Mengenang Tokoh dan Buku
loading...
A
A
A
Doktor sosiologi pertama di Indonesia itu merasa wajib mengajarkan ilmu sosiologi. Pengajaran turut disampaikan dalam karangan-karangan berwujud buku. Penerbitan seperti mengemban misi ajakan untuk belajar gagasan-gagasan kunci sosiologi dari para pemikir-intelektual dunia. Buku Setangkai Bunga Sosiologi, satu di antaranya.
baca juga: Agenda Lelah Pengulik Sastra Akademis
Soerjono Soekanto dalam buku diktat laris-manis sepanjang masa berjudul Sosiologi: Suatu Pengantar (1982) mencatat peran Selo Soemardjan, “bersama Soelaeman Soemardi, pengarang yang sama telah menghimpun bagian-bagain dari text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia. Buku yang berjudul Setangkai Bunga Sosiologi itu diterbitkan pada 1964 dan dipakai sebagai bacaan wajib pada beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta”.
Buku itu beredar pada masa revolusi belum diharap padam. Buku pun bersejarah dalam penerbitan buku-buku sosiologi di Indonesia. Soerjono Soekanto tak memberi tanggapan atau komentar mengenai judul. BM justru berseloroh, “Judul agak puitis untuk buku berisi teks-teks sosiologi berbahasa Inggris”.
Kita mengerti kontribusi dan ketokohan Selo Soemardjan tak sedikit. Persembahan buku menegaskan Selo Soemardjan menjadi bab penting dalam sejarah intelektual dan perkembangan-kemajuan ilmu sosiologi di Indonesia. Selo Soemardjan tak hanya catatan kaki.
baca juga: Novelis Tanzania Abdulrazak Gurnah Sabet Nobel Sastra
Sementara untuk buku, BM berseru guna mengingat buku-buku tua. Sekian buku itu kembali terbaca dan termaknai. Seperti Serat Pathi Basa (1916), Kitab Arti Logat Melajoe (1914), Baoesastra Melayoe-Djawa (1916), “soerat tjerita” Mas Marco Kartodikromo berjudul Mata Gelap (1914), juga terjemahan novel Andre Gide bertajuk Simfoni Pastoral (1987) untuk menyebut beberapa contoh. Komposisi esai dalam Titik Membara ini, memang lebih banyak tokoh tinimbang buku.
Kita menjumpai buku-buku dari masa lalu tak langgeng dan lekas surut. Beberapa buku justru terbenam atau karam, tak lagi teringat dan tercatat. BM mengutarakan, barangkali kita terlalu gampang melupakan buku dan kamus-kamus lawas, dengan tanpa sesalan dan ratapan. Buku-buku tua yang rapuh dan kusam itu masih mendapat restu untuk tampil saat dunia gegap gempita merayakan abad digital. Pembahasan menarik kita pelesir di hadapan buku, di lembaran-lembaran sang waktu.
Judul : Titik Membara
Penulis : Bandung Mawardi
baca juga: Agenda Lelah Pengulik Sastra Akademis
Soerjono Soekanto dalam buku diktat laris-manis sepanjang masa berjudul Sosiologi: Suatu Pengantar (1982) mencatat peran Selo Soemardjan, “bersama Soelaeman Soemardi, pengarang yang sama telah menghimpun bagian-bagain dari text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia. Buku yang berjudul Setangkai Bunga Sosiologi itu diterbitkan pada 1964 dan dipakai sebagai bacaan wajib pada beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta”.
Buku itu beredar pada masa revolusi belum diharap padam. Buku pun bersejarah dalam penerbitan buku-buku sosiologi di Indonesia. Soerjono Soekanto tak memberi tanggapan atau komentar mengenai judul. BM justru berseloroh, “Judul agak puitis untuk buku berisi teks-teks sosiologi berbahasa Inggris”.
Kita mengerti kontribusi dan ketokohan Selo Soemardjan tak sedikit. Persembahan buku menegaskan Selo Soemardjan menjadi bab penting dalam sejarah intelektual dan perkembangan-kemajuan ilmu sosiologi di Indonesia. Selo Soemardjan tak hanya catatan kaki.
baca juga: Novelis Tanzania Abdulrazak Gurnah Sabet Nobel Sastra
Sementara untuk buku, BM berseru guna mengingat buku-buku tua. Sekian buku itu kembali terbaca dan termaknai. Seperti Serat Pathi Basa (1916), Kitab Arti Logat Melajoe (1914), Baoesastra Melayoe-Djawa (1916), “soerat tjerita” Mas Marco Kartodikromo berjudul Mata Gelap (1914), juga terjemahan novel Andre Gide bertajuk Simfoni Pastoral (1987) untuk menyebut beberapa contoh. Komposisi esai dalam Titik Membara ini, memang lebih banyak tokoh tinimbang buku.
Kita menjumpai buku-buku dari masa lalu tak langgeng dan lekas surut. Beberapa buku justru terbenam atau karam, tak lagi teringat dan tercatat. BM mengutarakan, barangkali kita terlalu gampang melupakan buku dan kamus-kamus lawas, dengan tanpa sesalan dan ratapan. Buku-buku tua yang rapuh dan kusam itu masih mendapat restu untuk tampil saat dunia gegap gempita merayakan abad digital. Pembahasan menarik kita pelesir di hadapan buku, di lembaran-lembaran sang waktu.
Judul : Titik Membara
Penulis : Bandung Mawardi