Penanganan Kanker Pada Anak Butuh Komitmen Kuat Pemangku Kepentingan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menilai pendataan atau registrasi anak penderita kanker harus menjadi perhatian para pemangku kepentingan. Dengan pendataan yang baik diharapkan penanganan kasus kanker pada anak lebih terarah, sehingga hak anak untuk mendapatkan kesehatan dan kehidupan layak dapat terwujud di masa mendatang.
"Mencerdaskan kehidupan bangsa yang tercantum dalam konstitusi kita adalah amanah dari para pendiri bangsa. Untuk membentuk bangsa yang cerdas tentu harus sehat agar generasi mendatang mendapatkan kehidupan yang layak," kata Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Mengurai Permasalahan Kanker Anak di Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (8/9/2021).
Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari Moerdijat, penanganan kasus kanker pada anak adalah salah satu langkah untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045. Namun ia mengakui masih sering menemui kendala dalam penanganan kanker pada anak. Antara lain sulitnya melakukan pencegahan dan deteksi dini, diagnosis yang keliru dan tertunda, kurangnya akses terhadap fasilitas kesehatan, dan risiko kambuhnya kanker setelah pengobatan turut menjadi rintangan menuju kesembuhan.
Baca juga: Ari Lasso Idap Kanker Ganas dan Langka, Harus Jalani Kemoterapi
Salah satu narasumber dalam diskusi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Cut Putri Arianie mengungkapkan, saat ini satu dari lima anak Indonesia yang menderita kanker tidak dapat ditolong dan dua pertiga yang survive, menderita dalam jangka panjang.
Menurutnya, penanganan kanker pada anak tidak bisa dilakukan seperti pada orang dewasa, karena membutuhkan keahlian khusus. Diperlukan promosi kesehatan dalam bentuk penyampaian informasi dan edukasi terkait kanker anak, agar masyarakat dan orang tua bisa melakukan deteksi dini terhadap anak mereka.
Narasumber lainnya, Kepala Bagian Anak RS Kanker Dharmais, Haridini Intan mengungkapkan, WHO mencatat sekitar 400.000 anak dan remaja setiap tahun terdiagnosis kanker. Sedangkan di Indonesia, tercatat 11.000 anak setiap tahun terdiagnosis kanker.
Baca juga: Aplikasi Sinoma, Inovasi Mahasiswa UGM untuk Deteksi Dini Kanker Mulut
Jenis kanker yang sering terjadi pada anak, kata Haridini, antara lain leukemia, lymphoma dan tumor syaraf pusat. Permasalahan yang dihadapi dalam penanganan kasus kanker itu, menurut dia, adalah masalah diagnostik dalam upaya mendeteksi kanker pada anak, seperti keterlambatan diagnostik dan keterbatasan pemeriksaan.
Menurut Haridini, saat ini dibutuhkan sistem pencatatan data (registry kanker anak)
yang baik untuk mengetahui besaran masalah dengan lebih baik sebagai dasar pembuatan kebijakan pemerintah.
Karena itu, dibutuhkan pendanaan yang memadai dalam pendidikan, penelitian, dan pengembangan teknologi diagnosis dan tata laksana kanker pada anak.
Ketua Pokja UKK Hematologi/Onkologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Bambang Sudarmanto, menambahkan, dari sekitar 4.000 dokter anak, hanya 50 di antaranya yang memiliki keahlian dalam penanganan kanker. Kondisi itu diperburuk lagi dengan penyebaran dokter yang belum merata atau hanya terpusat di Pulau Jawa. Padahal, ujarnya, jumlah penderita kanker anak jumlahnya 20% dari total jumlah penderita kanker.
Sebagian besar penderita kanker anak, menurut Bambang, dapat diobati dengan kemoterapi dan sebagian dengan bedah dan radioterapi. Namun, penyebab kematian akibat kanker pada anak sering terjadi akibat keterlambatan diagnosa, terjadi hambatan akses fasyankes dan kasus dropout pengobatan akibat kurangnya pengetahuan.
Juliana Hanaratri dari Ikatan Perawat Anak Indonesia (IPANI) berpendapat, dalam penanganan kasus kanker anak para perawat harus terus berupaya meningkatkan keterampilannya, sesuai standar minimal yang ditetapkan International Society of Padriatic Oncology (SIOP). Standar minimal tersebut, jelas Juliana, antara lain perawat kanker anak tidak disarankan terlalu sering dirotasi agar memiliki waktu yang cukup untuk melakukan orientasi terhadap kondisi pasien, pendidikan berkelanjutan dan memperkuat team work, karena penanganan kanker anak berlangsung dalam waktu yang cukup panjang.
Jurnalis penerima Award Winning Journalist Bidang Kesehatan, Siswantini Suryandari berpendapat data epidemiologis tentang kanker anak sangat diperlukan sebagai dasar dalam penentuan perkiraan kebutuhan perawatan paliatif yang dilaksanakan melalui home care maupun di poli rawat jalan. Data tersebut diperlukan untuk memperkirakan sejauh mana karakteristik populasi yang membutuhkan perawatan paliatif.
Siswantini menyarankan, Pemerintah, DPR, organisasi peduli kanker anak, IDAI dan lainnya harus bisa merumuskan peta jalan penuntasan masalah kanker pada anak. Selain itu, juga punya pedoman penanganan kanker yang tepat baik dalam situasi normal dan kedaruratan seperti pandemi Covid-19 sekarang ini.
Ketua DPP Partai NasDem Bidang Kesehatan, Okky Asokawati berpendapat bila dilihat dari perbedaan survivor rate yang cukup besar antara negara maju (80%) dan negara berkembang (20%), bisa diartikan dengan penanganan yang lebih baik, anak bisa survive bahkan sembuh dari serangan kanker.
Karena itu, tegas Okky, para pemangku kepentingan harus berlomba-lomba agar survivor rate kanker anak di Indonesia bisa seperti di negara-negara maju dengan segera memperbaiki tata kelola dan fasilitas penanganan kanker terhadap anak di Ranah Air.
Ketua Yayasan Anyo Indonesia (YAI) Pinta Manullang Panggabean mengungkapkan, pihaknya berupaya ikut serta menyelamatkan anak-anak yang menderita kanker di Indonesia, antara lain lewat bantuan transportasi, rumah inap saat berobat ke rumah sakit dan pendampingan bagi anak dan orang tuanya.
Dia menambahkan, komitmen para pemangku kepentingan di pusat dan daerah harus kuat dalam upaya penanganan kasus kanker anak di Indonesia dengan berbasis data yang akurat, agar penanganan kanker anak di Tanah Air lebih terarah dan efektif untuk meningkatkan survivor rate.
"Mencerdaskan kehidupan bangsa yang tercantum dalam konstitusi kita adalah amanah dari para pendiri bangsa. Untuk membentuk bangsa yang cerdas tentu harus sehat agar generasi mendatang mendapatkan kehidupan yang layak," kata Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Mengurai Permasalahan Kanker Anak di Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (8/9/2021).
Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari Moerdijat, penanganan kasus kanker pada anak adalah salah satu langkah untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045. Namun ia mengakui masih sering menemui kendala dalam penanganan kanker pada anak. Antara lain sulitnya melakukan pencegahan dan deteksi dini, diagnosis yang keliru dan tertunda, kurangnya akses terhadap fasilitas kesehatan, dan risiko kambuhnya kanker setelah pengobatan turut menjadi rintangan menuju kesembuhan.
Baca juga: Ari Lasso Idap Kanker Ganas dan Langka, Harus Jalani Kemoterapi
Salah satu narasumber dalam diskusi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Cut Putri Arianie mengungkapkan, saat ini satu dari lima anak Indonesia yang menderita kanker tidak dapat ditolong dan dua pertiga yang survive, menderita dalam jangka panjang.
Menurutnya, penanganan kanker pada anak tidak bisa dilakukan seperti pada orang dewasa, karena membutuhkan keahlian khusus. Diperlukan promosi kesehatan dalam bentuk penyampaian informasi dan edukasi terkait kanker anak, agar masyarakat dan orang tua bisa melakukan deteksi dini terhadap anak mereka.
Narasumber lainnya, Kepala Bagian Anak RS Kanker Dharmais, Haridini Intan mengungkapkan, WHO mencatat sekitar 400.000 anak dan remaja setiap tahun terdiagnosis kanker. Sedangkan di Indonesia, tercatat 11.000 anak setiap tahun terdiagnosis kanker.
Baca juga: Aplikasi Sinoma, Inovasi Mahasiswa UGM untuk Deteksi Dini Kanker Mulut
Jenis kanker yang sering terjadi pada anak, kata Haridini, antara lain leukemia, lymphoma dan tumor syaraf pusat. Permasalahan yang dihadapi dalam penanganan kasus kanker itu, menurut dia, adalah masalah diagnostik dalam upaya mendeteksi kanker pada anak, seperti keterlambatan diagnostik dan keterbatasan pemeriksaan.
Menurut Haridini, saat ini dibutuhkan sistem pencatatan data (registry kanker anak)
yang baik untuk mengetahui besaran masalah dengan lebih baik sebagai dasar pembuatan kebijakan pemerintah.
Karena itu, dibutuhkan pendanaan yang memadai dalam pendidikan, penelitian, dan pengembangan teknologi diagnosis dan tata laksana kanker pada anak.
Ketua Pokja UKK Hematologi/Onkologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Bambang Sudarmanto, menambahkan, dari sekitar 4.000 dokter anak, hanya 50 di antaranya yang memiliki keahlian dalam penanganan kanker. Kondisi itu diperburuk lagi dengan penyebaran dokter yang belum merata atau hanya terpusat di Pulau Jawa. Padahal, ujarnya, jumlah penderita kanker anak jumlahnya 20% dari total jumlah penderita kanker.
Sebagian besar penderita kanker anak, menurut Bambang, dapat diobati dengan kemoterapi dan sebagian dengan bedah dan radioterapi. Namun, penyebab kematian akibat kanker pada anak sering terjadi akibat keterlambatan diagnosa, terjadi hambatan akses fasyankes dan kasus dropout pengobatan akibat kurangnya pengetahuan.
Juliana Hanaratri dari Ikatan Perawat Anak Indonesia (IPANI) berpendapat, dalam penanganan kasus kanker anak para perawat harus terus berupaya meningkatkan keterampilannya, sesuai standar minimal yang ditetapkan International Society of Padriatic Oncology (SIOP). Standar minimal tersebut, jelas Juliana, antara lain perawat kanker anak tidak disarankan terlalu sering dirotasi agar memiliki waktu yang cukup untuk melakukan orientasi terhadap kondisi pasien, pendidikan berkelanjutan dan memperkuat team work, karena penanganan kanker anak berlangsung dalam waktu yang cukup panjang.
Jurnalis penerima Award Winning Journalist Bidang Kesehatan, Siswantini Suryandari berpendapat data epidemiologis tentang kanker anak sangat diperlukan sebagai dasar dalam penentuan perkiraan kebutuhan perawatan paliatif yang dilaksanakan melalui home care maupun di poli rawat jalan. Data tersebut diperlukan untuk memperkirakan sejauh mana karakteristik populasi yang membutuhkan perawatan paliatif.
Siswantini menyarankan, Pemerintah, DPR, organisasi peduli kanker anak, IDAI dan lainnya harus bisa merumuskan peta jalan penuntasan masalah kanker pada anak. Selain itu, juga punya pedoman penanganan kanker yang tepat baik dalam situasi normal dan kedaruratan seperti pandemi Covid-19 sekarang ini.
Ketua DPP Partai NasDem Bidang Kesehatan, Okky Asokawati berpendapat bila dilihat dari perbedaan survivor rate yang cukup besar antara negara maju (80%) dan negara berkembang (20%), bisa diartikan dengan penanganan yang lebih baik, anak bisa survive bahkan sembuh dari serangan kanker.
Karena itu, tegas Okky, para pemangku kepentingan harus berlomba-lomba agar survivor rate kanker anak di Indonesia bisa seperti di negara-negara maju dengan segera memperbaiki tata kelola dan fasilitas penanganan kanker terhadap anak di Ranah Air.
Ketua Yayasan Anyo Indonesia (YAI) Pinta Manullang Panggabean mengungkapkan, pihaknya berupaya ikut serta menyelamatkan anak-anak yang menderita kanker di Indonesia, antara lain lewat bantuan transportasi, rumah inap saat berobat ke rumah sakit dan pendampingan bagi anak dan orang tuanya.
Dia menambahkan, komitmen para pemangku kepentingan di pusat dan daerah harus kuat dalam upaya penanganan kasus kanker anak di Indonesia dengan berbasis data yang akurat, agar penanganan kanker anak di Tanah Air lebih terarah dan efektif untuk meningkatkan survivor rate.
(abd)