Kisah Hidup Jenderal Sudirman: Dari Guru hingga Menjadi Panglima Besar pada Usia 29 Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jenderal Sudirman (Soedirman) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Sempat menjadi guru, Jenderal Sudirman kemudian dikenang sebagai pahlawan nasional.
Sudirman lahir 24 Januari 1916 di Purbalingga. Sejak belia, Sudirman menunjukkan sikap yang tenang dan solutif, membuatnya mendapat sebutan Kaji Cilik atau Mas Kiai. Dia pun aktif di berbagai organisasi, yang dianggapnya sebagai bentuk pengabdian. Perannya dalam organisasi berbagai macam, seperti sebagai pemimpin di Hizbul Wathan, kepanduan Muhammadiyah di daerah Banyumas, Pemuda Muhammadiyah, hingga Majelis Pemuda Muhammadiyah di Banyumas.
Sebelum namanya besar sebagai pahlawan nasional yang memimpin perang gerilya melawan agresi militer Belanda, Jenderal Besar TNI (Anumerta) Raden Soedirman tidak tercatat pada catatan pergerakan nasional pada masa itu. Sudirman muda justru berkecimpung di dunia pendidikan dengan menjadi guru dan kepala sekolah di HIS Muhammadiyah, Cilacap pada 1936.
Selain menjadi guru, dia juga berperan dalam memberdayakan ekonomi masyarakat di wilayah tempat tinggalnya dengan membuka koperasi. Perubahan yang dihasilkan lewat adanya koperasi ini memang tidak banyak, tetapi cukup membantu perekonomian orang-orang di sekitarnya.
Pemeran tokoh Jenderal Sudirman ditandu para pejuang dalam fragmen kolosal mengisahkan perjuangan Jenderal Sudirman melawan penjajah dalam Peringatan HUT ke-70 TNI dan HUT ke-65 Kodam IV/Diponegoro di Lapangan Panglima Besar Jenderal Soedirman, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jateng, Senin (5/10/2015). Foto/Dok SINDOnews
Ketika menjadi guru di HIS Muhammadiyah, Cilacap, Sudirman mendapat gaji sebesar f.3 atau setara dengan tiga gulden Belanda dalam satu bulan. Dalam mengajar, Sudirman selalu menyelipkan nilai-nilai dan semangat nasionalisme kepada muridnya lewat cerita Revolusi Prancis.
Kecerdasannya dalam mengajar membuatnya disukai oleh murid-muridnya. Para pengajar yang ada di HIS Muhammadiyah juga memberi kepercayaan padanya untuk naik jabatan menjadi kepala sekolah.
Meskipun memiliki bakat menjadi tenaga pendidik, Sudirman tidak memiliki ijazah sebagai guru karena hanya lulus sekolah menengah pertama, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Wiworotomo. Untuk mengatasi kekurangannya di jenjang pendidikan ini, Sudirman memilih belajar dari guru-gurunya di MULO Wiworotomo.
Sudirman lahir 24 Januari 1916 di Purbalingga. Sejak belia, Sudirman menunjukkan sikap yang tenang dan solutif, membuatnya mendapat sebutan Kaji Cilik atau Mas Kiai. Dia pun aktif di berbagai organisasi, yang dianggapnya sebagai bentuk pengabdian. Perannya dalam organisasi berbagai macam, seperti sebagai pemimpin di Hizbul Wathan, kepanduan Muhammadiyah di daerah Banyumas, Pemuda Muhammadiyah, hingga Majelis Pemuda Muhammadiyah di Banyumas.
Sebelum namanya besar sebagai pahlawan nasional yang memimpin perang gerilya melawan agresi militer Belanda, Jenderal Besar TNI (Anumerta) Raden Soedirman tidak tercatat pada catatan pergerakan nasional pada masa itu. Sudirman muda justru berkecimpung di dunia pendidikan dengan menjadi guru dan kepala sekolah di HIS Muhammadiyah, Cilacap pada 1936.
Selain menjadi guru, dia juga berperan dalam memberdayakan ekonomi masyarakat di wilayah tempat tinggalnya dengan membuka koperasi. Perubahan yang dihasilkan lewat adanya koperasi ini memang tidak banyak, tetapi cukup membantu perekonomian orang-orang di sekitarnya.
Pemeran tokoh Jenderal Sudirman ditandu para pejuang dalam fragmen kolosal mengisahkan perjuangan Jenderal Sudirman melawan penjajah dalam Peringatan HUT ke-70 TNI dan HUT ke-65 Kodam IV/Diponegoro di Lapangan Panglima Besar Jenderal Soedirman, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jateng, Senin (5/10/2015). Foto/Dok SINDOnews
Ketika menjadi guru di HIS Muhammadiyah, Cilacap, Sudirman mendapat gaji sebesar f.3 atau setara dengan tiga gulden Belanda dalam satu bulan. Dalam mengajar, Sudirman selalu menyelipkan nilai-nilai dan semangat nasionalisme kepada muridnya lewat cerita Revolusi Prancis.
Kecerdasannya dalam mengajar membuatnya disukai oleh murid-muridnya. Para pengajar yang ada di HIS Muhammadiyah juga memberi kepercayaan padanya untuk naik jabatan menjadi kepala sekolah.
Meskipun memiliki bakat menjadi tenaga pendidik, Sudirman tidak memiliki ijazah sebagai guru karena hanya lulus sekolah menengah pertama, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Wiworotomo. Untuk mengatasi kekurangannya di jenjang pendidikan ini, Sudirman memilih belajar dari guru-gurunya di MULO Wiworotomo.