Perang Diponegoro: 200.000 Jiwa Penduduk Jawa Tewas Lawan Penjajah
loading...
A
A
A
Pangeran Diponegoro menempati Goa Kakung, goa sebelah barat yang juga menjadi tempat pertapaannya. Sementara Raden Ayu Retnaningsih beserta pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur. Raden Ayu Retnaningsih adalah selir yang paling setia menemani Pangeran Diponegoro setelah dua istrinya wafat.
Penyerangan di Tegalrejo menjadi awal perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang. Semangatnya yaitu sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati atau “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”.
Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Diponegoro juga bahkan berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, walaupun hal ini menjadi kontroversi tersendiri.
Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan juga ikut membantu perjuangan Diponegoro. Pangeran Diponegoro dalam perang ini juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit pada tahun 1827. Kemudian, Kyai Mojo ditangkap pada tahun 1829. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda.
Jenderal De Kock akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830 berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Pangeran Diponegoro di sana menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.
Sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa tewas dalam Perang Diponegoro ini. Sedangkan di pihak Belanda, korban tewas berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang tersebut menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.
Pasca Perang Diponegoro, semua raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda pada tahun 1832. Terkecuali, bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III yang justru hendak menyerang seluruh kantor Belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di Jawa Tengah seperti Wonogiri, Karanganyar yang banyak dihuni oleh Warok.
Penyerangan di Tegalrejo menjadi awal perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang. Semangatnya yaitu sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati atau “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”.
Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Diponegoro juga bahkan berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, walaupun hal ini menjadi kontroversi tersendiri.
Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan juga ikut membantu perjuangan Diponegoro. Pangeran Diponegoro dalam perang ini juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit pada tahun 1827. Kemudian, Kyai Mojo ditangkap pada tahun 1829. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda.
Jenderal De Kock akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830 berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Pangeran Diponegoro di sana menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.
Sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa tewas dalam Perang Diponegoro ini. Sedangkan di pihak Belanda, korban tewas berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang tersebut menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.
Pasca Perang Diponegoro, semua raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda pada tahun 1832. Terkecuali, bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III yang justru hendak menyerang seluruh kantor Belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di Jawa Tengah seperti Wonogiri, Karanganyar yang banyak dihuni oleh Warok.
(maf)