Apresiasi Konsep Vaksinasi Ideologi Ketua MPR, Boni: Terobosan Tangkal Radikalisme
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ahli Politik Boni Hargens mengapresiasi konsep vaksinasi ideologi yang disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam merespons kebangkitan radikalisme di Indonesia. Apalagi, kata Boni, pascakemenangan Taliban di Afghanistan yang telah membangkitkan militansi kelompok radikal dan teroris.
“Konsep vaksinasi ideologi dari Ketua MPR, Bambang Soesatyo, merupakan terobosan berpikir yang cerdas dalam merespons kebangkitan radikalisme di Indonesia,” kata Boni dalam Webinar Kebangsaan Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) dan Forum Intelektual Muda bertajuk ‘Vaksinasi Ideologi: Kiat Menangkal Radikalisme pasca kemenangan Taliban di Afghanistan’yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta, Semanggi, Jakarta, Senin (6/9/2021).
Kemenangan Taliban di Afghanistan, kata Boni, telah meningkatkan militansi kelompok radikal dan teroris di Tanah Air. Bahkan sel-sel tidur ISIS, dalam banyak studi para ahli terorisme, tutur Boni, mengalami rekonsolidasi yang serius. “Ini jelas potensi ancaman bagi demokrasi kita,” tandas dia.
Menurut Boni, vaksinasi ideologi harus menyasar kaum milenial yang rentan menjadi korban proyek disinformasi, desepsi, dan propaganda yang dilancarkan kelompok radikal di media sosial ataupun dalam dakwah-dakwah dunia nyata. “Merawat keindonesiaan yang berdasarkan Pancasila memerlukan kebijakan dan gerakan strategis dari negara yang melibatkan masyarakat sendiri karena radikalisasi terus meningkat dalam aspek militansi. BNPT memang meyakini potensi radikalisme menurun ke 14% dari 38,4% tahun 2019. Tapi kan militansinya justru meningkat. Itu yang harus disikapi dengan tegas dan jelas,” tegas Boni.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang memberikan sambutan secara virtual dalam acara webinar tersebut mengakui keberhasilan Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan sedikit banyak memengaruhi kondusifitas politik dalam negeri. Karena itu, kata Bamsoet, sapaan akrabnya, perlu kewaspadaan karena tumbuh radikalisme di dalam negeri juga dipicu oleh dinamika global termasuk kemenangan Taliban di Afghanistan.
“Sehingga tidak ada salahnya mengedepankan sikap kewaspadaan. Namun juga penting untuk kita ingat bersama, bahwa alat pertahanan terbaik dalam menangkal radikalisme bukanlah semata mengandalkan tindakan represif, melainkan dengan penguatan benteng ideologi,” ujar Bamsoet dalam Webinar tersebut.
Apalagi, kata Bamsoet, paham radikalisme tidak semata-mata terpapar dan terdistribusi melalui proses indoktrinasi yang dilakukan secara langsung, atau melalui pendekatan dan metodologi konvensional lainnya. Menurut dia, perkembangan teknologi informasi memungkinkan paparan paham radikalisme dapat dijangkau dan diakses hanya dalam batas sentuhan jari di layar smartphone.
"Inilah yang memungkinkan, misalnya, remaja wanita di Inggris atau Australia, dapat dengan mudahnya bergabung dengan ISIS di Irak. Era disrupsi yang menghantarkan fenomena 'the internet of things' menjadikan ancaman paparan radikalisme terasa begitu dekat, di mana jarak dan waktu tidak lagi menjadi hambatan dan kendala," jelas Bamsoet.
Fakta dan hasil penelitian serta survei sejumlah lembaga, kata Bamsoet, menunjukkan radikalisme di Indonesia masih mengkhawatirkan. Berdasarkan Survei Nasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tercatat sepanjang 2020, terjadi penurunan angka penyebaran paham radikalisme secara signifikan. Dimana pada 2017 berada di kisaran 50%, turun menjadi 14% lebih pada 2020. Namun dari aspek 'kualitas' atau tingkat 'kenekatan', manifestasi dari paham radikalisme justru lebih mengkhawatirkan. Misalnya ditandai dengan adanya aksi bom bunuh diri yang melibatkan, atau mengorbankan, wanita dan anak-anak.
"Survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah 2018 mengindikasikan 63,07% guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain. Selanjutnya tahun 2019, penelitian kualitatif SETARA Institute di 10 kampus perguruan tinggi negeri, menemukan terdapat wacana dan gerakan keagamaan di perguruan tinggi negeri yang berpotensi mengancam negara Pancasila," beber Bamsoet.
Dia menambahkan, dari survei Wahid Institute tahun 2020, diketahui sikap intoleran dan paham radikalisme mempunyai kecenderungan meningkat dari 46% menjadi 54%. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila mensinyalir ASN yang pro radikalisme, atau bersikap anti terhadap Pancasila jumlahnya lebih dari 10%. Bahkan TNI dan Polri juga menjadi lahan untuk mentransmisikan paham radikalisme, di mana tidak kurang dari 4 persen anggota terindikasi terpapar dengan paham radikalisme.
"Karenanya, MPR RI gencar melaksanakan Vaksinasi Ideologi berupa Sosialisasi Empat Pilar MPR RI ke berbagai kalangan masyarakat guna memperkuat imun ideologi setiap anak bangsa dalam menghadapi berbagai gempuran ideologi yang tidak sejalan dengan jati diri bangsa Indonesia. Mengingat secara geografis, kita adalah negara kepulauan yang terpisah oleh lautan. Secara sosio-kultural, bangsa kita terdiri dari beragam suku, budaya, adat istiadat, agama dan kepercayaan. Ditambah lagi dengan potensi kekayaan sumber daya alam kita yang berlimpah, dan posisi geografis kita yang strategis dalam lalu lintas kemairitman, telah menempatkan kita sebagai magnet bagi berbagai kepentingan global," pungkas Bamsoet.
“Konsep vaksinasi ideologi dari Ketua MPR, Bambang Soesatyo, merupakan terobosan berpikir yang cerdas dalam merespons kebangkitan radikalisme di Indonesia,” kata Boni dalam Webinar Kebangsaan Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) dan Forum Intelektual Muda bertajuk ‘Vaksinasi Ideologi: Kiat Menangkal Radikalisme pasca kemenangan Taliban di Afghanistan’yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta, Semanggi, Jakarta, Senin (6/9/2021).
Kemenangan Taliban di Afghanistan, kata Boni, telah meningkatkan militansi kelompok radikal dan teroris di Tanah Air. Bahkan sel-sel tidur ISIS, dalam banyak studi para ahli terorisme, tutur Boni, mengalami rekonsolidasi yang serius. “Ini jelas potensi ancaman bagi demokrasi kita,” tandas dia.
Menurut Boni, vaksinasi ideologi harus menyasar kaum milenial yang rentan menjadi korban proyek disinformasi, desepsi, dan propaganda yang dilancarkan kelompok radikal di media sosial ataupun dalam dakwah-dakwah dunia nyata. “Merawat keindonesiaan yang berdasarkan Pancasila memerlukan kebijakan dan gerakan strategis dari negara yang melibatkan masyarakat sendiri karena radikalisasi terus meningkat dalam aspek militansi. BNPT memang meyakini potensi radikalisme menurun ke 14% dari 38,4% tahun 2019. Tapi kan militansinya justru meningkat. Itu yang harus disikapi dengan tegas dan jelas,” tegas Boni.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang memberikan sambutan secara virtual dalam acara webinar tersebut mengakui keberhasilan Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan sedikit banyak memengaruhi kondusifitas politik dalam negeri. Karena itu, kata Bamsoet, sapaan akrabnya, perlu kewaspadaan karena tumbuh radikalisme di dalam negeri juga dipicu oleh dinamika global termasuk kemenangan Taliban di Afghanistan.
“Sehingga tidak ada salahnya mengedepankan sikap kewaspadaan. Namun juga penting untuk kita ingat bersama, bahwa alat pertahanan terbaik dalam menangkal radikalisme bukanlah semata mengandalkan tindakan represif, melainkan dengan penguatan benteng ideologi,” ujar Bamsoet dalam Webinar tersebut.
Apalagi, kata Bamsoet, paham radikalisme tidak semata-mata terpapar dan terdistribusi melalui proses indoktrinasi yang dilakukan secara langsung, atau melalui pendekatan dan metodologi konvensional lainnya. Menurut dia, perkembangan teknologi informasi memungkinkan paparan paham radikalisme dapat dijangkau dan diakses hanya dalam batas sentuhan jari di layar smartphone.
"Inilah yang memungkinkan, misalnya, remaja wanita di Inggris atau Australia, dapat dengan mudahnya bergabung dengan ISIS di Irak. Era disrupsi yang menghantarkan fenomena 'the internet of things' menjadikan ancaman paparan radikalisme terasa begitu dekat, di mana jarak dan waktu tidak lagi menjadi hambatan dan kendala," jelas Bamsoet.
Fakta dan hasil penelitian serta survei sejumlah lembaga, kata Bamsoet, menunjukkan radikalisme di Indonesia masih mengkhawatirkan. Berdasarkan Survei Nasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tercatat sepanjang 2020, terjadi penurunan angka penyebaran paham radikalisme secara signifikan. Dimana pada 2017 berada di kisaran 50%, turun menjadi 14% lebih pada 2020. Namun dari aspek 'kualitas' atau tingkat 'kenekatan', manifestasi dari paham radikalisme justru lebih mengkhawatirkan. Misalnya ditandai dengan adanya aksi bom bunuh diri yang melibatkan, atau mengorbankan, wanita dan anak-anak.
"Survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah 2018 mengindikasikan 63,07% guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain. Selanjutnya tahun 2019, penelitian kualitatif SETARA Institute di 10 kampus perguruan tinggi negeri, menemukan terdapat wacana dan gerakan keagamaan di perguruan tinggi negeri yang berpotensi mengancam negara Pancasila," beber Bamsoet.
Dia menambahkan, dari survei Wahid Institute tahun 2020, diketahui sikap intoleran dan paham radikalisme mempunyai kecenderungan meningkat dari 46% menjadi 54%. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila mensinyalir ASN yang pro radikalisme, atau bersikap anti terhadap Pancasila jumlahnya lebih dari 10%. Bahkan TNI dan Polri juga menjadi lahan untuk mentransmisikan paham radikalisme, di mana tidak kurang dari 4 persen anggota terindikasi terpapar dengan paham radikalisme.
"Karenanya, MPR RI gencar melaksanakan Vaksinasi Ideologi berupa Sosialisasi Empat Pilar MPR RI ke berbagai kalangan masyarakat guna memperkuat imun ideologi setiap anak bangsa dalam menghadapi berbagai gempuran ideologi yang tidak sejalan dengan jati diri bangsa Indonesia. Mengingat secara geografis, kita adalah negara kepulauan yang terpisah oleh lautan. Secara sosio-kultural, bangsa kita terdiri dari beragam suku, budaya, adat istiadat, agama dan kepercayaan. Ditambah lagi dengan potensi kekayaan sumber daya alam kita yang berlimpah, dan posisi geografis kita yang strategis dalam lalu lintas kemairitman, telah menempatkan kita sebagai magnet bagi berbagai kepentingan global," pungkas Bamsoet.
(cip)