Wacana Pelabelan Kemasan, BPOM Diminta Siapkan Infrastuktur Laboratorium

Senin, 20 September 2021 - 08:31 WIB
loading...
Wacana Pelabelan Kemasan,...
BPOM diminta menyiapkan infrastruktur laboratorium sebelum melaksanakan wacana pelabelan kemasan makanan dan minuman. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Ketua Federasi Pengemasan Indonesia (IPF), Henky Wibawa menilai wacana pelabelan kemasan makanan dan minuman dengan keterangan lolos batas uji aman zat aditif tertentu akan mematikan industri pangan di Indonesia.

"Kalau sampai dipaksakan, BPOM harus diprotes. Kita nggak jualan jadinya, mati semua kita punya produk. Jelas akan mematikan industri. Belum lagi konsumen yang akan kesulitan untuk mencari makanan dan minuman karena nggak ada yang menjual produknya," kata Henky dalam keterangan tertulisnya, Minggu (19/9/2021).

Sejatinya, Henky tidak mempermasalahkan BPOM untuk membuat peraturan pelabelan kemasan pangan asal infrastruktur sudah siap. "Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah BPOM nanti bisa menyediakan akreditasi di laboratorium yang cukup di Indonesia. Itu persoalannya," ujarnya.

Baca juga: INAPLAS Keberatan Rencana Pelabelan Kemasan Plastik Bebas BPA

Hampir seluruh kemasan pangan menggunakan pelapis plastik dari berbagai jenis. Bahkan penelitian di Amerika Serikat pada 2016 menunjukkan 70 persen kemasan makanan minuman kaleng menggunakan pelapis berbahan Polikarbonat (PC). Di Indonesia, belum ada pengujian serupa karena diperlukan kesiapan dalam uji laboratorium.

Menurut Henky, banyak uji yang tidak terlaksana karena laboratorium untuk melakukan tesnya itu masih terbatas. "Saya dulu saja di perusahaan multinasional harus melakukan tes itu di luar negeri dengan biaya yang sangat mahal karena BPOM tidak bisa melakukannya," katanya.

Selama BPOM tidak menyelesaikan dulu masalah infrastruktur laboratoriumnya yang lengkap di Indonesia, peraturan pelabelan yang dibuat itu akan percuma karena tidak bisa dilaksanakan.

Baca juga: Langkah BPOM Melabelisasi Kemasan Plastik Mengandung BPA Sudah Tepat

"Kalau itu tidak dibereskan, ya peraturan itu tidak ada gunanya dan hanya menyusahkan orang. Orang mau mengeluarkan produk itu kan harus memakai kemasan. Nah, sekarang harus pakai label lolos batas uji aman dan itu harus melalui tes. Nah, kalau tesnya saja tidak ada tempatnya, di mana dia harus lakukan tesnya dan bagaimana dia mau melabeli kemasannya?," kata Henky.

Sementara, Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, menyampaikan industri makanan dan minuman (mamin) merupakan penyumbang kontribusi terbesar terhadap sektor industri pengolahan nonmigas pada triwulan II tahun 2021 yang mencapai 38,42 persen serta memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai 6,66 persen.

Dia mengatakan capaian kumulatif sektor strategis ini dari sisi ekspor juga sangat baik, yaitu mencapai USD19,58 miliar atau naik 42,59 persen dari periode yang sama pada tahun sebelumnya tercatat senilai USD13,73 miliar. Menurutnya, kinerja gemilang industri mamin ini perlu dijaga selama masa pandemi Covid-19, karena peran pentingnya dalam memasok kebutuhan pangan masyarakat.

"Industri mamin selama ini telah membawa dampak positif yang luas bagi perekonomian nasional, seperti peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi, penerimaan devisa dari investasi dan ekspor hingga penyerapan tenaga kerja yang sangat banyak," katanya.

Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sularsi, mengatakan peraturan itu perlu dikomunikasikan terlebih dulu dengan para pelaku usahanya. "Setiap peraturan itu kan harus dibahas secara bersama. Nggak sendiri. Mungkin ada masukan dari produsen. Karena ini kan mengakomodir tiga pihak, yaitu pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen. Kalau pemerintah itu membuat peraturan tapi tidak bisa diimplementasikan, kan konyol namanya," ujarnya.

Makanya, kata Sularsi, peraturan yang baik itu adalah yang bisa diimplementasi dan dikomunikasikan. "Jadi industri kan tetap harus hidup. Regulasi itu kan bukan untuk mematikan perusahaan, tetapi bahwa regulasi itu justru memberikan kepastian hukum untuk pelaku usaha, memberikan keamanan untuk pelaku usaha dan konsumen," ucapnya.

Menurutnya, selama ini sudah diatur bahwa kemasan harus menggunakan bahan-bahan yang aman untuk makanan atau minuman yang dikemas. Bahkan, untuk kemasan plastik seperti galon itu sudah ada SNI atau standar plastik kemasannya di Kementerian Perindustrian.

"Karena hampir semua saat ini kan pangan itu dikemas dengan plastik. Pertanyaannya itu plastik-plastik yang mana yang wajib untuk dilabeli itu?," ucapnya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2108 seconds (0.1#10.140)