Belanja Pendidikan Mayarakat Kritis, Bagaimana Nasib Perguruan Tinggi?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi COVID-19 memantik rendahnya pengeluaran pendidikan dan kesehatan yang merupakan salah satu komponen dari pengeluaran rumah tangga.
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD), Mukhaer Pakkanna menjelaskan dari rerata komponen pengeluaran rumah tangga, ternyata yang terendah adalah pengeluaran pendidikan dan kesehatan. Tumbuh terseok-seok hanya 1,2% terutama pengeluaran pendidikan/kesehatan bagi kelas masyarakat miskin.
"Rendahnya pengeluaran komponen pendidikan dan kesehatan paralel dengan turunnya rerata upah pekerja baik di sektor industri maupun sektor pertanian. Bahkan mereka banyak yang terpental dan kehilangan pekerjaan," ujar Mukhaer yang juga selalu Pengamat Ekonomi dan Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah, Minggu (15/8/2021). Baca juga:
Menurutnya, kondisi tersebut agak menyulitkan Perguruan Tinggi (PT) kelas menengah ke bawah untuk mendongkrak penerimaan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) atau yang lebih umum disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT). Bagi pengelola pendidikan tinggi, khususnya level menengah-bawah, kenaikan SPP menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Elastisitas permintaannya harus menjadi variabel determinan.
"Jika ada pengelola perguruan tinggi terutama kelas menengah ke bawah berani menaikkan SPP, pasti akan ditinggalkan mahasiswa. Terjadi eksodus alias putus kuliah atau mencari tempat kuliah yang jauh lebih mudah dan murah," tuturnya.
Sementara, dia menyampaikan kondisi berbeda dialami untuk perguruan tinggi level menengah ke atas dan PTN yang justru menjadi ladang subur untuk menggaet jumlah mahasiswa. Masyarakat menengah atas, menurut catatan BPS bahwa mereka ini justru memilki tingkat simpanan dan tabungan yang masih sangat tinggi termasuk untuk pendidikan dan kesehatan.
"Tentu, kelas ini mencari pilihan kuliah dan kesehatan yang lebih mahal dari rata-rata untuk anak-anaknya," katanya.
Lebih lanjut, dia menambahkan bahwa ke depan akan terjadi ketimpangan antara perguruan tinggi kelas menengah atas dengan kelas menengah bawah terutama dalam rekrutmen jumlah mahasiswa.
"Namun, perlu diingat, hukum alam berbicara, bahwa yang survive dalam setiap bencana adalah mereka yg mampu beradaptasi dengan situasi," pungkasnya.
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD), Mukhaer Pakkanna menjelaskan dari rerata komponen pengeluaran rumah tangga, ternyata yang terendah adalah pengeluaran pendidikan dan kesehatan. Tumbuh terseok-seok hanya 1,2% terutama pengeluaran pendidikan/kesehatan bagi kelas masyarakat miskin.
"Rendahnya pengeluaran komponen pendidikan dan kesehatan paralel dengan turunnya rerata upah pekerja baik di sektor industri maupun sektor pertanian. Bahkan mereka banyak yang terpental dan kehilangan pekerjaan," ujar Mukhaer yang juga selalu Pengamat Ekonomi dan Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah, Minggu (15/8/2021). Baca juga:
Menurutnya, kondisi tersebut agak menyulitkan Perguruan Tinggi (PT) kelas menengah ke bawah untuk mendongkrak penerimaan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) atau yang lebih umum disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT). Bagi pengelola pendidikan tinggi, khususnya level menengah-bawah, kenaikan SPP menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Elastisitas permintaannya harus menjadi variabel determinan.
"Jika ada pengelola perguruan tinggi terutama kelas menengah ke bawah berani menaikkan SPP, pasti akan ditinggalkan mahasiswa. Terjadi eksodus alias putus kuliah atau mencari tempat kuliah yang jauh lebih mudah dan murah," tuturnya.
Sementara, dia menyampaikan kondisi berbeda dialami untuk perguruan tinggi level menengah ke atas dan PTN yang justru menjadi ladang subur untuk menggaet jumlah mahasiswa. Masyarakat menengah atas, menurut catatan BPS bahwa mereka ini justru memilki tingkat simpanan dan tabungan yang masih sangat tinggi termasuk untuk pendidikan dan kesehatan.
"Tentu, kelas ini mencari pilihan kuliah dan kesehatan yang lebih mahal dari rata-rata untuk anak-anaknya," katanya.
Lebih lanjut, dia menambahkan bahwa ke depan akan terjadi ketimpangan antara perguruan tinggi kelas menengah atas dengan kelas menengah bawah terutama dalam rekrutmen jumlah mahasiswa.
"Namun, perlu diingat, hukum alam berbicara, bahwa yang survive dalam setiap bencana adalah mereka yg mampu beradaptasi dengan situasi," pungkasnya.
(kri)