Wacana 3 Periode Disebut Pernah Muncul di Era SBY

Senin, 13 September 2021 - 19:21 WIB
loading...
Wacana 3 Periode Disebut...
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Wacana 3 periode dan perpanjangan masa jabatan presiden terus bergulir sejak sebulan lalu, seiring dengan wacana MPR RI untuk mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) mengenai Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN), isu ini kian menguat dengan bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) dalam koalisi pemerintah.

Baca Juga: 3 periode
Baca juga: Soal Presiden 3 Periode, Guru Besar UGM Bandingkan Sikap Jokowi dengan Obama

Hal ini disampaikannya dalam diskusi "Presiden Tiga Periode: Antara Manfaat dan Madarat” yang diselenggarakan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) dan Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Senin (13/9/2021).

"Sebetulnya apakah ide jabatan presiden 3 periode itu relevan atau signifikan untuk dibahas di MPR? Ide ini menurut saya, ide masa jabatan tiga periode ini jelas bertentangan dengan spritis gerakan reformasi 1998," kata Siti Zuhro.

"Saya memang pegawai negeri sipil, LIPI, tapi kita jalan dari kantor LIPI ke Senayan untuk mengatakan pergantian kepemimpinan nasional karena dianggap sudah sangat luar biasa KKN kita waktu itu dan sebagainya, sehingga kita merasakan nuansa gerakan reformasi tahun 1998," tambahnya.

Perempuan yang akrab disapa Wiwiek ini melanjutkan, salah satu tujuan gerakan reformasi adalah menciptakan sirkulasi kepemimpinan yang terukur dan pasti. Menurutnya, isu ini juga pernah bergulir di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hanya saja wacana itu muncul jelang SBY memasuki periode kedua.

"Saya pernah ditanya, baru muncul keinginan untuk tiga periode beberapa bulan lalu, di salah satu media mainstream dan saya katakan ini muncul lagi model seperti ini dan itu yang munculkan juga ya Mas Benny ketika Pak SBY menuju periode kedua," ungkapnya.

"Waktu itu oleh kader Partai Demokrat sendiri tapi lalu tidak terlalu panjang diskusinya waktu itu dan tentu ada resistensi dari publik, dari masyarakat, dan tidak jadi akhirnya," imbuhnya.

Menurut Wiwiek, dalam sistem demokrasi yang disepakati dan dijalankan sejak tahun 1998 itu, diperlukan konsistensi dan komitmen semua komponen bangsa, termasuk oleh elite-elite ini harus terikat dengan komitmen itu, bukan malah membuat ricuh, membuat gaduh dan membuat kebingungan.

Dia menegaskan, tidak hanya pemilu, ukuran aturan hukum juga harus diikuti dan ditaati agar jabatan publik itu tidak diisi orang yang sama dalam waktu terlalu lama. Jadi, pemilu itu tujuannya supaya ada sirkulasi kepemimpinan nasional.

"Dan kita pernah punya permasalahan karena lama di orde baru itu sirkulasinya macet. Ketika ada reformasi, kita mulai gagah untuk memilih pemimpin dan itu ternyata memang karena tidak dipayungi secara cukup, karena di ketatanegaraan kita itu yang diatur cuman hanya tahapan-tahapannya, bukan substansi dari calon itu sendiri," terang Wiwiek.

Oleh karena itu menurut dia, seharusnya dilakukan suatu perubahan-perubahan agar kualifikasi dari calon presiden dan calon wakil presiden sejak awal benar-benar rigid dan tidak sembarangan.

Sejarahnya diketahui, riwayat hidupnya itu betul-betul dibuka ke publik, tidak bisa tidak diketahui oleh publik, bagaimana kualifikasi, kapasitas dan kompetensinya.

"Hukum harus memastikan bahwa setiap orang itu mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Pembatasan masa jabatan dua periode sebagaimana diatur dalam konstitusi, itu menurut saya adalah bagian dari menjaga negara Indonesia sebagai negara demokrasi di mana pembatasan yang demikian tersebut diterima dalam praktik HAM secara universal, dan bukan dianggap sebagai pembatasan HAM," tegasnya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0907 seconds (0.1#10.140)