Lapas Over Kapasitas, Orientasi Penanganan Kejahatan Ringan Perlu Diubah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid turut duka cita pada keluarga korban kebakaran Lembaga Pemasyarakatan ( Lapas ) Kelas I Tangerang. Kejadian itu menurutnya, bukan kebakaran biasa, namun juga masalah Hak Asasi Manusia (HAM).
"Para tahanan dan terpidana kerap ditempatkan dalam penjara yang sesak dan mengancam hidup serta kesehatan. Mereka juga manusia yang berhak atas kondisi penjara yang layak dan hak atas kesehatan," kata Usman dalam keterangan tertulis dikutip, Kamis (9/9/2021).
Usman menjelaskan, tempat penahanan harus menyediakan ruang, penerangan, udara, dan ventilasi yang memadai. Menurutnya, kejadian serupa tak boleh terjadi lagi.
"Kapasitas penjara yang terbatas dengan jumlah penghuni yang berlebihan adalah akar masalah serius dalam sistem peradilan pidana di Indonesia," jelasnya.
Lebih jauh dipaparkan, salah satu langkah yang dapat segera diambil pemerintah yaitu dengan mengubah orientasi politik kebijakan dalam menangani kejahatan ringan. Di dalamnya yang berkaitan penggunaan narkotika.
"Pemerintah dapat membebaskan mereka yang seharusnya tidak pernah ditahan, termasuk tahanan hati nurani dan orang-orang yang ditahan atas dasar pasal-pasal karet dalam UU ITE," ucapnya.
Penahanan dan pemenjaraan orang hanya karena mengekspresikan pendapatnya secara damai, kata Usman, tak dapat dibenarkan dalam situasi apa pun. Terlebih lagi lanjut dia, dalam situasi over kapasitas terutama di masa pandemi Covid-19.
"Pemerintah harus bertanggung jawab dan segera mengusut apa sebab kebakaran dan memastikan semua hak keluarga korban terpenuhi," tegas Usman.
Usman mengungkapkan, tiap tahanan memiliki hak atas kondisi penahanan yang layak. Menurutnya, hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Dia berpendapat, over kapasitas juga menyebabkan tidak terpenuhinya Aturan Minimum Standar tentang Penanganan Tahanan yang diadopsi oleh PBB.
Kata dia, penting bagi pemerintah mengkaji kembali perlunya melanjutkan masa penahanan demi menjaga kesehatan orang-orang yang berada dalam tahanan, staf penjara dan masyarakat secara umum.
Selain itu kata dia, pemerintah harus mempertimbangkan apakah tahanan memenuhi syarat untuk pembebasan bersyarat, pembebasan lebih awal, atau dikenakan hukuman alternatif non-penahanan.
"Mereka harus sepenuhnya mempertimbangkan keadaan individu dan risiko yang akan ditimbulkan pada kelompok tahanan tertentu," pungkasnya.
"Para tahanan dan terpidana kerap ditempatkan dalam penjara yang sesak dan mengancam hidup serta kesehatan. Mereka juga manusia yang berhak atas kondisi penjara yang layak dan hak atas kesehatan," kata Usman dalam keterangan tertulis dikutip, Kamis (9/9/2021).
Usman menjelaskan, tempat penahanan harus menyediakan ruang, penerangan, udara, dan ventilasi yang memadai. Menurutnya, kejadian serupa tak boleh terjadi lagi.
"Kapasitas penjara yang terbatas dengan jumlah penghuni yang berlebihan adalah akar masalah serius dalam sistem peradilan pidana di Indonesia," jelasnya.
Lebih jauh dipaparkan, salah satu langkah yang dapat segera diambil pemerintah yaitu dengan mengubah orientasi politik kebijakan dalam menangani kejahatan ringan. Di dalamnya yang berkaitan penggunaan narkotika.
"Pemerintah dapat membebaskan mereka yang seharusnya tidak pernah ditahan, termasuk tahanan hati nurani dan orang-orang yang ditahan atas dasar pasal-pasal karet dalam UU ITE," ucapnya.
Penahanan dan pemenjaraan orang hanya karena mengekspresikan pendapatnya secara damai, kata Usman, tak dapat dibenarkan dalam situasi apa pun. Terlebih lagi lanjut dia, dalam situasi over kapasitas terutama di masa pandemi Covid-19.
"Pemerintah harus bertanggung jawab dan segera mengusut apa sebab kebakaran dan memastikan semua hak keluarga korban terpenuhi," tegas Usman.
Usman mengungkapkan, tiap tahanan memiliki hak atas kondisi penahanan yang layak. Menurutnya, hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Dia berpendapat, over kapasitas juga menyebabkan tidak terpenuhinya Aturan Minimum Standar tentang Penanganan Tahanan yang diadopsi oleh PBB.
Kata dia, penting bagi pemerintah mengkaji kembali perlunya melanjutkan masa penahanan demi menjaga kesehatan orang-orang yang berada dalam tahanan, staf penjara dan masyarakat secara umum.
Selain itu kata dia, pemerintah harus mempertimbangkan apakah tahanan memenuhi syarat untuk pembebasan bersyarat, pembebasan lebih awal, atau dikenakan hukuman alternatif non-penahanan.
"Mereka harus sepenuhnya mempertimbangkan keadaan individu dan risiko yang akan ditimbulkan pada kelompok tahanan tertentu," pungkasnya.
(maf)