Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Jauhi Semangat Reformasi

Kamis, 04 Juni 2020 - 07:05 WIB
loading...
Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Jauhi Semangat Reformasi
Derasnya penolakan terhadap Rancangan Peraturan Presiden (Perpes) pelibatan TNI dalam memberantas aksi terorisme dilatarbelakangi konstitusi dan semangat menjaga Reformasi TNI.Foto/okezone
A A A
JAKARTA - Derasnya penolakan terhadap Rancangan Peraturan Presiden (Perpes) pelibatan TNI dalam memberantas aksi terorisme dilatarbelakangi konstitusi dan semangat menjaga Reformasi TNI.

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie mengungkapkan setidaknya dua persoalan mencerminkan latarbelakang penolakan tersebut, yaitu karena ketiadaan pengaturan keputusan dan kebijakan politik negara dan kerangka criminal justice system dalam RPerpres tersebut.

Ketiadaan pengaturan kebijakan dan keputusan politik negara tersebut menurutnya tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) yang mengatur pelibatan TNI dalam Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). (Baca juga: Bisa Picu Masalah, Perpres TNI Tangani Terorisme Diminta Ditarik)

”Dalam peraturan tersebut OMSP dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Bahkan pada Pasal 5 disebutkan TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik Negara,” ujarnya, Kamis (4/6/2020).

Sementara ketiadaan pengaturan kerangka criminal justice system semakin menjauhkan TNI dari semangat Reformasi TNI, terutama yang berkaitan dengan upaya revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. (Baca juga: Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Picu Polemik, Begini Reaksi Kapuspen)

“Rancangan Perpres yang memberikan kewenangan TNI dalam penanganan terorisme menjauhkan TNI dari semangat Reformasi. Peradilan militer menjadi persoalan yang tidak kunjung tuntas dalam dua dekade reformasi, meskipun telah dimulai pembahasan sejak dekade pertama reformasi TNI. Kegagalan revisi sistem peradilan militer menjadi penanda rendahnya akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat militer. Ini masih menjadi masalah besar,” katanya.

Pengaturan semacamnya lanjut Ikhsan, juga sudah diatur pada Pasal 3 ayat (4) huruf a TAP MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri yang mengamanatkan bahwa prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum, seharusnya dapat dilaksanakan. (Baca juga: Ubah Citra Positif, Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Dicabut)

“Dua persoalan diatas pada dasarnya juga menjadi bagian dari definisi Tentara Profesional yang diatur pada Pasal 2 huruf d UU TNI, yakni mengikuti kebijakan politik negara yang menganut, prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional pun juga. Sehingga, dalam konstruksi kerangka penolakan tersebut, tentu menjadi pertanyaan, bagian mana yang mencerminkan sesuatu yang berlebihan dan penggunaan kacamata hukum dan HAM yang sempit?” timpal Ikhsan.

Dalam diskursus pro-kontra rancangan perpres, kata dia, satu hal yang ditakutkan adalah ketika terjadi perbedaan konteks pembahasan. Dia menekankan, penolakan yang dilakukan sejumlah aktivis berada pada konteks pengaturan pelibatan TNI dalam rancangan perpres. Sementara pihak lain yang setuju atas rancangan prerpres tersebut menggambarkan konteks pelibatan TNI. Aspek pengaturan tersebut memberikan perbedaan yang mendasar dalam perspektif pro-kontra diskursus ini. Perbedaan konteks ini berimplikasi kepada diskursus yang bertolak belakang. (Baca juga: Ahli Hukum Tata Negara UGM Sebut Perpres TNI Atasi Terorisme Bermasalah)

Mereka yang berbicara pengaturan pelibatan TNI akan mengacu pada aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya. Sehingga jika TNI dilibatkan, maka pelibatan tersebut harus memiliki aturan main yang jelas dan konstitusional. Sementara mereka yang mendukung, cenderung mengarahkan pembahasan kepada hal-hal yang konseptual, seperti dinamika ancaman.

Jika berada dalam konteks yang sama, yakni pengaturan pelibatan TNI dalam rancangan perpres tersebut, tentu yang menjadi pertanyaan, apakah pengamat tersebut sepakat jika pelibatan TNI dalam penanganan terorisme tidak perlu berdasar keputusan dan kebijakan politik negara, seperti yang diatur UU TNI? serta tidak perlu dalam kerangka criminal justice system?” Tanya Ikhsan.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1175 seconds (0.1#10.140)