Jangan Lupakan DBD!
loading...
A
A
A
Waspada kasus demam berdarah dengue (DBD)! Sekilas kalimat bernada
peringatan tersebut klise karena penyakit yang disebabkan nyamuk aedes
aegypti itu sudah biasa karena menjadi bagian dari realitas sosial
negara tropis seperti Indonesia. Namun, jika menilik dari bahayanya
yang diakibatkan selama ini, tidak ada alasan bagi siapapun untuk
terus mengingatkan.
Upaya menggugah kesadaran akan ancaman DBD saat ini memang
urgen. Pasalnya, di awal musim penghujan ini, konsentrasi masyarakat
lebih tertuju pada pontensi bencana hidrologi seperti banjir, banjir
bandang, tanah longsor dan bencana lain yang biasa terjadi selama
musim penghujan.
Di sisi lain, konsentrasi masyarakat selama hampir dua tahun
ini terkuras habis pada upaya menghadapi pandemi covid-19. Kondisi
demikian pun secara tidak langsung menegasikan fakta adanya ancaman
penyakit lain yang sejatinya tidak kalah membahayakan.
Dalam kondisi pandemi Covid-19 yang tengah melandai, masyarakat
terkesan ingin rehat dari berbagai pikiran dan kesibukan tentang
penyakit sebagai upaya melepaskan trauma yang dialami. Euforia yang
muncul bukan hanya tertuju pada upaya membebaskan dari dari segala
beban tentang Covid-19, tapi juga penyakit lain seperti DBD.
DBD memang bukanlah satu-satunya penyakit yang biasa
menyertai datangnya musim hujan. Penyakit lain di antaranya
leptospirosis yang dipicu bakteri leptospira yang disebarkan melalui
air kencing tikus. Bakteri leptospira dapat menginfeksi manusia lewat
kulit, khususnya jika ada luka. Selain itu ada juga malaria.
Namun di antara penyakit tersebut, DBD memang perlu mendapat
perhatian karena bisa menimbulkan pandemi dan mengakibakan korban jiwa
yang tidak sedikit. Bila Covid-19 relatif hanya membahayakan orang
yang memiliki kormobid, DBD bisa berakibat fatal pada siapapun jika
terlambat mendapat penanganan dari dokter. Bahkan pada 2016 dan 2019,
22 provinsi harus berstatus KLB akibat tingginya kasus DBD.
Bukan hanya itu. Dalam satu kurun tertentu, kasus kematian
akibat DBD lebih tinggi dibanding kasus Covid-19. Hal ini terjadi pada
Januari hingga Maret 2020.Pada fase tersebut, angka kematian akibat
DBD mencapai 251 jiwa, sedangkan kematian akibat Covid-19 sebanyak 122
jiwa. Yang memprihatinkan, fakta tersebut seolah tidak bermakna karena
tenggelam oleh hingar-bingar pandemic.
Sebelum musim penghujan datang pun, DBD sudah menebar
ancaman. Mengutip data Kemenkes, misalnya, hingga 14 Juni 2021,
total kasus DBD sudah mencapai 16.320 kasus.Jumlah ini meningkat
sebanyak 6.417 kasus jika dibandingkan total kasus DBD pada 30 Mei
yang hanya 9.903 kasus. Jumlah kematian akibat DBD pun meningkat dari
98 kasus pada akhir Mei hingga menjadi 147 kasus pada 14 Juni 2021.
Berpijak pada fakta-fakta tersebut, pemerintah dan semua
lapisan masyarakat hendaknya tidak menutup fakta tentang ancaman DBD.
Dari sisi pemerintah hendaknya segera menggencarkan sosialiasi dalam
menghadapi DBD, baik melalui media massa maupun sosialiasi langsung
yang dilakukan hingga di strata pemerintahan terendah.
Adapun masyarakat juga tidak bisa menyepelekan dengan
melihat kondisi lingkungan sekitar apakah ada genangan air yang
menjadi tempat nyaman bagi nyamuk aedes aegypti untuk beranak-pinak.
Beberapa tempat yang biasanya menjadi sarang nyamuk ini adalah bak
mandi, pot bunga, atau pecah belah yang biasanya berserakan di
halaman rumah.
peringatan tersebut klise karena penyakit yang disebabkan nyamuk aedes
aegypti itu sudah biasa karena menjadi bagian dari realitas sosial
negara tropis seperti Indonesia. Namun, jika menilik dari bahayanya
yang diakibatkan selama ini, tidak ada alasan bagi siapapun untuk
terus mengingatkan.
Upaya menggugah kesadaran akan ancaman DBD saat ini memang
urgen. Pasalnya, di awal musim penghujan ini, konsentrasi masyarakat
lebih tertuju pada pontensi bencana hidrologi seperti banjir, banjir
bandang, tanah longsor dan bencana lain yang biasa terjadi selama
musim penghujan.
Di sisi lain, konsentrasi masyarakat selama hampir dua tahun
ini terkuras habis pada upaya menghadapi pandemi covid-19. Kondisi
demikian pun secara tidak langsung menegasikan fakta adanya ancaman
penyakit lain yang sejatinya tidak kalah membahayakan.
Dalam kondisi pandemi Covid-19 yang tengah melandai, masyarakat
terkesan ingin rehat dari berbagai pikiran dan kesibukan tentang
penyakit sebagai upaya melepaskan trauma yang dialami. Euforia yang
muncul bukan hanya tertuju pada upaya membebaskan dari dari segala
beban tentang Covid-19, tapi juga penyakit lain seperti DBD.
DBD memang bukanlah satu-satunya penyakit yang biasa
menyertai datangnya musim hujan. Penyakit lain di antaranya
leptospirosis yang dipicu bakteri leptospira yang disebarkan melalui
air kencing tikus. Bakteri leptospira dapat menginfeksi manusia lewat
kulit, khususnya jika ada luka. Selain itu ada juga malaria.
Namun di antara penyakit tersebut, DBD memang perlu mendapat
perhatian karena bisa menimbulkan pandemi dan mengakibakan korban jiwa
yang tidak sedikit. Bila Covid-19 relatif hanya membahayakan orang
yang memiliki kormobid, DBD bisa berakibat fatal pada siapapun jika
terlambat mendapat penanganan dari dokter. Bahkan pada 2016 dan 2019,
22 provinsi harus berstatus KLB akibat tingginya kasus DBD.
Bukan hanya itu. Dalam satu kurun tertentu, kasus kematian
akibat DBD lebih tinggi dibanding kasus Covid-19. Hal ini terjadi pada
Januari hingga Maret 2020.Pada fase tersebut, angka kematian akibat
DBD mencapai 251 jiwa, sedangkan kematian akibat Covid-19 sebanyak 122
jiwa. Yang memprihatinkan, fakta tersebut seolah tidak bermakna karena
tenggelam oleh hingar-bingar pandemic.
Sebelum musim penghujan datang pun, DBD sudah menebar
ancaman. Mengutip data Kemenkes, misalnya, hingga 14 Juni 2021,
total kasus DBD sudah mencapai 16.320 kasus.Jumlah ini meningkat
sebanyak 6.417 kasus jika dibandingkan total kasus DBD pada 30 Mei
yang hanya 9.903 kasus. Jumlah kematian akibat DBD pun meningkat dari
98 kasus pada akhir Mei hingga menjadi 147 kasus pada 14 Juni 2021.
Berpijak pada fakta-fakta tersebut, pemerintah dan semua
lapisan masyarakat hendaknya tidak menutup fakta tentang ancaman DBD.
Dari sisi pemerintah hendaknya segera menggencarkan sosialiasi dalam
menghadapi DBD, baik melalui media massa maupun sosialiasi langsung
yang dilakukan hingga di strata pemerintahan terendah.
Adapun masyarakat juga tidak bisa menyepelekan dengan
melihat kondisi lingkungan sekitar apakah ada genangan air yang
menjadi tempat nyaman bagi nyamuk aedes aegypti untuk beranak-pinak.
Beberapa tempat yang biasanya menjadi sarang nyamuk ini adalah bak
mandi, pot bunga, atau pecah belah yang biasanya berserakan di
halaman rumah.
(ynt)