Menanti Lampu Hijau Umrah Jamaah Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kapan umat Islam Tanah Air bisa kembali berumrah? Walapun kasus pandemi Covid-10 di Tanah Air menurun drastis, Pemerintah Arab Saudi hingga kini belum juga memberi sinyal membuka pintunya.
Bukan hanya tidak segera menurunkan tingkat toleransi, pemerintah Arab Saudi juga mensyaratkan vaksinasi yang dilakukan calon jamaah asal Indonesia harus berlapis. Secara khusus mereka meminta pengguna vaksin Sinovac untuk mendapatkan vaksin booster.
Namun, harapan pemerintah Arab Saudi mengubah keputusan untuk mempermudah jamaah asal Indonesia masih terbuka. Selain karena posisi Indonesia sebagai penyumbang jamaah umrah terbesar kedua, pemerintah juga harus lebih aktif melakukan lobi.
Pandangan ini disampaikan Bendahara Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah (Amphuri ) Tauhid Hamdi dan anggota komisi VIII DPR Iskan Qolba Lubis. Tauhid Hamdi misalnya menyebut besarnya jamaah umrah Indonesia bisa dijadikan alat tawar.
Setiap tahunnya Indonesia mengirimkan 1,2 juta jamaah setelah Pakistan yang mengirimkan 1,5 juta sampai 1,6 juta jamaah per tahun. Jika data-data ini diperlihatkan kepada pemerintah Arab Saudi, maka bisa dijadikan bahan pertimbangan agar Indonesia bisa lepas dari status suspensi.
"Data-data ini jika ditampilkan ke Saudi mungkin akan membuka mata Saudi dan memperkuat posisi bargaining kita dengan pihak Saudi," ucap Tauhid Hamdi, kemarin.
Dia melihat selama ini pemerintah kerap mengikuti kebijakan-kebijakan dari Arab Saudi. Padahal menurutnya, pemerintah bisa memberikan keyakinan pada negara tersebut, termasuk menjadikan faktor jumlah jamaah sebagai alat untuk melobi pihak Saudi. Bila diplomasi ini tidak menjadi titik temu, maka pemerintah perlu memikirkan cara untuk bisa memberangkatkan jamaah umrah.
‎"Indonesia masih memiliki peluang besar. Sebab, Arab Saudi sekarang sedang membuka seluas-luasnya pintu masuk untuk jamaah umrah dari berbagai negara di seluruh dunia. Kecuali negara-negara yang terkena suspend, termasuk Indonesia," tambah Tauhid. ‎
Dia lantas menuturkan, sejauh ini dari 67 negara kontributor jamaah umrah, sebanyak 34 negara ‎sudah bisa melakukan proses e-visa. Sedangkan untuk 33 negara lainnya, belum diberikan pintu masuk. Sampai saat ini, belum ada penyelenggara haji dan umrah Indonesia yang bisa memproses visa umrah.
Di sisi lain, Arab Saudi sudah mulai mematok target jumlah jamaah, yakni sebanyak 60.000 per hari atau sekitar 2 juta dalam satu bulan. Artinya, dalam satu tahun per kalender 1443 hijriah, Arab Saudi menargetkan 22 juta jamaah. Target tersebut lebih besar dibandingkan dengan masalah sebelum pandemi pada 2019. Pencapaian terakhir Arab Saudi pada tahun tersebut hanya 19 juta, baik jamaah domestik maupun luar negeri.
"Sebenarnya ini bisa menjadi harapan besar bagi Indonesia, terutama bagi penyelenggara perjalanan haji dan umrah. Tinggal, bagaimana Indonesia menyelesaikan urusan suspend jamaah Tanah Air. Kami mendesak pemerintah untuk serius dalam melakukan lobi-lobi," tegasnya.
Tauhid mengakui ada beberapa ‎kendala yang memberatkan pemerintah Arab Saudi sehingga Indonesia masuk dalam negara suspend yaitu mewajibkan jamaah umrah disuntik dengan empat pilihan vaksin, yakni AstraZeneca, Moderna, Pfizer, dan Johnson & Johnson.
Sedangkan mayoritas masyarakat Indonesia menerima vaksin Sinovac, sehingga Saudi meminta pemerintah memberikan vaksin booster atau dosis ketiga untuk jamaah.
"Jadi kita kan umumnya Sinovac, pemerintah Arab Saudi memberikan kebijaksanaan harus ada booster-nya dari empat vaksin tersebut. Karena kita dari asosiasi sudah bekoordinasi ke Kementrian Agama meminta untuk jamaah umrah dibantu untuk vaksin ketiga," jelas Tauhid.
Hal lain yang memberatkan yaitu adanya karantina 14 hari. Dirinya menjelaskan, permintan untuk karantina 14 hari di negara transit ini jadi kendala karena waktu umrah jadi lebih lama. "Masa transit akan lebih lama dari masa perjalanan. Untuk koordinasi vaksin, kami pun sudah mengajukan permohonan kami," tambahnya.
Namun, dia kembali menandaskan, bagaimana pun semua persoalan tergantung bagaimana pemerintah melakukan diplomasi ke Arab Saudi. "Karena kasihan melihat jamaah kita yang sudah lama mengumpulkan uang tetapi terkendala pemberangkatan ibadah umrah. Ini semua tinggal masalah diplomasi saja," tegasnya.
Dalam pandanganaya, bila melihat situasi pandemi di Indonesia yang kian membaik dengan penurunan positivity rate mencapai 5% sesuai dengan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Seharusnya hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk meyakinkan pemerintah Arab Saudi untuk mencabut status suspensi terhadap Indonesia.
Iskan Qolba Lubis mengatakan, semestinya dari awal Kementrian Agama melakukan komunikasi intensif dengan pihak Saudi agar keputusan untuk membuka umrah bisa lebih cepat. Langkah ini perlu dilakukan karena gagalnya pemberangkatan haji pada tahun ini.
"‎Jangan pernah berhenti untuk melobi supaya larangan terbang itu harus segera dibuka, pemerintah bisa lebih percaya diri dalam melobi karena nilai positivity rate Indonesia yang sudah menurun. Mungkin jamaah haji enggak bisa berangkat karena tingkat positif yang masih tinggi, tapi jamaah umrah yang sekarang antre jumlahnya sudah jutaan," paparnya saat dihubungi Koran SINDO.
Menurut dia, pemerintah bisa melakukan lobi antar kepala negara. Presiden Jokowi bisa langsung berhubungan dengan Raja Salman, dengan begitu terlihat kesungguhan permasalahan ini. Dia pun berharap pada akhir tahun ini atau minggu depan larangan terbang dari Indonesia ke Arab Saudi dibuka.
"Jika hal itu terjadi, ini bisa menjadi kado terbaik buat bangsa Indonesia. Di samping persoalan orang mau berangkat umrah, mungkin ada manfaat lainnya seperti pertukaran pelajar, bisnis, dan sebagainya," tegas Iskan
Sementara itu, Plt Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama (Kemenag) Khoirizi menyebutkan mereka yang ingin berangkat harus segera mungkin mendapat vaksinasi dan membantu dalam memutus rantai penularan.
Apabila angka vaksinasi tinggi, serta didukung penerapan protokol kesehatan yang ketat, akan berimplikasi pada penurunan angka penularan dan kematian. Dengan begitu pemerintah akan memiliki moda besar dalam melobi Arab Saudi.
"Tidak hanya ke Saudi Arabia, sekarang saja ke mal kita selalu di cek sudah vaksin atau belum. Ada atau tidak adanya umrah, vaksin harus menjadi kewajiban, serta menjaga protokol juga kewajiban. Kalau kita tidak menjaga hal terebut, mustahil kita bisa melakukan umrah di masa pandemi," terang Khorizi.
Dia menuturkan, dalam waktu dekat pemerintah akan melakukan diplomasi tingkat tinggi. Pertemuan ini untuk menemui seluruh jajaran terkait di Arab Saudi dan meyakinkan mereka bahwa Indonesia sudah sangat siap melaksanakan ibadah umrah.
"Harapannya, kita semua dalam hal ini penyelenggara umrah bisa segera menyiapkan calon jemaah jika nantinya Arab Saudi membuka pelaksanaan umrah bagi calon jamaah Indonesia kita sepenuhnya sudah sangat siap," tuturnya.
Menanggapi permasalahan vaksinasi, konsul Haji KJRI Jedah Endang Jumali mengatakan, jamaah dari beberapa negara yang sudah diizinkan masuk ‎belum ada yang mendapatkan skema booster ini.
"Dari informasi, setiap jamaah yang ingin umrah belum ada yang mendapat suntikan booster. Hampir semua menggunakan vaksin yang sama dengan Arab Saudi," katanya.
Jamaah yang sudah mendapatkan dua kali vaksin dengan jenis vaksin yang digunakan Arab Saudi atau dua kali vaksin plus booster, tidak wajib menjalani puasa setibanya di Jedah atau Madinah, mereka bisa langsung menjalani ibadah. Sedangkan bagi jamaah yang baru melakukan satu kali vaksin, mereka di wajibkan melakukan karantina atau isolasi mandiri selama empat hari.
"Saat tiba di Mekkah dan Madinah, jamaah mendapat kesempatan sekali menjalankan umrah dan sekali shalat di Raudah. Sedangkan ‎untuk pelaksanaan ibadah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi bisa dilakukan kapan saja," papar Endang.
Selain itu ibadah umrah tidak hanya memberikan manfaat spiritual yaitu menambah ketakwaan terhadap sang pencipta,tetapi memiliki pengaruh pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan membuka lapangan kerja cukup luas. Dari sektor wisata misalnya, menyumbang pemasukan negara sebesar USD22,6 miliar. Haji dan Umrah menyumbang sebesar USD12 miliar atau setara Rp160 triliun.
"Bisnis umrah melibatkan banyak sektor, mulai dari biro perjalanan, maskapai, perhotelan, restoran dan sektor pendukung lainnya. Dari perhitungan asosiasi saja, perbulannya biro umrah bisa rugi hingga Rp 2 triliun karena sekitar 110 ribu jamaah tidak jadi berangkat," ungkap pengamat umrah dan haji Mahfudz Djaelani.
Dampak lainnya bisa terlihat dari sulitnya pemerintah memungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn) dari industri umrah di Indonesia. Dengan kata lain, ujar dia, pelarangan ini sebaiknya tidak dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah sebaiknya segera mengambil tindakan.
"Saat ini ada 1,3 juta jamaah umrah per tahun. Misalkan, dengan rata-rata biaya umrah di kisaran Rp 20 juta sampai Rp 25 juta per jamaah, artinya terdapat potensi kerugian sekitar Rp25 triliun sampai Rp30 triliun per tahun. Tentunya berbagai sektor akan terpengaruh, seperti penerbangan, hotel, dan restoran," kata Mahfudz.
Bukan hanya tidak segera menurunkan tingkat toleransi, pemerintah Arab Saudi juga mensyaratkan vaksinasi yang dilakukan calon jamaah asal Indonesia harus berlapis. Secara khusus mereka meminta pengguna vaksin Sinovac untuk mendapatkan vaksin booster.
Namun, harapan pemerintah Arab Saudi mengubah keputusan untuk mempermudah jamaah asal Indonesia masih terbuka. Selain karena posisi Indonesia sebagai penyumbang jamaah umrah terbesar kedua, pemerintah juga harus lebih aktif melakukan lobi.
Pandangan ini disampaikan Bendahara Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah (Amphuri ) Tauhid Hamdi dan anggota komisi VIII DPR Iskan Qolba Lubis. Tauhid Hamdi misalnya menyebut besarnya jamaah umrah Indonesia bisa dijadikan alat tawar.
Setiap tahunnya Indonesia mengirimkan 1,2 juta jamaah setelah Pakistan yang mengirimkan 1,5 juta sampai 1,6 juta jamaah per tahun. Jika data-data ini diperlihatkan kepada pemerintah Arab Saudi, maka bisa dijadikan bahan pertimbangan agar Indonesia bisa lepas dari status suspensi.
"Data-data ini jika ditampilkan ke Saudi mungkin akan membuka mata Saudi dan memperkuat posisi bargaining kita dengan pihak Saudi," ucap Tauhid Hamdi, kemarin.
Dia melihat selama ini pemerintah kerap mengikuti kebijakan-kebijakan dari Arab Saudi. Padahal menurutnya, pemerintah bisa memberikan keyakinan pada negara tersebut, termasuk menjadikan faktor jumlah jamaah sebagai alat untuk melobi pihak Saudi. Bila diplomasi ini tidak menjadi titik temu, maka pemerintah perlu memikirkan cara untuk bisa memberangkatkan jamaah umrah.
‎"Indonesia masih memiliki peluang besar. Sebab, Arab Saudi sekarang sedang membuka seluas-luasnya pintu masuk untuk jamaah umrah dari berbagai negara di seluruh dunia. Kecuali negara-negara yang terkena suspend, termasuk Indonesia," tambah Tauhid. ‎
Dia lantas menuturkan, sejauh ini dari 67 negara kontributor jamaah umrah, sebanyak 34 negara ‎sudah bisa melakukan proses e-visa. Sedangkan untuk 33 negara lainnya, belum diberikan pintu masuk. Sampai saat ini, belum ada penyelenggara haji dan umrah Indonesia yang bisa memproses visa umrah.
Di sisi lain, Arab Saudi sudah mulai mematok target jumlah jamaah, yakni sebanyak 60.000 per hari atau sekitar 2 juta dalam satu bulan. Artinya, dalam satu tahun per kalender 1443 hijriah, Arab Saudi menargetkan 22 juta jamaah. Target tersebut lebih besar dibandingkan dengan masalah sebelum pandemi pada 2019. Pencapaian terakhir Arab Saudi pada tahun tersebut hanya 19 juta, baik jamaah domestik maupun luar negeri.
"Sebenarnya ini bisa menjadi harapan besar bagi Indonesia, terutama bagi penyelenggara perjalanan haji dan umrah. Tinggal, bagaimana Indonesia menyelesaikan urusan suspend jamaah Tanah Air. Kami mendesak pemerintah untuk serius dalam melakukan lobi-lobi," tegasnya.
Tauhid mengakui ada beberapa ‎kendala yang memberatkan pemerintah Arab Saudi sehingga Indonesia masuk dalam negara suspend yaitu mewajibkan jamaah umrah disuntik dengan empat pilihan vaksin, yakni AstraZeneca, Moderna, Pfizer, dan Johnson & Johnson.
Sedangkan mayoritas masyarakat Indonesia menerima vaksin Sinovac, sehingga Saudi meminta pemerintah memberikan vaksin booster atau dosis ketiga untuk jamaah.
"Jadi kita kan umumnya Sinovac, pemerintah Arab Saudi memberikan kebijaksanaan harus ada booster-nya dari empat vaksin tersebut. Karena kita dari asosiasi sudah bekoordinasi ke Kementrian Agama meminta untuk jamaah umrah dibantu untuk vaksin ketiga," jelas Tauhid.
Hal lain yang memberatkan yaitu adanya karantina 14 hari. Dirinya menjelaskan, permintan untuk karantina 14 hari di negara transit ini jadi kendala karena waktu umrah jadi lebih lama. "Masa transit akan lebih lama dari masa perjalanan. Untuk koordinasi vaksin, kami pun sudah mengajukan permohonan kami," tambahnya.
Namun, dia kembali menandaskan, bagaimana pun semua persoalan tergantung bagaimana pemerintah melakukan diplomasi ke Arab Saudi. "Karena kasihan melihat jamaah kita yang sudah lama mengumpulkan uang tetapi terkendala pemberangkatan ibadah umrah. Ini semua tinggal masalah diplomasi saja," tegasnya.
Dalam pandanganaya, bila melihat situasi pandemi di Indonesia yang kian membaik dengan penurunan positivity rate mencapai 5% sesuai dengan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Seharusnya hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk meyakinkan pemerintah Arab Saudi untuk mencabut status suspensi terhadap Indonesia.
Iskan Qolba Lubis mengatakan, semestinya dari awal Kementrian Agama melakukan komunikasi intensif dengan pihak Saudi agar keputusan untuk membuka umrah bisa lebih cepat. Langkah ini perlu dilakukan karena gagalnya pemberangkatan haji pada tahun ini.
"‎Jangan pernah berhenti untuk melobi supaya larangan terbang itu harus segera dibuka, pemerintah bisa lebih percaya diri dalam melobi karena nilai positivity rate Indonesia yang sudah menurun. Mungkin jamaah haji enggak bisa berangkat karena tingkat positif yang masih tinggi, tapi jamaah umrah yang sekarang antre jumlahnya sudah jutaan," paparnya saat dihubungi Koran SINDO.
Menurut dia, pemerintah bisa melakukan lobi antar kepala negara. Presiden Jokowi bisa langsung berhubungan dengan Raja Salman, dengan begitu terlihat kesungguhan permasalahan ini. Dia pun berharap pada akhir tahun ini atau minggu depan larangan terbang dari Indonesia ke Arab Saudi dibuka.
"Jika hal itu terjadi, ini bisa menjadi kado terbaik buat bangsa Indonesia. Di samping persoalan orang mau berangkat umrah, mungkin ada manfaat lainnya seperti pertukaran pelajar, bisnis, dan sebagainya," tegas Iskan
Sementara itu, Plt Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama (Kemenag) Khoirizi menyebutkan mereka yang ingin berangkat harus segera mungkin mendapat vaksinasi dan membantu dalam memutus rantai penularan.
Apabila angka vaksinasi tinggi, serta didukung penerapan protokol kesehatan yang ketat, akan berimplikasi pada penurunan angka penularan dan kematian. Dengan begitu pemerintah akan memiliki moda besar dalam melobi Arab Saudi.
"Tidak hanya ke Saudi Arabia, sekarang saja ke mal kita selalu di cek sudah vaksin atau belum. Ada atau tidak adanya umrah, vaksin harus menjadi kewajiban, serta menjaga protokol juga kewajiban. Kalau kita tidak menjaga hal terebut, mustahil kita bisa melakukan umrah di masa pandemi," terang Khorizi.
Dia menuturkan, dalam waktu dekat pemerintah akan melakukan diplomasi tingkat tinggi. Pertemuan ini untuk menemui seluruh jajaran terkait di Arab Saudi dan meyakinkan mereka bahwa Indonesia sudah sangat siap melaksanakan ibadah umrah.
"Harapannya, kita semua dalam hal ini penyelenggara umrah bisa segera menyiapkan calon jemaah jika nantinya Arab Saudi membuka pelaksanaan umrah bagi calon jamaah Indonesia kita sepenuhnya sudah sangat siap," tuturnya.
Menanggapi permasalahan vaksinasi, konsul Haji KJRI Jedah Endang Jumali mengatakan, jamaah dari beberapa negara yang sudah diizinkan masuk ‎belum ada yang mendapatkan skema booster ini.
"Dari informasi, setiap jamaah yang ingin umrah belum ada yang mendapat suntikan booster. Hampir semua menggunakan vaksin yang sama dengan Arab Saudi," katanya.
Jamaah yang sudah mendapatkan dua kali vaksin dengan jenis vaksin yang digunakan Arab Saudi atau dua kali vaksin plus booster, tidak wajib menjalani puasa setibanya di Jedah atau Madinah, mereka bisa langsung menjalani ibadah. Sedangkan bagi jamaah yang baru melakukan satu kali vaksin, mereka di wajibkan melakukan karantina atau isolasi mandiri selama empat hari.
"Saat tiba di Mekkah dan Madinah, jamaah mendapat kesempatan sekali menjalankan umrah dan sekali shalat di Raudah. Sedangkan ‎untuk pelaksanaan ibadah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi bisa dilakukan kapan saja," papar Endang.
Selain itu ibadah umrah tidak hanya memberikan manfaat spiritual yaitu menambah ketakwaan terhadap sang pencipta,tetapi memiliki pengaruh pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan membuka lapangan kerja cukup luas. Dari sektor wisata misalnya, menyumbang pemasukan negara sebesar USD22,6 miliar. Haji dan Umrah menyumbang sebesar USD12 miliar atau setara Rp160 triliun.
"Bisnis umrah melibatkan banyak sektor, mulai dari biro perjalanan, maskapai, perhotelan, restoran dan sektor pendukung lainnya. Dari perhitungan asosiasi saja, perbulannya biro umrah bisa rugi hingga Rp 2 triliun karena sekitar 110 ribu jamaah tidak jadi berangkat," ungkap pengamat umrah dan haji Mahfudz Djaelani.
Dampak lainnya bisa terlihat dari sulitnya pemerintah memungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn) dari industri umrah di Indonesia. Dengan kata lain, ujar dia, pelarangan ini sebaiknya tidak dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah sebaiknya segera mengambil tindakan.
"Saat ini ada 1,3 juta jamaah umrah per tahun. Misalkan, dengan rata-rata biaya umrah di kisaran Rp 20 juta sampai Rp 25 juta per jamaah, artinya terdapat potensi kerugian sekitar Rp25 triliun sampai Rp30 triliun per tahun. Tentunya berbagai sektor akan terpengaruh, seperti penerbangan, hotel, dan restoran," kata Mahfudz.
(ynt)