Fahri Hamzah: Jika DPR Sepi, Kami Cemas Ada Persekongkolan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mengatakan, indikator sukses dinamika negara, adalah apabila rakyat merasa ada keributan di ruang sidang parlemen atau DPR. Sehingga rakyat tak harus mengisi ruang sidang 'Parlemen Jalanan' atau ribut sesama rakyat.
Baca Juga: Fahri Hamzah
Baca juga: Cetak Sejarah, KA KAMMI Gunakan E-voting untuk Pilih Ketum Pengganti Fahri Hamzah
Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia ino juga mempertanyakan, mengapa rakyat yang sudah nyoblos dan mengorbankan biaya pemilihan umum (Pemilu) triliunan rupiah, lalu menggaji wakilnya yang kini duduk nyaman di DPR, masih harus kelimpungan bahkan menjadi korban.
"Mengapa rakyat tidak istirahat urus politik dan fokus cari kehidupan? Karena yang diberi amanah lalai dan sibuk pencitraan. Rakyat, harusnya sudah berhenti berpolitik dan gesek-gesekan setelah pemilu dan nyoblos. Tetapi sayangnya gesekan-gesekan tersebut masih terus terjadi sampai rakyat tidak bisa hidup tenang," ungkapnya.
Soal para wakil rakyat yang lalai dan sibuk pencitraan, menurut Fahri, karena sistem perwakilan absen, kongresional yang tak dimengerti oleh parpol padahal sudah duduk di DPR, dapat fasilitas, gaji dan sekaligus imunitas atau kekebalan. Semestinya pasca pemilu itu yang harusnya ribut itu pemerintah terpilih/eksekutif dengan DPR sebagai wakil rakyat/legislatif atau mereka yang disebut oposisi, bukan rakyat.
"Kita rakyat tidak harus bertengkar pasca pencoblosan. Politik seharusnya kembali normal setelah masa kampanye. Biar mereka, terutama yang menyebut diri partai oposisi yang bertengkar melawan eksekutif dan pendukungnya, bukan kita. Mereka enak berantem dapat duit, lah kita?," sindirnya.
Politikus asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini menjelaskan, sistem demokrasi bekerja, membagi fase-fase jadwal pemilu dan masa tenang, dan anggota Dewan yang telah dipercaya mewakili rakyat lewat pemilu, digaji untuk bekerja dalam sistem itu.
"Disuruh berantem ya kalian berantem dong. Pakai semua fasilitas yang telah kami berikan. Jangan malah ajak kami keroyokan. Mana kerja kalian? Kami rakyat sebenarnya pengen nonton saja sesekali, malam-malam atau pagi-pagi, sebuah panggung politik yang seru dan mencerdaskan, juga menyehatkan kehidupan dan perekonomian," ucapnya.
Tapi sayangnya, lanjut mantan Anggota Komisi III DPR itu, semua diam, menyebut diri oposisi tapi 'ngomel' tidak karuan. Akhirnya rakyat dipaksa ikut pertengkaran. Padahal dalam sejarah demokrasi, semakin seru panggung negara dan dinamika di antara cabang-cabang kekuasaan, rakyat hidupnya tambah senang.
"Lihat Taiwan, atau negara-negara tetangga yang mapan, Parlemen nya tawuran tapi rakyat makmur nggak ketulungan. Lah kita malah rakyat tawuran di pinggir jalan. Sudahlah, masa ginian aja enggak paham. Dan jangan sekali-kali nyalahin kami yang kasi jabatan dan gaji kalian. Kami kerja di luar sistem, jangan bilang kami ikutan, kami hanya rakyat penonton panggung kalian, tidak bisa apa-apa kecuali teriakan di pinggir gelanggang. Sekian!," tegas Fahri.
Lihat Juga: Bung Tomo dan Gebrakan Politik Usia 17 Tahun di Parindra Antarkan Tokoh Muda ke Parlemen Belanda
Baca Juga: Fahri Hamzah
Baca juga: Cetak Sejarah, KA KAMMI Gunakan E-voting untuk Pilih Ketum Pengganti Fahri Hamzah
Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia ino juga mempertanyakan, mengapa rakyat yang sudah nyoblos dan mengorbankan biaya pemilihan umum (Pemilu) triliunan rupiah, lalu menggaji wakilnya yang kini duduk nyaman di DPR, masih harus kelimpungan bahkan menjadi korban.
"Mengapa rakyat tidak istirahat urus politik dan fokus cari kehidupan? Karena yang diberi amanah lalai dan sibuk pencitraan. Rakyat, harusnya sudah berhenti berpolitik dan gesek-gesekan setelah pemilu dan nyoblos. Tetapi sayangnya gesekan-gesekan tersebut masih terus terjadi sampai rakyat tidak bisa hidup tenang," ungkapnya.
Soal para wakil rakyat yang lalai dan sibuk pencitraan, menurut Fahri, karena sistem perwakilan absen, kongresional yang tak dimengerti oleh parpol padahal sudah duduk di DPR, dapat fasilitas, gaji dan sekaligus imunitas atau kekebalan. Semestinya pasca pemilu itu yang harusnya ribut itu pemerintah terpilih/eksekutif dengan DPR sebagai wakil rakyat/legislatif atau mereka yang disebut oposisi, bukan rakyat.
"Kita rakyat tidak harus bertengkar pasca pencoblosan. Politik seharusnya kembali normal setelah masa kampanye. Biar mereka, terutama yang menyebut diri partai oposisi yang bertengkar melawan eksekutif dan pendukungnya, bukan kita. Mereka enak berantem dapat duit, lah kita?," sindirnya.
Politikus asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini menjelaskan, sistem demokrasi bekerja, membagi fase-fase jadwal pemilu dan masa tenang, dan anggota Dewan yang telah dipercaya mewakili rakyat lewat pemilu, digaji untuk bekerja dalam sistem itu.
"Disuruh berantem ya kalian berantem dong. Pakai semua fasilitas yang telah kami berikan. Jangan malah ajak kami keroyokan. Mana kerja kalian? Kami rakyat sebenarnya pengen nonton saja sesekali, malam-malam atau pagi-pagi, sebuah panggung politik yang seru dan mencerdaskan, juga menyehatkan kehidupan dan perekonomian," ucapnya.
Tapi sayangnya, lanjut mantan Anggota Komisi III DPR itu, semua diam, menyebut diri oposisi tapi 'ngomel' tidak karuan. Akhirnya rakyat dipaksa ikut pertengkaran. Padahal dalam sejarah demokrasi, semakin seru panggung negara dan dinamika di antara cabang-cabang kekuasaan, rakyat hidupnya tambah senang.
"Lihat Taiwan, atau negara-negara tetangga yang mapan, Parlemen nya tawuran tapi rakyat makmur nggak ketulungan. Lah kita malah rakyat tawuran di pinggir jalan. Sudahlah, masa ginian aja enggak paham. Dan jangan sekali-kali nyalahin kami yang kasi jabatan dan gaji kalian. Kami kerja di luar sistem, jangan bilang kami ikutan, kami hanya rakyat penonton panggung kalian, tidak bisa apa-apa kecuali teriakan di pinggir gelanggang. Sekian!," tegas Fahri.
Lihat Juga: Bung Tomo dan Gebrakan Politik Usia 17 Tahun di Parindra Antarkan Tokoh Muda ke Parlemen Belanda
(maf)