuk suatu pergaulan yang inklusif.
Menurutnya, pergaulan eksklusif bisa digeser menjadi suatu bentuk pergaulan inklusif satu sama lain. Dengan tradisi yang perlu dibangun lewat kebijakan pembauran, diharapkan pada gilirannya digunakan satu budaya yang inklusif dan terbuka dalam kehidupan bermasyarakat.
Bahwa kemudian muncul radikalisme, kata Said, hal itu merupakan gerakan-gerakan pemikiran ekstrem. Dia pun berpandangan hal semacam itu hanya segelintir orang, dan itu tidak bisa dianggap mewakili arus utama dalam suatu golongan di masyarakat.
"Kita ini tetap sebagai bangsa yang majemuk. Kita bersatu dalam suatu wadah yang namanya NKRI dengan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika. Nah ini yang kadang-kadang suka dilupakan oleh sebagian masyarakat," katanya.
Maka itu, dia menilai perlu adanya upaya dengan cara disengaja untuk menjaga satu integrasi sosial. “Yang maksudnya adalah pada gilirannya kita membuat satu kerukunan bangsa atau integrasi nasional. Jadi dari integrasi sosial itu menjelma menjadi integrasi nasional. Kebiasaan bergaul secara inklusif harus ditingkatkan," ucapnya.
Lihat Juga: Sekjen Partai Perindo AYP Tegaskan Bakal Dukung Program Pramono-Doel dan Menjadi Mitra Strategis
(rca)