Covid-19 Ancam Ketahanan Pangan, Produksi Dalam Negeri Harus Diperkuat

Selasa, 02 Juni 2020 - 15:14 WIB
loading...
Covid-19 Ancam Ketahanan...
Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Gerakan Kebangkitan Tani dan Nelayan (Gerbang Tani) Idham Arsyad. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Pandemi virus Corona (Covid-19) dan juga potensi kemarau panjang dikhawatirkan mengancam ketahanan pangan di dalam negeri. Apalagi, Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah mengeluarkan peringatan akan adanya krisis pangan.

Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Gerakan Kebangkitan Tani dan Nelayan (Gerbang Tani) Idham Arsyad mengatakan, di sejumlah provinsi saat ini mengalami defisit pangan seperti gabah dan juga beberapa komoditi lain.

Belajar dari situasi pandemi Covid-19 dimana Indonesia sedang mengalami ancaman serius soal pangan ini, ke depan Indonesia dituntut untuk memperkuat produksi dalam negeri.

"Itu harus dibangun tata caranya, bukan hanya jawabannya cetak sawah, tapi harus dipenuhi hak atas lahan setiap rumah tangga petani untuk kemudian menjadi kekuatan produktif dalam menghasilkan pangan," ujar Idham Arsyad dalam Live IG SINDOnews bertajuk Jaga Ketahanan Pangan.

Selain itu, harus ada peningkatan jaminan dari produksi yang dihasilkan para petani, serta perlu ada penguatan sumber daya manusia (SDM) di bidang pertanian.

"Peningkatan SDM itu harus dilakukan supaya bisa melakukan transpformasi ke arah produktivitas," urainya.( )

Menurut dia, saat ini ada banyak BUMN di sektor pangan yang justru kerap kali berkonflik dengan masyarakat sekitar. Padahal, mereka seharusnya bersinergi. Idham mencontohkan masyarakat yang tinggal di sekitar lahan PTPN, seharusnya para petani sekitar diberikan lahan untuk bercocok tanam, misalnya kemudian diminta menanam tebu, dan hasilnya diolah oleh PTPN menjadi gula.

"Ada fakta-fakta ketidakkonsistenan terhadap apa yang dikehendaki. Maunya berdaulat pangan dalam Nawacita, tapi yang ada adalah memperkuat importasi. Kebijakan pemerintah kita ini segar tapi tidak membuat kita bernafas segar, justru membuat kita sesak napas. Informasinya baik-baik tapi pelaksanaannya tidak," tuturnya.

Menurut Idham, penting adanya perubahan paradigma di sektor pertanian sebagai sektor andalan karena bukan tidak mungkin ke depan Indonesia akan mengalami gangguan pangan seperti ketika terjadi pandemi.

"Industri pertanian kita harus diperbaki. Sekarang ini pasca panen kita ini babak belur. Gabah dua tahun sudah berubah warna. Di China 10 tahun pasca panen tak berubah. Ini kaitannya dengan teknologinya," lanjutnya.

Dia mengatakan, ada banyak aspek penting yang harus diperhatikan di sektor pertanian. Misalnya, ada beberapa komoditi yang sebenarnya layak berkembang di Indonesia, namun faktanya masih tetap impor. Salah satunya beras.

"Sejak tahun 70-an beras kita masih impor sampai sekarang. Ini berkaitan dengan politik yang mengikuti importasi. Karena keuntungan selisih harga itu sangat menggiurkan. Padahal banyak hal bisa dilakukan agar kita tidak terjebak pada impor. Ini soal good will politik," tuturnya.

Menurut Idham, dalam UU Pangan sebenarnya sudah sangat tegas disebutkan bahwa definisi ketersediaan pangan adalah mengutamakan produksi dalam negeri dan cadangan nasional. "Kalau dua-duanya tidak ada baru impor. Impor bukan dilarang, tapi dia diambil sebagai cadangan kalau gak ada," urainya.

Dia mengaku heran karena setelah membaca RUU Cipta Kerja, salah satu yang bakal direvisi adalah Undang-Undang Pangan.

"Itu akan menguatkan importasi cadangan pangan nasional. Ini dalam rangka investasi di sektor pangan. Jadi bukan memperkuat produksi di dalam negeri, tapi prioritasnya adalah keuntungan ekonomi," katanya.

Saat ini di tengah pandemi Covid-19, pemerintah mengeluarkan relaksasi impor pangan. Menurutnya, Indonesia selalu terjebak pada impor. Namun di sisi lain, sampai sekarang tidak ada roadmap agar negeri ini bisa berdaulat secara pangan.

"Anggaran yang besar di Kementerian Pertanian itu arahnya tidak ada untuk mengembangkan komoditi karena ideologinya memang bukan untuk berdaulat pangan. Ada orang-orang tertentu yang menikmati selisih harga dari impor. Misalnya harga gula impor itu cukup besar dan itu jumlahnya ribuan ton. Padahal kedaulatan negara tak ada kalau tak ada kedaulatan pangan," katanya.

Idham pun menagih janji Presiden Jokowi untuk melakukan redistribusi tanah seluas 9 juta hektare.

"Kalau setiap rumah tangga tani diberikan dua hektare lahan, itu ada 4,5 juta keluarga, tapi itu sampai sekarang masih mimpi. Kalau setiap rumah tangga ada tiga mulut saja maka ada 13,5 juta warga yang tidak perlu diberikan BLT. Kalau BLT itu kan sama dengan memberikan nasi bungkus saja, tapi jangka panjangnya tidak ada," tuturnya.

Menurut dia, saat ini negara lebih banyak berfikir untuk menyelamatkan sektor fiskal, sementara sektor pertanian yang bisa menyerap tenaga kerja banyak, kurang mendapatkan perhatian. "Bagaimana mengalokasikan dana khusus, kemudian meningkatkan pertanian maju didukung teknologi, itu tidak menjadi kebijakan secara menyeluruh," katanya.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0841 seconds (0.1#10.140)