Robert Walter Monginsidi, Namanya Bagaikan Hantu yang Ditakuti Pasukan Belanda

Rabu, 25 Agustus 2021 - 05:32 WIB
loading...
Robert Walter Monginsidi, Namanya Bagaikan Hantu yang Ditakuti Pasukan Belanda
MERDEKA ATAU MATI. Kalimat terakhir memekik keluar dari mulut Robert Walter Monginsidi sebelum menutup ajal. Sampai akhirnya hayatnya tetap setia pada Indonesia. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - “MERDEKA ATAU MATI”. Kalimat terakhir memekik keluar dari mulut Robert Walter Monginsidi sebelum menutup ajal. Dia adalah seorang pahlawan bangsa, ditembak tanpa ditutup matanya dengan memegang kitab injil di tangan kirinya dan tangan kanannya mengepalkan tinju. Sampai akhirnya hayatnya tetap setia pada Indonesia.

Bahkan lima menit sebelum kematiannya, Robert Wolter Monginsidi masih dengan tenang menulis kalimat penghabisan sebagai pesan kepada generasi penerus bangsa “SETIA HINGGA TERAKHIR DALAM KEYAKINAN”. Ditandatangani 5 September 1949, persis di hari ajal menjemputnya di hadapan regu tembak pada dini hari di suatu tempat di daerah Pacinang, wilayah Talo Kecamatan Panakukang, delapan kilometer jauhnya dari Kota Ujung Pandang.

Disadur dari Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI), Robert Wolter Monginsidi dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1925 di desa Malalayang, tidak jauh dari Kota Manado. Wolter Monginsidi adalah putra ketiga dari Petrus Monginsidi. Ibunya bernama Lina Suawa, dalam lingkungan keluarga dan teman-teman akrabnya, ia biasa dipanggil Bote.

Keluarga Petrus Monginsidi orang tua Robert, bukanlah keluarga yang kaya. Ayah Robert hanyalah seorang petani kelapa, tetapi bercita-cita luhur. Anak-anaknya disekolahkan sejauh dan setinggi mungkin. Robert mula-mula bersekolah di Hollands Inslanche School (HIS – setingkat dengan SD). Sejak kecil ia adalah anak yang gagah, tampan, keras kemauan dan cerdas. Sesudah tamat dari HIS ia melanjutkan ke MULO, yaitu SMP pada jaman Hindia Belanda.

Pada jaman kedudukan Jepang, mula-mula Robert belajar bahasa Jepang (Nihonggo Gakko). Ia memang berbakat pada bahasa asing dan karena itu lulus dengan memuaskan. Ia lalu diangkat sebagai guru pada kursus bahasa Jepang padahal usianya masih muda. Mula-mula ia mengajar di Liwutung (Minahasa), lalu dipindahkan ke Luwuk (Sulawesi Tengah).

Dia gemar membaca dan pandai berbahasa Belanda, Inggris dan Jepang tetapi ia masih ingin belajar, karena itu ia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru dan memasuki Sekolah Menengah Pertama di Ujung Pandang.

Ketika pasukan Jepang menyerah pada perang Asia Timur Raya dan Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, Robert Walter Monginsidi sedang berada di Rantepao, Tana Toraja. Ia segera menuju ke Ujung Pandang dan bergabung dengan para pemuda pejuang. Ia bertekad untuk membela Negara Republik Indonesia, dan melawan pasukan penjajah yang datang untuk menguasai Tanah Air. Robert terkenal seorang pemuda yang bersemangat dan cinta Tanah Air dan bangsa.

Bersama-sama dengan para pemuda pejuang di Sulawesi Selatan, Robert Walter Monginsidi menyusun rencana perlawanan dan pertahanan, demikian pula kawan-kawan sekolah di SMP Nasional Ujung Pandang giat membantu perjuangan. Mereka menempelkan plakat-plakat perjuangan di seluruh kota, bahkan di depan tangsi pasukan NICA/Belanda.

Dia bersama dengan Maulwi Saelan dan kawan-kawannya memimpin Barisan Angkatan Muda Pelajar yang bertindak dengan keberanian di tengah-tengah pasukan Belanda. Pada tanggal 17 Oktober 1945, seluruh kekuatan pemuda pejuang di Ujung Pandang dipusatkan untuk mengadakan serangan umum.

Robert juga ikut mengambil peranan penting. Para pemuda pejuang akan merebut tempat-tempat strategis, bangunan-bangunan vital dan gedung-gedung penting yang telah diduduki tentara Belanda. Mereka akan menyerbu Stasiun Pemancar Radio Makasar, Tangsi Belanda di Mariso, Stasiun Radio di Mattoanging, Stasiun Radio di Mara Dekaya, Tangsi dan Kantor Polisi NICA.

Robert dan kawan-kawannya para pelajar SMP mendapat tugas menyerbu Hotel Empresdadn menagkapi para perwira Belanda, mereka juga bertugas membuat barikade di jalan-jalan. Tepat jam 05.00 pagi, tanggal 20 Oktober 1945 mulai terdengar tembak-menembak di jalan Gowa. Pagi itu sudah terjadi pertempuran di seluruh penjuru Kota Ujung Pandang.

Stasiun radio di Mattoanging dan Maradekaya telah dapat dikuasai para pemuda. Mula-mula pasukan Australia yang bersenjata lengkap itu bersikap menonton saja. Mereka tidak berbuat apa-apa. Tetapi pasukan Belanda berhasil membujuk dan mempengaruhi pasukan Australia. Akhirnya pasukan Australia ikut campur melawan serbuan para pejuang.

Mereka menyerbu markas pejuang di Jonggaya pada siang hari jam 11.00. Pasukan Australia memmiliki senjata lengkap dan modern, sedangkan pemuda pejuang bersenjata sederhana dan seadanya. Tentu saja sungguh berat melawan pasukan Australia itu. Meskipun demikian para pemuda melawan dengan semangat tinggi.

Dalam pertempuran itu banyak pemuda pejuang yang gugur dan 46 pemuda ditangkap tentara Sekutu (Australia) termasuk Robert. Beruntunglah Robert mahir berbahasa asing dan dengan kepandaiannya berdiplomasi, Robert dapat meyakinkan para perwira Australia itu bahwa mereka itu adalah pemuda pejuang yang sedang menegakkan kemerdekaan bangsa dan Tanah Airnya, akhirnya mereka yang ditangkap itu dibebaskan.

Sementara itu pasukan NICA Belanda terus melancarkan pengejaran terhadap para pejuang, terpaksalah para pejuang mengundurkan diri dari kota dan membentuk markas-markas di daerah-daerah seperti Plongbangkeng, Jeneponto, Bulukumba, Bantaeng, Palopo, Kolaka, Majene, Enrekang dan Pare-Pare. Dari markas-markas daerah itu, seringkali pemuda memasuki kota mengadakan aksi penyerangan.

Mereka menculik dan membunuh mata-mata kaki tangan Belanda, sebaliknya pasukan Belanda sering pula melancarkan serangan ke daerah-daerah untuk menghajar dan menghancurkan kekuatan pemuda. Di antara para pejuang itu, maka para pelajar SMP Nasional yang menduduki tempat dan memperoleh nama yang baru. Mereka seringkali mengadakan gerakan yang merugikan pasukan Belanda terutama sekali pemuda Robert. Ia sangat berani dan bergerak sangat lincah, karena itu menjadi sasaran pasukan Belanda.

Robert menggabungkan diri pada pasukan Ronggeng Daeng Rono yang bermarkas di Plongbangkeng. Ia bertugas sebagai penyidik, karena mahir berbahasa asing dan mempunyai wajah yang mirip orang Indo-Belanda. Robert sering kali memasuki kota Ujung Pandang seorang diri, ia menyamar sebagai anggota tentara Belanda, di tengah jalan ia menghentikan Jeep tentara Belanda lalu ikut menumpang. Di tengah jalan Robert segera menodongkan pistolnya ke arah pengemudi yang dibuatnya tidak berdaya, senjatanya dirampas dan demikian pula mobilnya.

Pada hari yang lain ia memasuki markas Polisi Militer Belanda dan menempelkan plakat berisi ancaman yang ditandatanganinya sendiri. Dapatlah dibayangkan betapa terkejutnya tentara Belanda itu. Nama Robert bagaikan hantu yang sangat ditakuti oleh pasukan Belanda.

Berkali-kali ia melakukan aksi dan selalu berhasil. Robert adalah seorang pejuang yang selalu bersungguh-sungguh, ia pun seorang pemimpin yang tangguh. Pada tanggal 17 Juli 1946, Robert bersama-sama dengan para pemuda pejuang lainnya mendirikan organisasi perjuangan bernama Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), terdiri dari 19 satuan perjuangan.

Ranggong Daeng Romo menjadi panglima dari barisan LAPRIS ini, sedangkan Robert diserahi tugas Sekretaris Jenderal yang langsung memimpin operasi. Adapun program perjuangan LAPRIS ialah membasmi dan membersihkan mata-mata serta kaki tangan NICA (Belanda), menggangu lalu lintas dengan menghadang mobil tentara dan polisi Belanda, menghalangi kendaraan yang mengangkut barang dan bahan untuk kepentingan Belanda, membakar dan memusnahkan rumah serta bangunan vital milik pemerintah dan tentara Belanda, dan merampas senjata musuh.

Dia tidak tinggal di markas saja, tetapi ia langsung memberi contoh di lapangan, ia bergerak di sekitar kota Makasar (Ujung Pandang), Woga, Jeneponto, Malino dan Camba. Robert sendiri langsung memimpin pasukan Harimau Indonesia (HI). Pada tanggal 3 November 1946, dalam suatu pertempuran di Kota Barombong, Robert terluka dan terpaksa mengundurkan diri untuk sementara.

Sesudah sembuh, ia kembali melakukan aksi-aksi penyerangan lagi. Pada tanggal 21 Januari 1947, di Kassi-Kassi, terjadi pertempuran, disini gugur Emmi Saelan seorang pejuang putri yang sempat menewaskan delapan orang tentara Belanda dengan granat yang diledakkannya, tetapi Robert dapat meloloskan diri dari kepungan Belanda yang ketat itu.

Belanda makin gentar menghadapi Robert. Mereka memberi pengumuman, siapa yang dapat menangkap Robert hidup atau mati akan diberikan hadiah tetapi dia tidak pernah berhasil ditangkap.

Pasukan Belanda makin hari makin memperkuat penekanannya terhadap para pemuka pejuang. Banyak di antara mereka yang tertangkap, gugur atau meninggalkan Sulawesi Selatan menuju Pulau Jawa. Jumlah pemuda pejuang makin tipis, tetapi Robert tetap berdiri dengan teguh, “Saya berani berjuang untuk nusa dan bangsa, karena itu pula saya harus berani menanggung akibatnya”. Ia tetapi kuat dengan pendiriannya bahkan ia sering berjuang seorang diri mengacau pasukan Belanda yang terlatih dengan modern itu.

Pasukan Belanda makin mengganas untuk menekan perlawanan dan perjuangan rakyat Sulawesi Selatan, Belanda melakukan pembunuhan besar-besaran yang dipimpin oleh Algojo yang terkenal bengisnya, yaitu Kapten Raymond Paul Pierre Westerling. Belanda mengancam, barang siapa yang menyembunyikan, membantu dan melindungi kaum pejuang yang bergerilya di daerah maka mereka kan dibunuh.

Puncak tindakan sewenang-wenang Westerling telah terjadi pada bulan Desember 1946. Mereka melakukan pembersihan dengan cara besar-besaran dan tanpa peri kemanusiaan sehingga puluhan ribu rakyat tua-muda, laki, perempuan yang terbunuh secara massal, tidak kurang dari 40.000 jiwa telah menjadi korban keganasan pasukan Westerling selama waktu itu.

Selama itu Robert selalu dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda. Namun pada tanggal 28 Februari 1947 merupakan hari nahas baginya. Pada hari itu Robert tertangkap oleh pasukan Belanda dan kemudian dimasukkan ke penjara di Hoogepod Ujung Pandang. Di penjara itu Belanda membujuknya agar melepaskan perjuangannya dan kalau bersedia akan diberi hadiah-hadiah dan kedudukan yang menggiurkan. Tetapi Robert tetap menolak, ia berkata “Tetap setia pada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Berani berjuang untuk kepentingan nusa dan bangsa dan berani pula menanggung segala akibatnya”.

Sementara itu kawan-kawan Robert di luar berjuang keras untuk membebaskannya dari penjara. Mereka menyelundupkan 2 buah granat tangan yang dimasukkan ke dalam makanan kiriman. Bersama dengan Abdullah, Lahade, Yoseph dan Lewa Daeng Matari, Robert dengan bersenjatakan 2 granat berhasil lolos dari penjara dengan melalui atap dapur pada tanggal 19 Oktober 1946. Alangkah marahnya pasukan Belanda melihat sel-sel penjara tempat Robert dan kawan-kawannya itu sudah kosong, mereka lalu mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencari Robert.

Rupanya sudah ketentuan Tuhan Yang Maha Esa, hanya sembilan hari Robert dapat menghirup udara kemerdekaan. Pada jam 05.00 pagi hari tanggal 26 Oktober 1948 selagi Wolter berada di Klapperkan Lorong 22 A Nomor 3, Kampung Maricayya, Ujung Pandang, ia disergap oleh pasukan Belanda, karena ada yang mengkhianatinya.

Robert dimasukkan lagi dalam penjara Polisi Militer Belanda dan dijaga dengan sangat ketat, Belanda tidak ingin Harimau Indonesia ini lepas untuk kedua kalinya dari penjara. Mereka menyiksa Wolter dengan berbagai cara, tetapi tetap teguh pada pendiriannya. Ia adalah seorang pemimpin sejati. Semua tindakan kawan-kawannya diakui sebagai tanggung jawabnya. Kemudian Robert dipindahkan ke penjara KIS (Kiskampement). Sungguh luar biasa, walaupun Robert mengetahui apa yang akan terjadi dengan dirinya, dan hukuman apa yang akan diterimanya, namun ia tetap tabah dan tampak ketenangan jiwanya.

Robert adalah pemeluk agama Kristen, sejak kecil ia sudah mendapatkan bekal dan bimbingan iman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Pengaruh iman dan agama itu terlihat betul pada Wolter yang baru berusia 23 tahun. Ia semakin tenang dan bertawakal, sama sekali tidak terlihat rasa takut dan kegoncangan jiwanya. Ia banyak membaca dan menulis surat pada masa itu. Robert bersikap pasrah, keikhlasannya terlukis dalam kata-katanya “Aku telah relakan diriku untuk menjadi korban dengan keinsyafan untuk memenuhi kewajiban dengan masyarakat ini dan yang akan datang”.

Tentu saja ia mengalami pemeriksaan Polisi Militer Belanda dengan caranya yang keras dan kejam, namun Wolter tak gentar oleh ancama dan siksaan. Tekadnya telah bulat, bahwa ia berani menanggung segala akibat perjuangannya, “Dan saya tunduk pada bathin saya”, katanya.

Pada tanggal 26 Maret 1949, Robert diajukan ke muka pengadilan Kolonial Belanda. Pada akhirnya ia dijatuhi hukuman mati, tetapi Robert tetap tabah dan berjiwa kstaria, ia berkata “Aku tidak mengandung perasaan tidak baik terhadap siapapun, juga terhadap mereka yang menjatuhkan hukuman yang paling berat ini kepadaku, karena kupikir mereka tidak mengetahui apa yang mereka kerjakan”. Robert benar-benar bersikap ikhlas pada nasib dan perjuangannya.

Dia meninggalkan ucapan “Apa yang bisa saya tinggalkan hanya roh ku saja yaitu roh setia hingga terakhir pada Tanah Air dan tidak mundur sekalipun, menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang tetap. Terbatas dari segala pikiran ini, junjunganku senantiasa Tuhan Yang Maha Kuasa, dan dengan kepercayaan yang disebut belakangan ini, sangguplah saya tahan segala-galanya, teguh iman di dalam kesukaran, tenang ketika keadaan sederhana dan tidak melupakan kenalan-kenalan jika berada dalam kemajuan”.

Robert telah diputuskan oleh kolonial Belanda untuk dijatuhi hukuman mati, berbagai pihak menganjurkan agar ia meminta pengampunan atau grasi kepada pemerintah Belanda bahkan secara diam-diam ayahnya sendiri, terdorong oleh rasa kasih sayang kepada puteranya, telah memintakan grasi. Tetapi Robert sendiri telah menolak untuk meminta grasi itu. Ia sudah benar-benar merelakan akibat dari perjuangannya itu.

Ternyata Pemerintah Belanda memang menolak grasi tersebut. Robert sendiri setelah mendengar grasi itu ditolak tetap tenang. Ia berkata “Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti ada kemenangan batin, dan dihukum apapun tidak ada membelenggu jiwa sebab kegembiraan di dalam keyakinan sendiri memang adalah luas”. Akhirnya Robert Walter Monginsidi ditembak mati di hadapan regu tembak Belanda pada tanggl 5 September 1949.

Jasadnya kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar pada 10 November 1950. Pada 6 November 1973, Robert dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana) pada 10 November 1973.

Ayahnya, Petrus yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut. Untuk mengenang jasanya, Bandara Wolter Monginsidi (kini Bandar Udara Haluoleo) di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan sebagai penghargaan kepada Mongisidi. Sejumlah pernghargaan lainnya seperti kapal TNI Angkatan Laut, KRI Wolter Mongisidi dan Rumah Sakit TNI Angkatan Darat Robert Wolter Mongisidi di Manado.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1587 seconds (0.1#10.140)