Ekonomi Pancasila di Tengah Liberalisme Pasar

Sabtu, 16 Oktober 2021 - 08:19 WIB
loading...
Ekonomi Pancasila di Tengah Liberalisme Pasar
Ekonomi Pancasila di Tengah Liberalisme Pasar
A A A
M Ghaniey Al Rasyid
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Bergiat di Lingkar Diskusi Sasadara

Antony Giddens begitu bersemangat kala menyambut globalisasi, yang baginya sebuah harapan kuat untuk membangun lebih baik peradaban. Akan teteapi dari perspektif Thomasi Piketty, globalisasi bisa jadi dilema. Bila kita tidak bijaksana membaca setiap perubahan yang ditawarkannya, maka jati diri bangsa kalau di sini ekonomi Pancasila, mungkin akan tergerus habis.

baca juga: Mengatasi Pandemi, Menyuburkan Pertumbuhan Ekonomi

Kemajuan teknologi sebagai hasil dari globalisasi. Dengan Globalisasi, pemilik modal yang cerdas mampu melakukan analisis modal demi kelangsungan usahanya. Bahkan Thomas Piketty menyinggung akumulasi modal berasal dari divergensi pasar, yang menyebabkan menjamurnya rente di pasar. Ketika rente tak terkendali dan memberangus ekonomi kerakyatan, maka kesenjangan yang disampaikan oleh Piketty akan betul kuat adanya.

Pasal 33 dan 34 UUD 1945 menawarkan tentang kesejahteraan riskan sekali terbelenggu oleh nafsu individualisme, sehingga berimbas pada sektor terkecil –wong cilik, akan tercekik karena tak kuat bersaing dengan the have. Perihal kesejahteraan di sini membutuhkan pemerintah yang bijaksana untuk pemegang tali kebijakan. Globalisasi, Ekonomi Konstitusi dan Nobel Ekonomi garapan Hendrawan Supratikno, memberikan kita media untuk merenungkan terkait ekonomi Pancasila dan kondisi konstitusi hari ini.

baca juga: Menyeluruh, Pertumbuhan Ekonomi Global Diproyeksi Turun di 2021


Analisis kritis dan terbuka membawa kita pada pemahaman global agar bisa kita kontemplasikan dalam menghadapi tantangan ekonomi hari ini maupun nanti. Benturan gagasan para senior ekonomi yang mendapatkan peraih nobel, seperti Joseph Stiglitz, Michael Spence, Thomas Piketty, dsb, menawarkan secarik gagasan untuk merenungkan keberadaan ekonomi Pancasila hari ini. Lalu, bagaimana ekonomi Pancasila bisa menerjang persaingan global yang begitu pelik hari ini?

“Persoalannya bukan siapa atau pihak mana yang lebih benar, melainkan bagaimana kita harus berupaya menjadikan globalisasi yang dapat membawa manfaat bagi sebanyak mungkin orang.” (Hlm. 7) Globalisasi mempengaruhi pada penyeragaman regulasi pasar di seluruh dunia. Batasan pun akan semakin longgar, karena kemajuan dan peningkatan kualitas teknologi.

baca juga: Pertumbuhan Ekonomi di Area Bandara Sultan Hasanuddin Meningkat 30 Persen

Kompleksitas globalisasi menciptakan titik balik bagi negara-negara bekas Uni Soviet ataupun negara-negara yang mengusung ekonomi tertutup. Belajar dari Deng Xiaoping (1978) yang mulai terbuka dalam sistem ekonominya, hingga berbuntut pada Tiongkok konsensus sebagai saingan Washington konsensus buatan Amerika itu.

Modernitas berlaku begitu cepat. Penggunaan teknologi secara matang membuat dengan cepat konsumerisme itu timbul. Di samping itu sisipan kebudayaan luar, tidak bisa dibentengi kecuali etos Pancasila tertancap dalam benak dan hati rakyat. Daron Acemoglu dan James A Robinson (2012) menyinggung peranan institusi (baca:pemerintah) berpengaruh pada kondisi sosial dalam suatu negara. Institusi yang baik dengan menekankan ranah inklusif akan berimbas pada tingkat kemakmuran dan kestabilan, sedangkan fokus pada ekstratif membawa pada gejala-gejala kegagalan negara. (hlm. 17)

baca juga: Strategi Kemandirian Industri Baja Dukung Pertumbuhan Ekonomi

Kebijakan inklusif lebih ditekankan pada sektor-sektor mikro untuk bisa meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) untuk membantu bangsa pada kemajuan. Prasarana membangunan SDM dibutuhkan Pemerintah yang tegas, dan bisa memiliki keberpihakan penuh pada people centre, bukan hanya golongan orang-orang kaya. Lawan terbesar memeratakan perekonomian adalah para koruptor dan rente. Menyinggung penyampaian Faisal Basri terkait dengan investasi. Nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di Indonesia terhitung besar sehingga pendapatan dari investasi kecila karena disedot oleh para rente.

baca juga: Pertumbuhan Ekonomi di Atas Rata-rata Nasional, Ini yang Dilakukan Banten

Kwik Kian Gie (2016) menganggap bahwasannya globalisasi dan pembangunan nasional belum menyejahterakan untuk dirasakan masyarakat banyak (Hal 16). Studi dari Bank Dunia menyebutkan, bahwa tingkat kekayaan dari negara Indonesia hanya berpengaruh pada dua puluh persen populasi saja, sedangkan delapan puluh persen lainnya mengalami ketertinggalan.

Kwik juga berpendapat bahwasannya kita sudah dihabisi oleh ekonomi global sejak 1967, melalui analisis pakar seperti John Perkins, John Pilgers, Jeffrey Winters. Untuk mengatasi problem tersebut dibutuhkan ekonomi kerakyatan yang bijak dan mengemban asas-asas pancasila. Lalu bagaimana mengatasi itu semua dengan Ekonomi Kerakyatan?

baca juga: PLN Pastikan Kesiapan Suplai Energi Dukung Pertumbuhan Ekonomi Sulteng

Jejaring kapitalisme yang sudah mengakar dan kuat, beberapa menggap sebagai hal yang biasa. Ketika hal tersebut tidak bisa diamati secara bijaksana, lagi-lagi ekonomi pancasila yang akan menjadi korbannya. (Hal.30) Menjabarkan pemikir ekonomi Indonesia Mubyarto dan Arifbudiman, menjadi secercah gagasan untuk mengkontemplasikan ekonomi Indonesia pada hari ini.

Di era reformasi Indonesia sering kali dikekang oleh regulasi global, sehingga pengaruh kebijakan ala ekonomi kerakyatan terbelenggu dan tidak berkembang. Investasi pasar merajalela, konstruksi sosial berkembang ke arah liberalism, semakin menjauhkan masyarakat dari aspek-aspek gotong royong. Bahkan di halaman 46, Koentjoroningrat dengan pedas menganggap gotong royong telah mati.

baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III Diramal Tak Capai 5 Persen, Ini Sebabnya

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme salah satu contoh problema di Indonesia seperti; ekonomi biaya tinggi, oligarki politik dan bentuk ketidakadilan sosial. Untuk terciptanya ekonomi kerakyatan di tengah liberalisme pasar, dibutuhkan regulasi hukum yang tegas untuk mendepak rente penyebab kesenjangan dan ICOR Indonesia besar.

Di akhir resensi ini, kata yang paling teringat mengenai adaptasi kudu dilakukan bangsa ini untuk bersaing dan tak jadi pecundang di kancah global. Tidak ada jalan lain selain tetap menggunakan ekonomi Pancasila sebagai jati diri bangsa ini. Terbuka untuk menerima perubahan dalam meniti dan memperbarui setiap perubahan dalam kehidupan yang mengarah pada kemajuan.

Judul: Globalisasi, Ekonomi Konstitusi dan Nobel Ekonomi

Penulis: Hendrawan Supratikno

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2021

Tebal: 144 Halaman
(ymn)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1744 seconds (0.1#10.140)