Robert Walter Monginsidi, Namanya Bagaikan Hantu yang Ditakuti Pasukan Belanda

Rabu, 25 Agustus 2021 - 05:32 WIB
loading...
A A A
Robert adalah pemeluk agama Kristen, sejak kecil ia sudah mendapatkan bekal dan bimbingan iman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Pengaruh iman dan agama itu terlihat betul pada Wolter yang baru berusia 23 tahun. Ia semakin tenang dan bertawakal, sama sekali tidak terlihat rasa takut dan kegoncangan jiwanya. Ia banyak membaca dan menulis surat pada masa itu. Robert bersikap pasrah, keikhlasannya terlukis dalam kata-katanya “Aku telah relakan diriku untuk menjadi korban dengan keinsyafan untuk memenuhi kewajiban dengan masyarakat ini dan yang akan datang”.

Tentu saja ia mengalami pemeriksaan Polisi Militer Belanda dengan caranya yang keras dan kejam, namun Wolter tak gentar oleh ancama dan siksaan. Tekadnya telah bulat, bahwa ia berani menanggung segala akibat perjuangannya, “Dan saya tunduk pada bathin saya”, katanya.

Pada tanggal 26 Maret 1949, Robert diajukan ke muka pengadilan Kolonial Belanda. Pada akhirnya ia dijatuhi hukuman mati, tetapi Robert tetap tabah dan berjiwa kstaria, ia berkata “Aku tidak mengandung perasaan tidak baik terhadap siapapun, juga terhadap mereka yang menjatuhkan hukuman yang paling berat ini kepadaku, karena kupikir mereka tidak mengetahui apa yang mereka kerjakan”. Robert benar-benar bersikap ikhlas pada nasib dan perjuangannya.

Dia meninggalkan ucapan “Apa yang bisa saya tinggalkan hanya roh ku saja yaitu roh setia hingga terakhir pada Tanah Air dan tidak mundur sekalipun, menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang tetap. Terbatas dari segala pikiran ini, junjunganku senantiasa Tuhan Yang Maha Kuasa, dan dengan kepercayaan yang disebut belakangan ini, sangguplah saya tahan segala-galanya, teguh iman di dalam kesukaran, tenang ketika keadaan sederhana dan tidak melupakan kenalan-kenalan jika berada dalam kemajuan”.

Robert telah diputuskan oleh kolonial Belanda untuk dijatuhi hukuman mati, berbagai pihak menganjurkan agar ia meminta pengampunan atau grasi kepada pemerintah Belanda bahkan secara diam-diam ayahnya sendiri, terdorong oleh rasa kasih sayang kepada puteranya, telah memintakan grasi. Tetapi Robert sendiri telah menolak untuk meminta grasi itu. Ia sudah benar-benar merelakan akibat dari perjuangannya itu.

Ternyata Pemerintah Belanda memang menolak grasi tersebut. Robert sendiri setelah mendengar grasi itu ditolak tetap tenang. Ia berkata “Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti ada kemenangan batin, dan dihukum apapun tidak ada membelenggu jiwa sebab kegembiraan di dalam keyakinan sendiri memang adalah luas”. Akhirnya Robert Walter Monginsidi ditembak mati di hadapan regu tembak Belanda pada tanggl 5 September 1949.

Jasadnya kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar pada 10 November 1950. Pada 6 November 1973, Robert dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana) pada 10 November 1973.

Ayahnya, Petrus yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut. Untuk mengenang jasanya, Bandara Wolter Monginsidi (kini Bandar Udara Haluoleo) di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan sebagai penghargaan kepada Mongisidi. Sejumlah pernghargaan lainnya seperti kapal TNI Angkatan Laut, KRI Wolter Mongisidi dan Rumah Sakit TNI Angkatan Darat Robert Wolter Mongisidi di Manado.
(kri)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0976 seconds (0.1#10.140)