Merdeka dari Pandemi

Senin, 16 Agustus 2021 - 12:23 WIB
loading...
Merdeka dari Pandemi
Kamaluddin Latief (Foto; Istimewa)
A A A
Kamaluddin Latief
Peneliti Senior/Epidemiolog

SATUAN Tugas Penanganan Covid-19 (Satgas) Republik Indonesia pernah menargetkan negeri ini bebas Covid-19 tepat pada HUT ke-76 Kemerdekaan RI. Sebagaimana tahun lalu, hari ini masih tersisa tanya, benarkah pandemi di Tanah Air membaik sesuai harapan?

Potret Pandemi Tanah Air
Kasus harian di Indonesia pada 12 Agustus 2021 sejumlah 24.709 kasus, ada penurunan dari puncaknya pada 15 Juli 2021 (56.757). Dengan angka kasus harian tersebut, kita menempati posisi 7 teratas dunia. Tren yang sama terjadi pada kasus aktif. Jumlah kasus aktif 412.776, turun dari puncak pada 24 Juli 2021 yang angkanya mencapai 574.135 kasus. Kasus aktif di Tanah Air saat ini masih bercokol di 8 besar dunia dan tertinggi kedua di Asia setelah Iran.

Positivity rate (PR) Indonesia selalu jauh di atas batas indikator Badan Kesehatan Dunia atau WHO (5%). Dalam dua bulan ini PR cenderung melonjak di atas 20%, bahkan pernah nyaris 40%. Saat ini Indonesia bisa dikategorikan kelompok negara PR tinggi, di bawah angka PR Iran, Meksiko, Ekuador, Myanmar, Mozambique, dan Bangladesh. Berdasarkan jumlah kematian harian, Indonesia adalah pemuncak di dunia. Pada 12 Agustus 2021 tercatat 1.466 kematian. Jauh di atas negara lain yang kasus hariannya lebih tinggi. Kematian di Tanah Air tercatat dua kali melewati angka 2.000 per hari. Ini indikator epidemiologi yang sangat mengerikan. Update data Satgas pada 8 Agustus 2021, terdapat 76% (26 provinsi) yang mengalami kenaikan kematian harian, dan sepertiga wilayah (11 provinsi) yang mengalami kenaikan kasus aktif.

Saat ini masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kita sedang meluncur dengan aman dari puncak pandemi. Jika mengacu pada kurva kematian dan melihat perbandingan-perbandingan tersebut, kita harus terus waspada. Esok atau lusa, deretan angka bisa kembali meroket.

Strategi Pemerintah dan Pengorbanan Rakyat
Banyak upaya yang sudah dilakukan oleh negara. Meningkatkan kapasitas laboratorium, rumah sakit, promosi kesehatan, vaksinasi, hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan ma syarakat (PPKM). Pengorbanan, kontribusi, dan semangat dari tenaga kesehatan serta rakyat juga luar biasa. Tercatat sudah ada 1.636 tenaga kesehatan gugur selama pandemi. Rakyat tanpa henti menyumbang tenaga, pikiran, dana, hingga keikhlasan menutup sementara usahanya.

Pertarungan melawan pandemi membutuhkan konsistensi dan stamina yang panjang. Kita semua harus memutar otak, berakrobat menghadapi wabah yang masih terus mengamuk. Mengatasi pagebluk harus fokus, butuh sinergi, koordinasi dan komunikasi kuat, pembiayaan yang tidak sedikit, dan blue print penanganan terarah. Namun yang utama dan paling utama adalah mengimplementasikan apa yang sudah dirancang, lalu menilai dengan indikator yang transparan.

Peringkat ketahanan Covid yang dirilis oleh Bloomberg pada 28 Juli 2021 menempatkan Indonesia di posisi ke 53 atau yang paling buruk di antara semua negara yang dinilai. Peringkat ini jauh di bawah Singapura (11), Brasil (36), Thailand (41), dan India (44). Studi ini menunjukkan negara mana yang mengani virus paling efektif dengan gangguan sosial dan ekonomi paling sedikit. Kita tidak perlu reaktif terhadap hasil studi tersebut, tapi menjadikannya cermin, guna memperbaiki kekurangan.

Perbaikan Secara Konkret
Selain contact tracing yang sudah sering kali dibahas, tes di Tanah Air masih tertinggal. Dilansir dari ourworldindata.org, tes di Indonesia belum pernah mencapai 1 per 1.000 orang per pekan seperti yang dipersyaratkan WHO. Tes di Malaysia berkisar 4, India dan Iran 1,2, Thailand dan Vietnam 1 per 1.000 penduduk per pekan.

Indonesia hanya lebih baik dari Filipina dan Bangladesh. Rerata kumulatif tes Indonesia sebelum Juni 2021 di bawah 100.000 tes per hari. Rerata tes harian tertinggi (205.713) ada pada Juli 2021. Bandingkan dengan India yang melakukan jutaan tes, bahkan pernah 3 juta tes per hari ketika kasus sangat tinggi. Cakupan tes yang rendah menyulitkan upaya pengendalian, terlebih sebagian besar penderita Covid-19 tanpa gejala dan bisa terus menularkan.

Whole genome sequence (WGS) bisa digunakan untuk mengetahui sebaran varian dan pola mutasi virus. Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID) yang mengumpulkan semua WGS di dunia mencatat ada 2.595.452 genom terkumpul hingga 10 Agustus 2021. Indone sia baru mengirimkan 4.545 genom, di bawah Singapura 4.760, Filipina 5.327, Brasil 27.692, India 42.423, dan Jepang yang mengirim 73,476 genom.

Amerika dan Inggris sudah mengirimkan lebih dari setengah juta genom. Jumlah ini harus ditingkatkan mengingat tren kurva kasus dan kematian. Ganasnya varian baru seperti Delta akan lebih mudah diantisipasi jika memiliki data WGS yang adekuat.

Berdasarkan ourworldindata.org, 30,7% populasi dunia telah mendapatkan setidaknya satu dosis vaksin Covid-19. Secara global, 4,6 miliar dosis telah diberikan. Setiap hari sebanyak 36,63 juta dosis disuntikkan. Kanada, UK, dan Saudi Arabia sudah memvaksinasi sebagian besar penduduknya. Cakupan vaksinasi Brasil, Malaysia, Kamboja, dan Jepang sudah mencapai 50%, India 30% dan Thailand 22%.

Di Indonesia, jumlah yang sudah menerima setidaknya satu dosis vaksin, baru mencapai 19%. Alangkah baiknya jika ini terus ditingkatkan guna mencapai herd immunity . Ketersediaan vaksin, akses, dan birokrasi adalah bagian yang harus diperbaiki.

Kampanye promosi kesehatan (perubahan perilaku masyarakat) tidak bisa dilakukan secara parsial. Perlu perencanaan, keterlibatan jejaring masyarakat, kejelasan alur, monev hingga pendanaan. Bukan sekadar memperbanyak leaflet, pesan berantai, baliho, atau iklan berulang yang mungkin dianggap “basi” oleh sebagian masyarakat.

Optimisme
Banyak yang mesti dibenahi dari catatan di atas agar kita segera keluar dari krisis. Sengkarut data sangat penting diurai, bukan dikurangi, atau malah dihilangkan agar kita bisa memilih kebijakan berbasis bukti. Meniadakan indikator kematian Covid misalnya, justru bisa menghilangkan jejak akhir dari keparahan pandemi.

Kita tentu percaya tak ada yang berniat memanipulasi atau menggunakan statistik guna mendukung argumen yang lemah. Ini hanya tentang cara memperbaiki sistem. Frasa Benjamin Desraeli mantan Perdana Menteri Inggris, dalam buku How to Lie with Statistics yang menyebut bahwa di dunia ini ada tiga jenis kebohongan; Bohong (lies), ngibul (damned lies), dan statistik (statistics) tidaklah sepenuhnya benar.

Selamat hari Kemerdekaan, semoga pandemi segera berlalu.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1382 seconds (0.1#10.140)