Keberhasilan Ziggy Mengusik Ketenangan Pembaca
loading...
A
A
A
Khoimatun Nikmah
Penulis Lepas, Alumnus Universitas Semarang.
Novel dan sastra adalah hutan penuh segala kemungkinan. Bila seorang bertungkus-lumus menyusuri setiap kemungkinan sastra, maka kita akan menemukan banyak sekali kemungkinan dan hal-hal yang belum tergali oleh sastra itu sendiri.
baca juga: 6 Novel tentang Zodiak, dari Misteri hingga Fiksi Ilmiah
Ketika buku, Interior Chinatown terbit, seketika kita terkagum-kagum keberanian Charles Yu untuk memadukan skrip film dengan novel itu sendiri. Milkman karya Anna Burn pun pernah dielu-elukan sebagai keberanian baru dalam sastra. Atau suatu kali kita pernah menganggap gaya-gaya Danarto atau gaya eksperimental Iwan Simatupang sebagai gelombang baru dalam sastra Indonesia. Benar, tetapi apakah masih diperlukan pelabelan demikian untuk penulis generasi internet masa sekarang? Ketika zaman membuka diri begitu lebar dan kemungkinan terhampar begitu nyata.
Di satu sisi, kita gegap dan merayakannya dengan penuh kegembiraan. Bahwa sastra memiliki laju positif ke arah baik. Namun tidak bisa dimungkiri, kalau dengan pelabelan ‘pendobrak’ atau sejenis jusru membuat sastra memiliki jarak dan tekanan tersendiri kepada pembaca. Akibatnya hampir tidak ada di generasi milenial sekarang yang merasa penting untuk melabeli diri dan karyanya sebagai pendobrak dalam sastra. Sebab apa? Mereka tidak ingin menempatkan karya dan dirinya jauh dari pembaca, sehingga pembaca butuh mendaki beberapa anak tangga untuk memahami karya mereka. Sastrawan-sastrawan muda lebih suka mengungkapkan ini sebagai eksperimental tanpa harus mendobrak atau nyeleneh.
Satu karya yang baru-baru ini mencuri perhatian dengan keberanian dan bentuk ceritanya adalah karya punya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, Kita Pergi Hari Ini atau Tempat-Tempat Indah dalam Mimpi-Mimpi Anak-Anak Baik-Baik. Ziggy jelas bukan termasuk pemain lama sehingga dia merasa perlu melabeli sebagai karya pendobrak. Tidak. Dia hadir sebagai pencerita ulung, yang memainkan sisi-sisi yang belum banyak dikerjakan oleh penulis lain.
baca juga: Anies Beberkan Kunci Jakarta Terpilih sebagai Kota Sastra Dunia
Novel tidak lebih dari 200 halaman ini, bercerita tentang interaksi lima bocah—Mi, Ma, Mo, Fifi, dan Fufu—dengan Nona Gigi pengasuh sementara mereka yang berwujud Kucing Luar Biasa dengan celemek. Tampak lucu. Namun, bukan berarti sepanjang novel kita tidak akan tergganggu oleh cerita dan cara Ziggy bercerita. Dia melakukan pendekatan pada kenyataan yang sedikit ‘mengusik’ ketenangan pembaca umumnya.
Pertama yang mencolok adalah keberadaan judul alternatif. Jelas ini hal baru dan berbeda dari novel Indonesia kebanyakan. Ini bukan subjudul, melainkan benar-benar judul alternatif. Ziggy dalam kesempatan soft-launching di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), Oktober lalu, menyingung alasan di balik penggunaan judul alternatif. Bahwa judul alternatif ini terinspirasi dari beberapa novel perempuan tahun 1920-an yang kerap kali menggunakan judul alternatif.
Selanjutnya adalah catatan kaki. Ziggy dalam novel ini menggunakan banyak sekali catatan kaki fiktif yang bukan bermaksud menjelaskan sebagaimana fungsi catatan kaki, melainkan membuatnya sebagai cerita sendiri. Sebab buku, jurnal, artikel, penulis, penerbit yang disebut dalam catatan kaki adalah fiktif. Sebuah totalitas memasukkan semua elemen dalam buku sebagai bagian dari rimba fiksi yang dibangun Ziggy. Selain bisa dinikmati, catatan-catatan kaki ini juga bisa dicermati sebagai keisengan yang menyenangkan dari Ziggy.
Penulis Lepas, Alumnus Universitas Semarang.
Novel dan sastra adalah hutan penuh segala kemungkinan. Bila seorang bertungkus-lumus menyusuri setiap kemungkinan sastra, maka kita akan menemukan banyak sekali kemungkinan dan hal-hal yang belum tergali oleh sastra itu sendiri.
baca juga: 6 Novel tentang Zodiak, dari Misteri hingga Fiksi Ilmiah
Ketika buku, Interior Chinatown terbit, seketika kita terkagum-kagum keberanian Charles Yu untuk memadukan skrip film dengan novel itu sendiri. Milkman karya Anna Burn pun pernah dielu-elukan sebagai keberanian baru dalam sastra. Atau suatu kali kita pernah menganggap gaya-gaya Danarto atau gaya eksperimental Iwan Simatupang sebagai gelombang baru dalam sastra Indonesia. Benar, tetapi apakah masih diperlukan pelabelan demikian untuk penulis generasi internet masa sekarang? Ketika zaman membuka diri begitu lebar dan kemungkinan terhampar begitu nyata.
Di satu sisi, kita gegap dan merayakannya dengan penuh kegembiraan. Bahwa sastra memiliki laju positif ke arah baik. Namun tidak bisa dimungkiri, kalau dengan pelabelan ‘pendobrak’ atau sejenis jusru membuat sastra memiliki jarak dan tekanan tersendiri kepada pembaca. Akibatnya hampir tidak ada di generasi milenial sekarang yang merasa penting untuk melabeli diri dan karyanya sebagai pendobrak dalam sastra. Sebab apa? Mereka tidak ingin menempatkan karya dan dirinya jauh dari pembaca, sehingga pembaca butuh mendaki beberapa anak tangga untuk memahami karya mereka. Sastrawan-sastrawan muda lebih suka mengungkapkan ini sebagai eksperimental tanpa harus mendobrak atau nyeleneh.
Satu karya yang baru-baru ini mencuri perhatian dengan keberanian dan bentuk ceritanya adalah karya punya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, Kita Pergi Hari Ini atau Tempat-Tempat Indah dalam Mimpi-Mimpi Anak-Anak Baik-Baik. Ziggy jelas bukan termasuk pemain lama sehingga dia merasa perlu melabeli sebagai karya pendobrak. Tidak. Dia hadir sebagai pencerita ulung, yang memainkan sisi-sisi yang belum banyak dikerjakan oleh penulis lain.
baca juga: Anies Beberkan Kunci Jakarta Terpilih sebagai Kota Sastra Dunia
Novel tidak lebih dari 200 halaman ini, bercerita tentang interaksi lima bocah—Mi, Ma, Mo, Fifi, dan Fufu—dengan Nona Gigi pengasuh sementara mereka yang berwujud Kucing Luar Biasa dengan celemek. Tampak lucu. Namun, bukan berarti sepanjang novel kita tidak akan tergganggu oleh cerita dan cara Ziggy bercerita. Dia melakukan pendekatan pada kenyataan yang sedikit ‘mengusik’ ketenangan pembaca umumnya.
Pertama yang mencolok adalah keberadaan judul alternatif. Jelas ini hal baru dan berbeda dari novel Indonesia kebanyakan. Ini bukan subjudul, melainkan benar-benar judul alternatif. Ziggy dalam kesempatan soft-launching di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), Oktober lalu, menyingung alasan di balik penggunaan judul alternatif. Bahwa judul alternatif ini terinspirasi dari beberapa novel perempuan tahun 1920-an yang kerap kali menggunakan judul alternatif.
Selanjutnya adalah catatan kaki. Ziggy dalam novel ini menggunakan banyak sekali catatan kaki fiktif yang bukan bermaksud menjelaskan sebagaimana fungsi catatan kaki, melainkan membuatnya sebagai cerita sendiri. Sebab buku, jurnal, artikel, penulis, penerbit yang disebut dalam catatan kaki adalah fiktif. Sebuah totalitas memasukkan semua elemen dalam buku sebagai bagian dari rimba fiksi yang dibangun Ziggy. Selain bisa dinikmati, catatan-catatan kaki ini juga bisa dicermati sebagai keisengan yang menyenangkan dari Ziggy.