Menelaah Lebih Jauh Stereotip Gender Sejak Anak-Anak
loading...
A
A
A
Dr Muhammad Sufyan Abdurrahman
Dosen Digital PR Telkom University & Esti Fauziyah, Alumni Digital PR Telkom University
AKHIR-akhir ini, stereotip mengenai perbedaan gender di masyarakat menjadi perbincangan yang sering muncul. Jika pada zaman dahulu yang hanya dapat memakai rok adalah perempuan dan celana untuk laki-laki, kini sering dijumpai perempuan yang menyerupai laki-laki begitupun sebaliknya.
baca juga: Menteri PPPA: Pembangunan di Indonesia Masih Belum Perhatikan Kesetaraan Gender
Perubahan yang seperti ini tentu tidak semua masyarakat dapat menerimanya, tetap saja ada pihak yang pro dan kontra terhadap perubahan ini. Stereotip gender yang sudah berkembang dalam berbagai budaya menunjukkan bahwa masyarakat memberikan perlakuan berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Tidak hanya pakaian, ketidaksetaraan gender juga membatasi perempuan terhadap pendidikan, pekerjaan, serta potensi yang dimiliki setiap individu.
baca juga: Jangan Diremehkan, Transgender Ini Resmi Dilantik Jadi Laksamana Bintang Empat
Berkaca pada keadaan yang sebenarnya, banyak masyarakat yang masih memiliki persepsi bahwa memasak, mengurus rumah, mengasuh anak adalah pekerjaan perempuan. Sedangkan laki-laki berperan dalam mencari nafkah dan pemimpin keluarga. Begitupun dalam hal hobi, perempuan diharapkan lebih terlibat dalam bidang seni, bahasa serta keperawatan, dan laki-laki diharapkan lebih terlibat dalam kegiatan olahraga, teknik, dan mesin. Akibatnya, banyak individu yang merasa terbatasi hanya karena stereotip yang ada.
Meskipun stereotip memiliki sifat-sifat positif, tetapi stereotip berupa sifat negatif lebih banyak dihasilkan dan digunakan untuk membenarkan diskriminasi terhadap individu ataupun anggota kelompok tertentu. Walaupun pada dasarnya stereotip mengeneralisasikan suatu individu atapun anggota kelompok, namun bisa saja stereotip ini menjadi akurat dan tidak akurat. Maka dari itu, perlu dilakukan upaya untuk memperbaiki persepsi masyarakat mengenai stereotip gender ini.
baca juga: Pakai High Heels, 6 Idol K-Pop Pria Ini Berani Dobrak Stereotipe Gender
Dalam memperbaiki stereotip gender yang kaku, dibutuhkan peran agen-agen sosial di sekitar anak. Agen sosial yang mempunyai peran penting terhadap perkembangan gender anak adalah orang tua. Sejak anak masih berada di usia bayi, mereka sudah memperoleh pengetahuan gender yang cukup banyak. Oleh karena itu, orang tua memiliki campur tangan langsung terhadap perkembangan gender anak.
Buku ini merupakan karya penting berisikan pemaparan lengkap mengenai konsep gender serta perkembangan gender pada anak yang dimulai sejak awal kehidupan. Anak-anak mulai mengembangkan perilaku stereotip gender pada sekitar usia 2 tahun yaitu ketika kesadaran gender anak mulai berkembang, mereka sudah mengetahui bahwa dirinya adalah anak laki-laki ataupun perempuan.
baca juga: Bikin Bingung! Ternyata Ada 18 Jenis Gender di Thailand
Kemudian pada usia sekitar 3-5 tahun, anak akan diolok-olok oleh teman sebayanya apabila bermain dengan mainan lawan jenisnya seperti anak laki-laki yang bermain boneka dan anak perempuan yang bermain truk. Begitu anak mengenal identitasnya sebagi laki-laki atau perempuan, mereka mulai berperilaku dengan berpedoman pada norma gender yang ia ketahui sehingga perilakunya bersifat stereotip. Semakin bertambah usia, perilaku stereotip akan meluas sampai ke bidang pekerjaan, olahraga, dan bidang kehidupan lainnya.
baca juga: Masih Adakah Bias Gender dalam Kredit Perbankan?
Meskipun perilaku stereotip ini menurun seiring dengan berkembangnya fleksibilitas gender, tetapi pengaruhnya tidak dapat hilang sepenuhnya. Secara mendalam, penulis buku ini memaparkan upaya yang dapat dilakukan orang tua untuk mengatasi stereotip gender pada anak yaitu dengan melakukan pendekatan androgini. Pada dasarnya konsep androgini dapat mendorong anak untuk bersikap adaptif terhadap lingkungan sosial, di mana anak dapat mengetahui kapan harus bersikap feminin dan kapan harus berprilaku maskulin. Pendidikan androgini telah terbukti menghasilkan hal positif bagi anak untuk membantu tercapainya perkembangan secara optimal.
Pada 8 bab yang terdapat dalam buku ini, penulis memberikan pemahaman tentang memperlakukan anak sebagai individu yang memiliki sifat fleksibel hingga dapat berkembang secara optimal dan dapat menghargai peran setiap orang tanpa melihat gender mereka.
Judul Buku: Perkembangan Gender Anak dalam Perspektif Psikologi
Penulis: Dra. Yulia Ayriza, M.Si., Ph.D
Penerbit: PT REMAJA ROSDAKARYA
Cetakan: Agustus 2021 (I)
Tebal: 230 halaman
ISBN: 978-602-446-568-1
Lihat Juga: DKPP Copot Hasyim Asy’ari, KMPKP Desak KPU Berbenah dan Buat Pedoman Penanganan Kekerasan Gender
Dosen Digital PR Telkom University & Esti Fauziyah, Alumni Digital PR Telkom University
AKHIR-akhir ini, stereotip mengenai perbedaan gender di masyarakat menjadi perbincangan yang sering muncul. Jika pada zaman dahulu yang hanya dapat memakai rok adalah perempuan dan celana untuk laki-laki, kini sering dijumpai perempuan yang menyerupai laki-laki begitupun sebaliknya.
baca juga: Menteri PPPA: Pembangunan di Indonesia Masih Belum Perhatikan Kesetaraan Gender
Perubahan yang seperti ini tentu tidak semua masyarakat dapat menerimanya, tetap saja ada pihak yang pro dan kontra terhadap perubahan ini. Stereotip gender yang sudah berkembang dalam berbagai budaya menunjukkan bahwa masyarakat memberikan perlakuan berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Tidak hanya pakaian, ketidaksetaraan gender juga membatasi perempuan terhadap pendidikan, pekerjaan, serta potensi yang dimiliki setiap individu.
baca juga: Jangan Diremehkan, Transgender Ini Resmi Dilantik Jadi Laksamana Bintang Empat
Berkaca pada keadaan yang sebenarnya, banyak masyarakat yang masih memiliki persepsi bahwa memasak, mengurus rumah, mengasuh anak adalah pekerjaan perempuan. Sedangkan laki-laki berperan dalam mencari nafkah dan pemimpin keluarga. Begitupun dalam hal hobi, perempuan diharapkan lebih terlibat dalam bidang seni, bahasa serta keperawatan, dan laki-laki diharapkan lebih terlibat dalam kegiatan olahraga, teknik, dan mesin. Akibatnya, banyak individu yang merasa terbatasi hanya karena stereotip yang ada.
Meskipun stereotip memiliki sifat-sifat positif, tetapi stereotip berupa sifat negatif lebih banyak dihasilkan dan digunakan untuk membenarkan diskriminasi terhadap individu ataupun anggota kelompok tertentu. Walaupun pada dasarnya stereotip mengeneralisasikan suatu individu atapun anggota kelompok, namun bisa saja stereotip ini menjadi akurat dan tidak akurat. Maka dari itu, perlu dilakukan upaya untuk memperbaiki persepsi masyarakat mengenai stereotip gender ini.
baca juga: Pakai High Heels, 6 Idol K-Pop Pria Ini Berani Dobrak Stereotipe Gender
Dalam memperbaiki stereotip gender yang kaku, dibutuhkan peran agen-agen sosial di sekitar anak. Agen sosial yang mempunyai peran penting terhadap perkembangan gender anak adalah orang tua. Sejak anak masih berada di usia bayi, mereka sudah memperoleh pengetahuan gender yang cukup banyak. Oleh karena itu, orang tua memiliki campur tangan langsung terhadap perkembangan gender anak.
Buku ini merupakan karya penting berisikan pemaparan lengkap mengenai konsep gender serta perkembangan gender pada anak yang dimulai sejak awal kehidupan. Anak-anak mulai mengembangkan perilaku stereotip gender pada sekitar usia 2 tahun yaitu ketika kesadaran gender anak mulai berkembang, mereka sudah mengetahui bahwa dirinya adalah anak laki-laki ataupun perempuan.
baca juga: Bikin Bingung! Ternyata Ada 18 Jenis Gender di Thailand
Kemudian pada usia sekitar 3-5 tahun, anak akan diolok-olok oleh teman sebayanya apabila bermain dengan mainan lawan jenisnya seperti anak laki-laki yang bermain boneka dan anak perempuan yang bermain truk. Begitu anak mengenal identitasnya sebagi laki-laki atau perempuan, mereka mulai berperilaku dengan berpedoman pada norma gender yang ia ketahui sehingga perilakunya bersifat stereotip. Semakin bertambah usia, perilaku stereotip akan meluas sampai ke bidang pekerjaan, olahraga, dan bidang kehidupan lainnya.
baca juga: Masih Adakah Bias Gender dalam Kredit Perbankan?
Meskipun perilaku stereotip ini menurun seiring dengan berkembangnya fleksibilitas gender, tetapi pengaruhnya tidak dapat hilang sepenuhnya. Secara mendalam, penulis buku ini memaparkan upaya yang dapat dilakukan orang tua untuk mengatasi stereotip gender pada anak yaitu dengan melakukan pendekatan androgini. Pada dasarnya konsep androgini dapat mendorong anak untuk bersikap adaptif terhadap lingkungan sosial, di mana anak dapat mengetahui kapan harus bersikap feminin dan kapan harus berprilaku maskulin. Pendidikan androgini telah terbukti menghasilkan hal positif bagi anak untuk membantu tercapainya perkembangan secara optimal.
Pada 8 bab yang terdapat dalam buku ini, penulis memberikan pemahaman tentang memperlakukan anak sebagai individu yang memiliki sifat fleksibel hingga dapat berkembang secara optimal dan dapat menghargai peran setiap orang tanpa melihat gender mereka.
Judul Buku: Perkembangan Gender Anak dalam Perspektif Psikologi
Penulis: Dra. Yulia Ayriza, M.Si., Ph.D
Penerbit: PT REMAJA ROSDAKARYA
Cetakan: Agustus 2021 (I)
Tebal: 230 halaman
ISBN: 978-602-446-568-1
Lihat Juga: DKPP Copot Hasyim Asy’ari, KMPKP Desak KPU Berbenah dan Buat Pedoman Penanganan Kekerasan Gender
(ymn)