KSP Harap Kapolri Buka Kembali Kasus Kekerasan Seksual Anak di Luwu Timur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kantor Staf Presiden (KSP) menyampaikan keprihatinan mendalam atas terjadinya tindak perkosaan dan kekerasan seksual yang dialami tiga kakak beradik berusia di bawah 10 tahun. Perbuatan keji itu diduga dilakukan oleh ayah kandungnya di Luwu Timur , Sulawesi Selatan.
KSP berharap agar Polri membuka ulang proses penyelidikan kasus tersebut. Untuk diketahui, kasus ini terjadi pada 2019. Penyelidikan dihentikan oleh Polres Luwu Timur pada 10 Desember 2019 dengan alasan tidak menemukan cukup bukti.
"Kalau memang ditemukan adanya kejanggalan dan kesalahan dalam proses penyelidikan oleh Polres Luwu Timur yang menyebabkan diberhentikannya proses penyelidikan pada akhir tahun 2019 yang lalu, atau ditemukannya bukti baru sebagaimana disampaikan oleh ibu korban dan LBH Makassar, maka kami berharap Kapolri bisa memerintahkan jajarannya untuk membuka kembali kasus tersebut," kata Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani melalui siaran persnya, Jumat (8/9/2021).
Baca juga: KPAI Minta Polres Luwu Timur Usut Kasus Perkosaan 3 Anak, Selengkapnya di iNews Siang
Jaleswari mengatakan, peristiwa perkosaan dan kekerasan seksual kepada anak ini sangat melukai nurani dan rasa keadilan masyarakat. Dia mengatakan bahwa Presiden Jokowi sangat tegas dan tidak bisa menolerir predator seksual anak.
Pada 7 Desember 2020 Presiden Jokowi meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Sebelumnya dalam rapat terbatas tentang penanganan kasus kekerasan kepada anak, Jokowi memberi arahan agar kasus kekerasan terhadap anak ditindaklanjuti secepat-cepatnya. Dia menginginkan agar pelaku kekerasan terhadap anak diberikan hukuman yang bisa membuatnya jera.
Baca juga: Enam Aparat Desa di Luwu Timur Terjerat Kasus Korupsi ADD
"Perkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak tindakan yang sangat serius dan keji. Tindakan tersebut tidak bisa diterima oleh akal budi dan nurani kemanusiaan kita. Terlebih lagi bila yang melakukan adalah ayah kandungnya. Oleh karena itu pelakunya harus dihukum berat," kata Jaleswari.
Menurutnya, adanya kasus perkosaan, kekerasan seksual pada anak, dan penghentian penyelidikan dengan alasan tidak adanya bukti ini, memperkuat urgensi pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Di dalam RUU tersebut mengandung norma khusus terkait tindak pidana kekerasan seksual.
Lihat Juga: 4 Kapolri Sebelum Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Ada yang Menjabat di Era SBY dan Jokowi
KSP berharap agar Polri membuka ulang proses penyelidikan kasus tersebut. Untuk diketahui, kasus ini terjadi pada 2019. Penyelidikan dihentikan oleh Polres Luwu Timur pada 10 Desember 2019 dengan alasan tidak menemukan cukup bukti.
"Kalau memang ditemukan adanya kejanggalan dan kesalahan dalam proses penyelidikan oleh Polres Luwu Timur yang menyebabkan diberhentikannya proses penyelidikan pada akhir tahun 2019 yang lalu, atau ditemukannya bukti baru sebagaimana disampaikan oleh ibu korban dan LBH Makassar, maka kami berharap Kapolri bisa memerintahkan jajarannya untuk membuka kembali kasus tersebut," kata Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani melalui siaran persnya, Jumat (8/9/2021).
Baca juga: KPAI Minta Polres Luwu Timur Usut Kasus Perkosaan 3 Anak, Selengkapnya di iNews Siang
Jaleswari mengatakan, peristiwa perkosaan dan kekerasan seksual kepada anak ini sangat melukai nurani dan rasa keadilan masyarakat. Dia mengatakan bahwa Presiden Jokowi sangat tegas dan tidak bisa menolerir predator seksual anak.
Pada 7 Desember 2020 Presiden Jokowi meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Sebelumnya dalam rapat terbatas tentang penanganan kasus kekerasan kepada anak, Jokowi memberi arahan agar kasus kekerasan terhadap anak ditindaklanjuti secepat-cepatnya. Dia menginginkan agar pelaku kekerasan terhadap anak diberikan hukuman yang bisa membuatnya jera.
Baca juga: Enam Aparat Desa di Luwu Timur Terjerat Kasus Korupsi ADD
"Perkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak tindakan yang sangat serius dan keji. Tindakan tersebut tidak bisa diterima oleh akal budi dan nurani kemanusiaan kita. Terlebih lagi bila yang melakukan adalah ayah kandungnya. Oleh karena itu pelakunya harus dihukum berat," kata Jaleswari.
Menurutnya, adanya kasus perkosaan, kekerasan seksual pada anak, dan penghentian penyelidikan dengan alasan tidak adanya bukti ini, memperkuat urgensi pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Di dalam RUU tersebut mengandung norma khusus terkait tindak pidana kekerasan seksual.
Lihat Juga: 4 Kapolri Sebelum Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Ada yang Menjabat di Era SBY dan Jokowi
(abd)