Berpotensi Merugikan, Poin-poin dalam RUU EBT Ini Jadi Sorotan

Rabu, 08 September 2021 - 17:00 WIB
loading...
Berpotensi Merugikan,...
Sejumlah poin dalam draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang sedang digodok Pemerintah menjadi perhatian kalangan pemerhati sektor energi.
A A A
JAKARTA - Sejumlah poin dalam draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang sedang digodok Pemerintah menjadi perhatian kalangan pemerhati sektor energi. Pasalnya, ada aturan dalam regulasi tersebut yang berpotensi membebani APBN dan juga BUMN.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebutkan, di antaranya kewajiban PLN membeli listrik EBT. Kewajiban ini, kata dia, seharusnya dengan mempertimbangkan kondisi pasokan listrik yang ada.

"Karena kita tahu bahwa untuk saat ini, kondisi listrik sedang oversupply. Di mana PLN memang sedang kelebihan pasokan listrik, dan PLN menurut saya harus berusaha bagaimana agar pasokan listrik yang berlebih ini bisa diserap oleh pasar," ujarnya di Jakarta, Rabu (8/9/2021).

Di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi yang terpukul karena pandemi Covid-19, kata dia, banyak pabrik yang tutup dan belum beroperasi secara normal. Hal ini cukup mempengaruhi penyerapan listrik, apalagi jika dibebani dengan kewajiban menyerap listrik EBT di tengah kondisi yang oversupply.

"Yang juga harus dibicarakan adalah terkait program 35.000 MW ini, PLN harus take or pay (listrik produksi swasta). Sekarang pun dalam RUU EBT pun ada kewajiban seperti itu, akhirnya menjadi beban juga. Saya setuju kita harus mengejar target (bauran energi terbarukan) 25% nanti (di 2025), tapi saya kira ini perlu dikaji kembali," kata Mamit.

Hal selanjutnya yang harus menjadi perhatian menurutnya adalah penentuan tarif listrik EBT dari awal atau skema feed in tariff. Mamit menilai aturan ini juga akan menjadi beban bagi PLN karena harga sudah ditentukan tanpa bisa dinegosiasikan ke depan.

"Yang terjadi adalah beban PLN akan meningkat, dan beban keuangan negara akan meningkat karena kalau ada selisih harga itu menjadi tanggungan Pemerintah," katanya.

Mamit menjelaskan, selisih harga Biaya Pokok Produksi (BPP) dan nilai jual listrik yang diberikan kepada masyarakat berdasarkan aturan menjadi tanggungan Pemerintah yang akan masuk ke subsidi atau dana kompensasi.

Kendati demikian, dia berharap bahwa ke depan EBT tetap bisa memberikan efek berganda kepada masyarakat dengan TKDN yang lebih besar lagi. Dengan adanya TKDN yang lebih besar, kata dia, industri dalam negeri akan tumbuh dan berdampak pada meningkatnya perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

"Ke depan, harus tetap ada insentif bagi badan usaha yang menggunakan EBT. Poin-poin tadi ini penting diperhatikan, khususnya kondisi oversupply listrik saat ini," ujarnya.

Sebelumnya, mantan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Profesor Mukhtasor dari ITS meminta RUU EBT disinkronisasi dengan undang-undang ataupun regulasi lain yang telah ada sebelumnya. Dengan begitu, dia berharap insentif-insentif yang disiapkan Pemerintah dalam RUU itu, seperti feed in tariff, bisa dialihkan untuk pengembangan industri dalam negeri.

Daripada hanya dinikmati oleh investor pembangkit EBT tanpa berdampak pada tumbuhnya industri dalam negeri ataupun penerimaan negara, feed in tariff menurutnya lebih baik ditiadakan dan pemerintah memberikan insentif langsung untuk menciptakan kemandirian industri nasional di bidang EBT.

Misalnya pada industri dalam negeri yang mengembangkan dan memproduksi panel surya, turbin, dan sebagainya. Intinya bangun dulu ekonomi produktif, jangan modal nasional nanti habis begitu saja tanpa ada nilai tambahnya," kata dia. CM
(ars)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1177 seconds (0.1#10.140)