Amendemen UUD 1945 Berpotensi Buka Kotak Pandora
loading...
A
A
A
Atang justru melihat adanya potensi terhadap pemakzulan. Di mana dalam Pasal 7A UUD 1945 mengatur syarat pemakzulan. Salah satunya apabila presiden dan atau wakil presiden (wapres) terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wapres, sementara syarat presiden itu diatur di dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, di dalam Pasal 169 huruf (o) disebutkan tentang syarat presiden yang salah satunya adalah setia kepada Pancasila dan UUD 45. Bahkan dalam Pasal 429 UU Pemilu, presiden bersumpah bahwa akan memegang teguh UUD.
Kemudian, lanjut Atang, kalau presiden tidak menjalankan PPHN, sementara PPHN diatur dalam UUD 1945. Pertanyaannya kemudian, apakah presiden dapat dianggap tidak setia kepada UUD 1945? Makanya, kalau ruang Pasal 3 yang diamandemen dibuka bakal membuka ruang-ruang lain.
Mantan staf ahli Badan Kehormatan DPD RI ini melihat ada dua potensi yang bisa terjadi. Satu, Pasal 7A itu soal proses pemakzulan dari DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika putusan MK terbukti, baru ke MPR. MPR akan bersidang jika itu skema dari DPR. Nah, sekarang kalau tidak menjalankan Pasal 3 itu, akan ada kemungkinan skema MPR langsung ke MK.
Kedua, akibat dari Pasal 7A akan berakibat pada Pasal 24C ayat (2) di UUD 1945 yang berbicara soal kewajiban MK memutus pendapat DPR. Jika Pasal 3 disahkan, berarti akan ada potensi MK memutus pendapat MPR.
Kalau semua lembaga negara harus melaksanakan PPHN, berarti MPR itu kedudukannya superior lagi. Apakah tidak berakibat pada semangat memurnikan sistem Presidensil? Padahal Pasal 1 ayat (2) UUD menyebutkan jika kedaulatan terletak pada rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
"Demikian halnya jika UU APBN tidak sesuai dengan PPHN, apakah akan berakibat pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 terkait dengan kewenangan MK? Apakah akan ada tambahan mengenai kewenangan MK menguji UU, karena produknya UU tentunya bukan kewenangan MPR menyatakan UU APBN bertentangan dengan UUD atau PPHN.
Demikian halnya dengan DPD RI akan mengusulkan pasal-pasal penguatan eksistensi DPD RI. Paling tidak terhadap Pasal 20 tentang mencantumkan DPD dalam hal pembahasan dan persetujuan bersama RUU. "Kalau sekarang kan tidak. Termasuk juga Pasal 22D terkait dengan kewenangan DPD," tandas Atang.
Lebih lanjut dia menerangkan PPHN akan berakibat pula pada skema perencanaan pembangunan nasional dan daerah, yang tentunya akan berdampak pada kedudukan otonomi daerah dalam Pasal 18 UUD 1945 karena selama ini memakai sistem perencanaan pembangunan yang diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2005.
Selama ini, kata Atang, polanya itu kalau di pusat ada RPJP, RPJM dan RKM. Di daerah juga dirumuskan dari bawah ke atas melalui Musrenbang dari tingkat desa hingga Kabupaten. Ketika PPHN disahkan maka pembahasan mengenai proses pembangunan pun akan berubah dan makna demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi kabur dalam rangka perencanaan sistem pembangunan di daerah.
Atang menilai, alangkah eloknya dalam situasi pandemi Covid-19 ini seluruh elemen bangsa fokus pada penanganan dan penanggulangannya agar rakyat semakin memiliki rasa aman dari ancaman Covid-19, sebagai wujud dari perlindungan negara terhadap rakyat (social difence) sebagaimana yang diamanatkan dalam alinea ke-IV UUD 1945.
Kemudian, lanjut Atang, kalau presiden tidak menjalankan PPHN, sementara PPHN diatur dalam UUD 1945. Pertanyaannya kemudian, apakah presiden dapat dianggap tidak setia kepada UUD 1945? Makanya, kalau ruang Pasal 3 yang diamandemen dibuka bakal membuka ruang-ruang lain.
Mantan staf ahli Badan Kehormatan DPD RI ini melihat ada dua potensi yang bisa terjadi. Satu, Pasal 7A itu soal proses pemakzulan dari DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika putusan MK terbukti, baru ke MPR. MPR akan bersidang jika itu skema dari DPR. Nah, sekarang kalau tidak menjalankan Pasal 3 itu, akan ada kemungkinan skema MPR langsung ke MK.
Kedua, akibat dari Pasal 7A akan berakibat pada Pasal 24C ayat (2) di UUD 1945 yang berbicara soal kewajiban MK memutus pendapat DPR. Jika Pasal 3 disahkan, berarti akan ada potensi MK memutus pendapat MPR.
Kalau semua lembaga negara harus melaksanakan PPHN, berarti MPR itu kedudukannya superior lagi. Apakah tidak berakibat pada semangat memurnikan sistem Presidensil? Padahal Pasal 1 ayat (2) UUD menyebutkan jika kedaulatan terletak pada rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
"Demikian halnya jika UU APBN tidak sesuai dengan PPHN, apakah akan berakibat pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 terkait dengan kewenangan MK? Apakah akan ada tambahan mengenai kewenangan MK menguji UU, karena produknya UU tentunya bukan kewenangan MPR menyatakan UU APBN bertentangan dengan UUD atau PPHN.
Demikian halnya dengan DPD RI akan mengusulkan pasal-pasal penguatan eksistensi DPD RI. Paling tidak terhadap Pasal 20 tentang mencantumkan DPD dalam hal pembahasan dan persetujuan bersama RUU. "Kalau sekarang kan tidak. Termasuk juga Pasal 22D terkait dengan kewenangan DPD," tandas Atang.
Lebih lanjut dia menerangkan PPHN akan berakibat pula pada skema perencanaan pembangunan nasional dan daerah, yang tentunya akan berdampak pada kedudukan otonomi daerah dalam Pasal 18 UUD 1945 karena selama ini memakai sistem perencanaan pembangunan yang diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2005.
Selama ini, kata Atang, polanya itu kalau di pusat ada RPJP, RPJM dan RKM. Di daerah juga dirumuskan dari bawah ke atas melalui Musrenbang dari tingkat desa hingga Kabupaten. Ketika PPHN disahkan maka pembahasan mengenai proses pembangunan pun akan berubah dan makna demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi kabur dalam rangka perencanaan sistem pembangunan di daerah.
Atang menilai, alangkah eloknya dalam situasi pandemi Covid-19 ini seluruh elemen bangsa fokus pada penanganan dan penanggulangannya agar rakyat semakin memiliki rasa aman dari ancaman Covid-19, sebagai wujud dari perlindungan negara terhadap rakyat (social difence) sebagaimana yang diamanatkan dalam alinea ke-IV UUD 1945.