Covid-19 Ancam Ketahanan Pangan, Produksi Dalam Negeri Harus Diperkuat
loading...
A
A
A
Dia mengatakan, ada banyak aspek penting yang harus diperhatikan di sektor pertanian. Misalnya, ada beberapa komoditi yang sebenarnya layak berkembang di Indonesia, namun faktanya masih tetap impor. Salah satunya beras.
"Sejak tahun 70-an beras kita masih impor sampai sekarang. Ini berkaitan dengan politik yang mengikuti importasi. Karena keuntungan selisih harga itu sangat menggiurkan. Padahal banyak hal bisa dilakukan agar kita tidak terjebak pada impor. Ini soal good will politik," tuturnya.
Menurut Idham, dalam UU Pangan sebenarnya sudah sangat tegas disebutkan bahwa definisi ketersediaan pangan adalah mengutamakan produksi dalam negeri dan cadangan nasional. "Kalau dua-duanya tidak ada baru impor. Impor bukan dilarang, tapi dia diambil sebagai cadangan kalau gak ada," urainya.
Dia mengaku heran karena setelah membaca RUU Cipta Kerja, salah satu yang bakal direvisi adalah Undang-Undang Pangan.
"Itu akan menguatkan importasi cadangan pangan nasional. Ini dalam rangka investasi di sektor pangan. Jadi bukan memperkuat produksi di dalam negeri, tapi prioritasnya adalah keuntungan ekonomi," katanya.
Saat ini di tengah pandemi Covid-19, pemerintah mengeluarkan relaksasi impor pangan. Menurutnya, Indonesia selalu terjebak pada impor. Namun di sisi lain, sampai sekarang tidak ada roadmap agar negeri ini bisa berdaulat secara pangan.
"Anggaran yang besar di Kementerian Pertanian itu arahnya tidak ada untuk mengembangkan komoditi karena ideologinya memang bukan untuk berdaulat pangan. Ada orang-orang tertentu yang menikmati selisih harga dari impor. Misalnya harga gula impor itu cukup besar dan itu jumlahnya ribuan ton. Padahal kedaulatan negara tak ada kalau tak ada kedaulatan pangan," katanya.
Idham pun menagih janji Presiden Jokowi untuk melakukan redistribusi tanah seluas 9 juta hektare.
"Kalau setiap rumah tangga tani diberikan dua hektare lahan, itu ada 4,5 juta keluarga, tapi itu sampai sekarang masih mimpi. Kalau setiap rumah tangga ada tiga mulut saja maka ada 13,5 juta warga yang tidak perlu diberikan BLT. Kalau BLT itu kan sama dengan memberikan nasi bungkus saja, tapi jangka panjangnya tidak ada," tuturnya.
Menurut dia, saat ini negara lebih banyak berfikir untuk menyelamatkan sektor fiskal, sementara sektor pertanian yang bisa menyerap tenaga kerja banyak, kurang mendapatkan perhatian. "Bagaimana mengalokasikan dana khusus, kemudian meningkatkan pertanian maju didukung teknologi, itu tidak menjadi kebijakan secara menyeluruh," katanya.
"Sejak tahun 70-an beras kita masih impor sampai sekarang. Ini berkaitan dengan politik yang mengikuti importasi. Karena keuntungan selisih harga itu sangat menggiurkan. Padahal banyak hal bisa dilakukan agar kita tidak terjebak pada impor. Ini soal good will politik," tuturnya.
Menurut Idham, dalam UU Pangan sebenarnya sudah sangat tegas disebutkan bahwa definisi ketersediaan pangan adalah mengutamakan produksi dalam negeri dan cadangan nasional. "Kalau dua-duanya tidak ada baru impor. Impor bukan dilarang, tapi dia diambil sebagai cadangan kalau gak ada," urainya.
Dia mengaku heran karena setelah membaca RUU Cipta Kerja, salah satu yang bakal direvisi adalah Undang-Undang Pangan.
"Itu akan menguatkan importasi cadangan pangan nasional. Ini dalam rangka investasi di sektor pangan. Jadi bukan memperkuat produksi di dalam negeri, tapi prioritasnya adalah keuntungan ekonomi," katanya.
Saat ini di tengah pandemi Covid-19, pemerintah mengeluarkan relaksasi impor pangan. Menurutnya, Indonesia selalu terjebak pada impor. Namun di sisi lain, sampai sekarang tidak ada roadmap agar negeri ini bisa berdaulat secara pangan.
"Anggaran yang besar di Kementerian Pertanian itu arahnya tidak ada untuk mengembangkan komoditi karena ideologinya memang bukan untuk berdaulat pangan. Ada orang-orang tertentu yang menikmati selisih harga dari impor. Misalnya harga gula impor itu cukup besar dan itu jumlahnya ribuan ton. Padahal kedaulatan negara tak ada kalau tak ada kedaulatan pangan," katanya.
Idham pun menagih janji Presiden Jokowi untuk melakukan redistribusi tanah seluas 9 juta hektare.
"Kalau setiap rumah tangga tani diberikan dua hektare lahan, itu ada 4,5 juta keluarga, tapi itu sampai sekarang masih mimpi. Kalau setiap rumah tangga ada tiga mulut saja maka ada 13,5 juta warga yang tidak perlu diberikan BLT. Kalau BLT itu kan sama dengan memberikan nasi bungkus saja, tapi jangka panjangnya tidak ada," tuturnya.
Menurut dia, saat ini negara lebih banyak berfikir untuk menyelamatkan sektor fiskal, sementara sektor pertanian yang bisa menyerap tenaga kerja banyak, kurang mendapatkan perhatian. "Bagaimana mengalokasikan dana khusus, kemudian meningkatkan pertanian maju didukung teknologi, itu tidak menjadi kebijakan secara menyeluruh," katanya.