Wantimpres Sebut Merusak Keberagaman Adalah Pengingkaran Makna Sumpah Pemuda

Kamis, 28 Oktober 2021 - 16:32 WIB
loading...
Wantimpres Sebut Merusak Keberagaman Adalah Pengingkaran Makna Sumpah Pemuda
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto mengatakan, merusak kebinekaan adalah pengingkaran makna Sumpah Pemuda. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto mengingatkan bahwa keberagaman Indonesia adalah anugerah. Di mana Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan untuk semua suku, etnis, agama dan golongan.

“Bangsa dan negara ini bukan untuk kalangan tertentu. Namun menurut Bung Karno, Satu untuk semua, semua untuk satu dan semua untuk semua. Pemikiran Bung Karno ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia sebagai bangsa yang pluralistik, multikultural, multietnis dan multiagama,” katanya dalam Diskusi Publik Memperingati Hari Sumpah Pemuda 2021, Kamis (28/10/2021).

Dia mengingatkan semua anak bangsa memiliki hak dan kewajiban yang sama. Menurutnya Indonesia yang pluralistik, multikultural, multietnis dan multiagama adalah suatu keniscayaan yang harus dirawat dan dijaga keharmonisannya. Pasalnya, jika keberagaman tidak dikelola dengan bijaksana bisa menjadi sumber konflik.

“Namun jika tidak dikelola dengan bijaksana, keberagaman dapat menjadi sumber terjadinya konflik sosial di masyarakat. Masalah kecil dan sederhana dapat menjadi ledakan besar yang dapat mengancam keutuhan NKRI jika tidak dijaga dengan baik,” tuturnya.

Sidarto juga mengungkapkan saat ini berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk merusak keharmonisan Indonesia. Di antaranya dengan cara mengganti ideologi negara. Lalu ingin mengubah bentuk sesuai dengan keinginan mereka. Demikian juga Kebinekaan dianggap sebagai sebuah yang harus dihilangkan dari Republik Indonesia.
“Kondisi ini terjadi karena ada kelompok yang mencoba mengingkari makna Sumpah Pemuda dan melupakan sejarah berdirinya Republik Indonesia yang dibangun di atas keberagaman suku etnis maupun agama. Keadaan ini mengakibatkan dalam beberapa tahun terakhir gerakan intoleransi, radikalisme dan terorisme semakin marak terjadi di Indonesia,” ujarnya.

Dia menyebut dalam beberapa tahun terakhir ini paham radikalisme dan intoleransi tumbuh subur di kalangan pelajar, mahasiswa, guru dan dosen. Hal ini tampak dari berbagai survei yang dilakukan oleh beberapa negara. Misalnya saja hasil penelitian LIPI pada 2016 yang menemukan 21% siswa dan guru menyatakan Pancasila sudah tidak lagi relevan digunakan. Kemudian survei UIN Syarif Hidayatullah dari September-Oktober menyatakan 91% setuju syariat Islam perlu diterapkan dalam bernegara.



Hasil survei Wahid Institut bersama LSI yang disampaikan 1 Agustus 2016 sebanyak 59% responden memiliki kelompok yang dibenci. Dimana kelompok yang dibenci adalah mereka yang berlatar belakang agama non muslim, kelompok Tionghoa, komunis dan lainnya. Dari 59% itu, 92% tak setuju anggota kelompok yang dibenci jadi pejabat pemerintah di Indonesia.

Berdasarkan hasil kajian Tim Laboratorium Indonesia 2045 (Lab 45) sepanjang 21 tahun tercatat rata-rata serangan teror mencapai 20 aksi. “Jika kondisi ini tidak diatasi maka sikap intoleran akan semakin meluas di kalangan masyarakat. Khususnya kaum muda, milenial dan mahasiswa,” tuturnya.

Di momen Peringatan Hari Sumpah Pemuda ini, Sidarto mengajak generasi muda dapat bahu membahu dan mengokohkan pondasi serta benteng persatuan dan kesatuan.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2397 seconds (0.1#10.140)