Regulasi Longgar, Anak Muda Masih Jadi Sasaran Industri Rokok
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ada julukan yang tidak sedap bagi Indonesia. Negeri ini disebut “tobacco industry’s playground” atau taman bermain industri tembakau .
Sebutan tersebut sepertinya memperkuat fakta Indonesia adalah negeri yang ramah pada industri tembakau. Sebab, negeri ini terkenal dengan banyaknya perokok dan bebasnya pemasaran produk tembakau.
Data Riskesdas 2013, Kementerian Kesehatan (2019) menyatakan, prevalensi perokok laki-laki di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia dan diprediksi lebih dari 97 juta penduduk Indonesia terpapar asap rokok.
Indonesia menjadi negara dengan jumlah perokok terbanyak ketiga di seluruh dunia. Data sangat memprihatinkan terlihat pada perokok anak.
Data Riskesdas menunjukkan dalam satu dekade terakhir terjadi peningkatan jumlah perokok pemula hingga 240% (dari 9,6% di 2007 menjadi 23,1% di 2018) di kalangan anak 10-14 tahun. Pada kelompok 15-19 tahun terjadi kenaikan 140%. Merujuk data GYTS (2014), Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) pada 2019 menyatakan, 2 dari 5 anak 10-15 tahun di Indonesia merokok 13 batang/hari atau 4.745 batang setahun.
"Berbeda dengan banyak negara yang memiliki regulasi ketat dalam hal pemasaran produk tembakau, regulasi Indonesia mengenai iklan, promosi, dan sponsor rokok sangat longgar," kata Nina Mutmainnah, pengurus Komnas PT dalam pemaparannya.
Sulit untuk ditampik, berbagai strategi iklan, promosi, dan sponsor untuk memasarkan rokok ini terutama ditujukan kepada kaum muda belia. "Yang dijadikan sasaran karena mereka adalah perokok pengganti, dijadikan konsumen setia untuk membuat bisnis industri rokok terus dapat berjalan," tutur Ninna yang Dosen Komunikasi Universitas Indonesia ini.
Anak-anak muda di Indonesia dibanjiri oleh iklan dan promosi rokok dari berbagai media. Ketika mereka menonton TV, iklan rokok muncul menghiasi layar mulai pukul 21.30.
Ketika mereka menonton bioskop, iklan rokok tampil sebelum film, termasuk pada film-film klasifikasi 13 atau 17 tahun ke atas. Padahal iklan rokok sendiri telah ditetapkan LSF masuk dalam klasifikasi 21 tahun ke atas.
( )
Sebutan tersebut sepertinya memperkuat fakta Indonesia adalah negeri yang ramah pada industri tembakau. Sebab, negeri ini terkenal dengan banyaknya perokok dan bebasnya pemasaran produk tembakau.
Data Riskesdas 2013, Kementerian Kesehatan (2019) menyatakan, prevalensi perokok laki-laki di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia dan diprediksi lebih dari 97 juta penduduk Indonesia terpapar asap rokok.
Indonesia menjadi negara dengan jumlah perokok terbanyak ketiga di seluruh dunia. Data sangat memprihatinkan terlihat pada perokok anak.
Data Riskesdas menunjukkan dalam satu dekade terakhir terjadi peningkatan jumlah perokok pemula hingga 240% (dari 9,6% di 2007 menjadi 23,1% di 2018) di kalangan anak 10-14 tahun. Pada kelompok 15-19 tahun terjadi kenaikan 140%. Merujuk data GYTS (2014), Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) pada 2019 menyatakan, 2 dari 5 anak 10-15 tahun di Indonesia merokok 13 batang/hari atau 4.745 batang setahun.
"Berbeda dengan banyak negara yang memiliki regulasi ketat dalam hal pemasaran produk tembakau, regulasi Indonesia mengenai iklan, promosi, dan sponsor rokok sangat longgar," kata Nina Mutmainnah, pengurus Komnas PT dalam pemaparannya.
Sulit untuk ditampik, berbagai strategi iklan, promosi, dan sponsor untuk memasarkan rokok ini terutama ditujukan kepada kaum muda belia. "Yang dijadikan sasaran karena mereka adalah perokok pengganti, dijadikan konsumen setia untuk membuat bisnis industri rokok terus dapat berjalan," tutur Ninna yang Dosen Komunikasi Universitas Indonesia ini.
Anak-anak muda di Indonesia dibanjiri oleh iklan dan promosi rokok dari berbagai media. Ketika mereka menonton TV, iklan rokok muncul menghiasi layar mulai pukul 21.30.
Ketika mereka menonton bioskop, iklan rokok tampil sebelum film, termasuk pada film-film klasifikasi 13 atau 17 tahun ke atas. Padahal iklan rokok sendiri telah ditetapkan LSF masuk dalam klasifikasi 21 tahun ke atas.
( )