Teror Diskusi di UGM, Harus Ada Bukti untuk Ditindaklanjuti
loading...
A
A
A
JAKARTA - Teror berbentuk ancaman dan intimidasi terhadap pihak penyelenggara serta narasumber diskusi bertajuk 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' masih menyulut persoalan.
(Baca juga: Soal New Normal, Pemerintah Diminta Belajar dari Korea Selatan)
Imbas aksi itu, diskusi dari Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) yang rencananya digelar Jumat (29/5/2020) itu, terpaksa dibatalkan.
(Baca juga: Naik Lagi, 508 WNI di Luar Negeri Sembuh dari Covid-19)
Pengamat politik Karyono Wibowo menilai, persoalan itu perlu diurai secara gamblang dan objektif. Jika memang ada teror dan intimidasi, menurutnya, perlu alat bukti yang cukup.
"Jika memang terbukti memenuhi unsur pelanggaran maka menjadi tanggung jawab pihak yang berwajib untuk menindaklanjuti apabila pihak yang diintimidasi melaporkan ke pihak berwajib," cetus Karyono kepada SINDOnews, Minggu (31/5/2020).
Sebaliknya, Direktur Indonesian Public Intitute (IPI) itu menilai, jika isu tersebut hanya propaganda untuk mencari simpati masyarakat, maka tindakan tersebut sangat tidak bermoral dan menciderai demokrasi. Bahkan, ikut menodai kalangan intelektual kampus sebagai kawah candradimuka untuk mencetak para calon pemimpin bangsa.
Menurut dia, menyelenggarakan diskusi dengan tema yang provokatif tentu mengundang reaksi negatif. Apalagi dilakukan di tengah situasi pandemi saat Indonesia sedang menghadapi serangan virus corona yang telah menimbulkan banyak korban.
"Maka wajar, jika publik memiliki persepsi negatif terhadap kegiatan tersebut. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan mereka sedang menari di atas penderitaan orang lain," celetuknya.
Bukan tanpa alasan, Karyono memandang di saat kesedihan dan penderitaan rakyat, justru Komunitas yang mengatasnamakan CLS FH UGM menyelenggarakan acara diskusi bertajuk "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan". Menurut dia, tema diskusi tersebut memang sangat sensitif.
"Wajar jika membuat sejumlah pihak geram. Menurut saya, perdebatannya bukan lagi persoalan demokratis atau tidak, akademis atau tidak tetapi sudah bergeser ke persoalan etika dan moral karena tema dan momentum pelaksanaan diskusi tersebut dilakukan di tengah situasi keprihatinan," imbuh dia.
Oleh karena itu, kegiatan diskusi tersebut diduga ada unsur memanfaatkan situasi pandemi untuk tujuan politik kekuasaan. Minimal targetnya adalah propaganda umtuk mendelegitimasi pemerintahan dan menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat.
Kendati begitu, karena kegiatan itu dilakukan di saat bangsa mengalami musibah, sedang bahu membahu memutus rantai penyebaran Covid-19 dan menguras pikiran untuk mengatasi dampak pandemi, maka tindakan tersebut mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya semua pihak bersikap prososial.
Sepanjang pengamatannya, protes terhadap pelaksanaan diskusi yang dikaitkan dengan isu demokrasi sejak reformasi hingga sekarang tidak ada larangan melaksanakan diskusi. Pelbagai kegiatan diskusi telah berjalan cukup terbuka dan cenderung bebas, relatif tidak ada persoalan. Bahkan, ribuan diskusi daring dan webinar yang digelar di masa pandemi telah berjalan lancar dan aman.
(Baca juga: Soal New Normal, Pemerintah Diminta Belajar dari Korea Selatan)
Imbas aksi itu, diskusi dari Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) yang rencananya digelar Jumat (29/5/2020) itu, terpaksa dibatalkan.
(Baca juga: Naik Lagi, 508 WNI di Luar Negeri Sembuh dari Covid-19)
Pengamat politik Karyono Wibowo menilai, persoalan itu perlu diurai secara gamblang dan objektif. Jika memang ada teror dan intimidasi, menurutnya, perlu alat bukti yang cukup.
"Jika memang terbukti memenuhi unsur pelanggaran maka menjadi tanggung jawab pihak yang berwajib untuk menindaklanjuti apabila pihak yang diintimidasi melaporkan ke pihak berwajib," cetus Karyono kepada SINDOnews, Minggu (31/5/2020).
Sebaliknya, Direktur Indonesian Public Intitute (IPI) itu menilai, jika isu tersebut hanya propaganda untuk mencari simpati masyarakat, maka tindakan tersebut sangat tidak bermoral dan menciderai demokrasi. Bahkan, ikut menodai kalangan intelektual kampus sebagai kawah candradimuka untuk mencetak para calon pemimpin bangsa.
Menurut dia, menyelenggarakan diskusi dengan tema yang provokatif tentu mengundang reaksi negatif. Apalagi dilakukan di tengah situasi pandemi saat Indonesia sedang menghadapi serangan virus corona yang telah menimbulkan banyak korban.
"Maka wajar, jika publik memiliki persepsi negatif terhadap kegiatan tersebut. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan mereka sedang menari di atas penderitaan orang lain," celetuknya.
Bukan tanpa alasan, Karyono memandang di saat kesedihan dan penderitaan rakyat, justru Komunitas yang mengatasnamakan CLS FH UGM menyelenggarakan acara diskusi bertajuk "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan". Menurut dia, tema diskusi tersebut memang sangat sensitif.
"Wajar jika membuat sejumlah pihak geram. Menurut saya, perdebatannya bukan lagi persoalan demokratis atau tidak, akademis atau tidak tetapi sudah bergeser ke persoalan etika dan moral karena tema dan momentum pelaksanaan diskusi tersebut dilakukan di tengah situasi keprihatinan," imbuh dia.
Oleh karena itu, kegiatan diskusi tersebut diduga ada unsur memanfaatkan situasi pandemi untuk tujuan politik kekuasaan. Minimal targetnya adalah propaganda umtuk mendelegitimasi pemerintahan dan menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat.
Kendati begitu, karena kegiatan itu dilakukan di saat bangsa mengalami musibah, sedang bahu membahu memutus rantai penyebaran Covid-19 dan menguras pikiran untuk mengatasi dampak pandemi, maka tindakan tersebut mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya semua pihak bersikap prososial.
Sepanjang pengamatannya, protes terhadap pelaksanaan diskusi yang dikaitkan dengan isu demokrasi sejak reformasi hingga sekarang tidak ada larangan melaksanakan diskusi. Pelbagai kegiatan diskusi telah berjalan cukup terbuka dan cenderung bebas, relatif tidak ada persoalan. Bahkan, ribuan diskusi daring dan webinar yang digelar di masa pandemi telah berjalan lancar dan aman.
(maf)