Jelang COP26, Pemimpin Komunitas Suarakan Deklarasi Darurat Iklim
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia telah memutakhirkan komitmen iklim melalui Nationally Determined Contribution (NDC)-nya untuk mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat.
Baca Juga: iklim
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengemukakan, persoalan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seharusnya tidak dipandang sebagai beban melainkan sebuah kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi menuju ekonomi rendah karbon.
"Berdasarkan kajian kami berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, dekarbonisasi mendalam pada sistem energi di tahun 2050 justru membawa manfaat ekonomi yang lebih besar," ujar Fabby dalam webinar 'Menuju COP 26: Perubahan Iklim dan Peran Publik untuk Melestarikan Bumi' yang diselenggarakan oleh IESR, Selasa (19/10/2021).
Fabby menambahkan, manfaat ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat melalui terciptanya peluang industri baru sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar.
Selain itu, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau dari pemanfaatan teknologi energi terbarukan yang lebih murah serta udara yang lebih bersih.
Menurutnya, ambisi iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris akan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi sebagai konsekuensi dari meningkatnya suhu bumi melebih 1,5 derajat Celcius.
"Menyoroti kebijakan dan tingkat literasi masyarakat terhadap krisis iklim, para pemimpin komunitas yang turut hadir pada kesempatan yang sama mengemukakan bahwa kebijakan terkait iklim yang belum terintegrasi serta kurangnya akses informasi tentang perubahan iklim membuat upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia berjalan lambat," ucapnya.
Tidak adanya deklarasi darurat iklim oleh pemerintah menurut Melissa Kowara, Aktivis, Extinction Rebellion Indonesia mengindikasikan rendahnya tingkat keseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim.
"Belum ada sikap tegas dari tingkat tertinggi negara yang mengatakan bahwa kita ada di suatu krisis. (Belum ada deklarasi yang mengatakan, red) kita akan melakukan segala suatu cara yang bisa dilakukan baik (oleh) swasta, sipil, pemerintah untuk menanggulangi masalah yang menyangkut nyawa dan kelangsungan hidup kita semua," ujar Melissa.
Baca Juga: iklim
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengemukakan, persoalan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seharusnya tidak dipandang sebagai beban melainkan sebuah kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi menuju ekonomi rendah karbon.
"Berdasarkan kajian kami berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, dekarbonisasi mendalam pada sistem energi di tahun 2050 justru membawa manfaat ekonomi yang lebih besar," ujar Fabby dalam webinar 'Menuju COP 26: Perubahan Iklim dan Peran Publik untuk Melestarikan Bumi' yang diselenggarakan oleh IESR, Selasa (19/10/2021).
Fabby menambahkan, manfaat ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat melalui terciptanya peluang industri baru sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar.
Selain itu, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau dari pemanfaatan teknologi energi terbarukan yang lebih murah serta udara yang lebih bersih.
Menurutnya, ambisi iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris akan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi sebagai konsekuensi dari meningkatnya suhu bumi melebih 1,5 derajat Celcius.
"Menyoroti kebijakan dan tingkat literasi masyarakat terhadap krisis iklim, para pemimpin komunitas yang turut hadir pada kesempatan yang sama mengemukakan bahwa kebijakan terkait iklim yang belum terintegrasi serta kurangnya akses informasi tentang perubahan iklim membuat upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia berjalan lambat," ucapnya.
Tidak adanya deklarasi darurat iklim oleh pemerintah menurut Melissa Kowara, Aktivis, Extinction Rebellion Indonesia mengindikasikan rendahnya tingkat keseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim.
"Belum ada sikap tegas dari tingkat tertinggi negara yang mengatakan bahwa kita ada di suatu krisis. (Belum ada deklarasi yang mengatakan, red) kita akan melakukan segala suatu cara yang bisa dilakukan baik (oleh) swasta, sipil, pemerintah untuk menanggulangi masalah yang menyangkut nyawa dan kelangsungan hidup kita semua," ujar Melissa.