Mahfud MD: Pelengseran Gus Dur dan Pemecatan Kapolri Bimantoro Pelanggaran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam acara haul ke-12 Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid , Menteri Koordintor Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD bicara soal lengsernya pria yang akrab disapa Gus Dur saat memimpin bangsa Indonesia kala itu.
Sebagai orang yang lama berkecimpung di dunia hukum, Mahfud menilai bahwa proses Gus Dur dilengserkan sebenarnya tidak sah secara hukum. "Penjatuhan Gus Dur itu sebenarnya adalah dari sudut hukum tata negara tidak sah," kata Mahfud dalam acara haul ke-12 yang digelar Minggu (22/8/2021) malam.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyinggung ketetapan MPR Nomor 3 Tahun 1978 yang menjadi dasar hukum untuk melengserkan kepemimpinan Gus Dur. Dia menjelaskan, dalam aturan itu menjelaskan bahwa Presiden bisa diberhentikan setelah dikeluarkannya momerendum ketiga melalui sidang istimewa MPR.
"Apabila Presiden benar-benar melanggar haluan negara diberi momerendum I agar memperbaiki, kalau masih benar-benar melanggar haluan negara diberi momerendum II agar memberi kebijakannya. Kalau sudah momerendum II masih melanggar lagi, MPR melakukan sidang istimewa untuk memberhentikan," ujar dia menjelaskan isi aturan tersebut.
Sayangnya, Mahfud melihat proses penjatuhan Gus Dur kala itu didasari kasus yang berbeda untuk memberikan momerendum. Dalam kaitan ini, kata dia, momerendum I dan II Gus Dur disoroti perihal kasus Bulog dan Bantuan Yanatera dari Brunei.
Menurutnya, dalam kasus tersebut secara jelas tak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Gus Dur. Bahkan, kata dia, orang yang menggunakan namanya sudah dihukum melalui pengadilan. "Mau diperbaiki apa? Sudah selesai, orangnya sudah dihukum yang namanya Aswando itu. Masuk momerendum II, enggak ada sidang istimewa untuk momerendum I dan II ini," tutur dia.
Alhasil, Gus Dur pun harus masuk ke sidang istimewa setelah diberikan momerendum III. Sayangnya, momerendum ini diberikan lantaran kasus yang berbeda. Dalam hal ini, pemecatan Kapolri Bimantoro dan menggantinya dengan Khairudin Isman.
Baca juga: Ikuti Tradisi Pesantren, Gus Muhaimin Peringati Haul Gus Dur di Bulan Muharam
Mahfud mengakui apa yang diperbuat Gus Dur itu masuk dalam jenis pelanggaran. Sebab, tindakan Gus Dur tak melewati persetujuan di DPR.
"Itu pelanggaran memang, tapi seharusnya ini kasus baru dan harus dimulai dari momerendum baru. Tapi langsung pecat hari Jumat, hari Minggu pak Amien Rais bilang besok sidang karena pak Gus Dur telah melanggar haluan negara," katanya.
Kendati menyebut proses penjatuhan Gus Dur ini sebenarnya tidak sah secara hukum, ia menyadari jika hukum merupakan bagian daripada produk politik. Jikalau politik menghendaki, maka hukum tersebut tidak mendukung. Menurutnya, hal ini masih terjadi sampai dengan sekarang.
"Kalau hukum mengatur ini, tapi konfigurasi politik menghendaki lain, ya hukumnya yang diubah," pungkasnya.
Sebagai orang yang lama berkecimpung di dunia hukum, Mahfud menilai bahwa proses Gus Dur dilengserkan sebenarnya tidak sah secara hukum. "Penjatuhan Gus Dur itu sebenarnya adalah dari sudut hukum tata negara tidak sah," kata Mahfud dalam acara haul ke-12 yang digelar Minggu (22/8/2021) malam.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyinggung ketetapan MPR Nomor 3 Tahun 1978 yang menjadi dasar hukum untuk melengserkan kepemimpinan Gus Dur. Dia menjelaskan, dalam aturan itu menjelaskan bahwa Presiden bisa diberhentikan setelah dikeluarkannya momerendum ketiga melalui sidang istimewa MPR.
"Apabila Presiden benar-benar melanggar haluan negara diberi momerendum I agar memperbaiki, kalau masih benar-benar melanggar haluan negara diberi momerendum II agar memberi kebijakannya. Kalau sudah momerendum II masih melanggar lagi, MPR melakukan sidang istimewa untuk memberhentikan," ujar dia menjelaskan isi aturan tersebut.
Sayangnya, Mahfud melihat proses penjatuhan Gus Dur kala itu didasari kasus yang berbeda untuk memberikan momerendum. Dalam kaitan ini, kata dia, momerendum I dan II Gus Dur disoroti perihal kasus Bulog dan Bantuan Yanatera dari Brunei.
Menurutnya, dalam kasus tersebut secara jelas tak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Gus Dur. Bahkan, kata dia, orang yang menggunakan namanya sudah dihukum melalui pengadilan. "Mau diperbaiki apa? Sudah selesai, orangnya sudah dihukum yang namanya Aswando itu. Masuk momerendum II, enggak ada sidang istimewa untuk momerendum I dan II ini," tutur dia.
Alhasil, Gus Dur pun harus masuk ke sidang istimewa setelah diberikan momerendum III. Sayangnya, momerendum ini diberikan lantaran kasus yang berbeda. Dalam hal ini, pemecatan Kapolri Bimantoro dan menggantinya dengan Khairudin Isman.
Baca juga: Ikuti Tradisi Pesantren, Gus Muhaimin Peringati Haul Gus Dur di Bulan Muharam
Mahfud mengakui apa yang diperbuat Gus Dur itu masuk dalam jenis pelanggaran. Sebab, tindakan Gus Dur tak melewati persetujuan di DPR.
"Itu pelanggaran memang, tapi seharusnya ini kasus baru dan harus dimulai dari momerendum baru. Tapi langsung pecat hari Jumat, hari Minggu pak Amien Rais bilang besok sidang karena pak Gus Dur telah melanggar haluan negara," katanya.
Kendati menyebut proses penjatuhan Gus Dur ini sebenarnya tidak sah secara hukum, ia menyadari jika hukum merupakan bagian daripada produk politik. Jikalau politik menghendaki, maka hukum tersebut tidak mendukung. Menurutnya, hal ini masih terjadi sampai dengan sekarang.
"Kalau hukum mengatur ini, tapi konfigurasi politik menghendaki lain, ya hukumnya yang diubah," pungkasnya.
(muh)