Rancangan Perpres TNI Atasi Terorisme Tak Gunakan Kajian Ilmiah Akademisi
loading...
A
A
A
Petisi bersama itu juga menjabarkan potensi persoalan dari perpres itu seperti mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum yang membahayakan hak warga dan tumpang tindih fungsi dan tugas antara militer dengan kelembagaan negara lainnya yakni BNPT, aparat penegak hukum dan lembaga intelijen negara
Tak hanya itu, penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 14 rancangan perpres TNI tersebut juga bertentangan dengan UU TNI.
“Penggunaan anggaran di luar APBN oleh TNI tidak sejalan dengan fungsi TNI yang bersifat terpusat (tidak didesentralisasikan), sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI. Pendanaan di luar ketentuan UU TNI tersebut memiliki problem akuntabilitas, potensial terjadi penyimpangan dan menimbulkan beban anggaran baru bagi pemerintah daerah,” Herlambang mengingatkan.
Tak kalah penting dikritisi, dalam rancangan perpres itu, pengerahan TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan hanya melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR yang disyaratkan oleh UU TNI. “Itu artinya secara hukum perpres ini nanti akan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yakni UU TNI itu sendiri karena telah menghilangkan mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR,” tegasnya.
Para tokoh yang menandatangani petisi bersama pada 27 Mei 2020 sepakat memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI sebagaimana di maksud dalam draf perpres tersebut akan membuka ruang dan potensi collateral damage yang tinggi, cenderung represif, stereotyping (stigmatisasi) sehingga menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi di Indonesia.
“Kami mendesak kepada parlemen agar meminta pemerintah untuk memperbaiki draft peraturan presiden itu secara lebih baik dan lebih benar karena secara substansi memiliki banyak permasalahan,” imbuhnya.
Tak hanya itu, penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 14 rancangan perpres TNI tersebut juga bertentangan dengan UU TNI.
“Penggunaan anggaran di luar APBN oleh TNI tidak sejalan dengan fungsi TNI yang bersifat terpusat (tidak didesentralisasikan), sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI. Pendanaan di luar ketentuan UU TNI tersebut memiliki problem akuntabilitas, potensial terjadi penyimpangan dan menimbulkan beban anggaran baru bagi pemerintah daerah,” Herlambang mengingatkan.
Tak kalah penting dikritisi, dalam rancangan perpres itu, pengerahan TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan hanya melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR yang disyaratkan oleh UU TNI. “Itu artinya secara hukum perpres ini nanti akan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yakni UU TNI itu sendiri karena telah menghilangkan mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR,” tegasnya.
Para tokoh yang menandatangani petisi bersama pada 27 Mei 2020 sepakat memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI sebagaimana di maksud dalam draf perpres tersebut akan membuka ruang dan potensi collateral damage yang tinggi, cenderung represif, stereotyping (stigmatisasi) sehingga menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi di Indonesia.
“Kami mendesak kepada parlemen agar meminta pemerintah untuk memperbaiki draft peraturan presiden itu secara lebih baik dan lebih benar karena secara substansi memiliki banyak permasalahan,” imbuhnya.
(cip)