Agenda Membangun Resiliensi

Selasa, 10 Agustus 2021 - 20:01 WIB
loading...
Agenda Membangun Resiliensi
M. Taufiq Amir, Ph.D (Foto:Ist)
A A A
M. Taufiq Amir, Ph.D
Peneliti Resiliensi, Ketua Program Studi Manajemen Universitas Bakrie

BARU-BARU ini tim peneliti dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia memaparkan studi tentang resiliensi orang Indonesia. Hasil studi dengan 5.817 orang responden ini cukup membuat kita waspada: Resiliensi masyarakat kita ternyata rata-rata rendah. Resiliensi merupakan kapasitas psikologis seseorang untuk bisa bertahan dan bangkit dari masalah atau situasi sulit, dan kemudian bertumbuh lagi.

Mengalami 1,5 tahun lebih pandemi Covid-19 yang memicu krisis, masyarakat semakin membutuhkan kapasitas ini. Perekonomian rontok, bisnis bertumbangan, dan yang kehilangan pekerjaan semakin bertambah. Belum lagi adanya keluarga yang terinfeksi atau bahkan meninggal. Ditambah dengan ketidakpastian, tingkat kesulitan yang tercipta memang dahsyat dan tantangannya semakin berat. Mengelola dan membangun resiliensi menjadi urgen, dan perlu diupayakan sebagai agenda bersama.

Agenda itu dapat dimulai dengan memahami bahan baku pembentuk resiliensi. Semakin bahan baku ini lengkap, semakin resilien seseorang. Di sisi lain, semakin besar tantangan atau kesulitan yang dihadapi, semakin tergerus resiliensi yang ada. Apalagi bila kesulitan itu mendera bertubi-tubi, berkelanjutan, dan dalam waktu yang relatif lama. Kabar baiknya, resiliensi dapat dikelola; dijaga, bahkan dikembangkan.

Pengembangan ini dimungkinkan karena resiliensi bersifat supel. Ia bukan karakter yang tetap, walau seseorang memiliki kapasitas resiliensi bawaan. Bisa karena faktor biologis, pengalaman hidup, atau hubungan sosial. Dengan kapasitas yang berbeda-beda, kerentanan setiap orang, relatif terhadap tantangan yang dihadapi, juga tak sama.

Dua bahan baku resiliensi yang relatif bisa dikontrol justru ada pada diri kita sendiri, yaitu aspek kognitif, dan emosi. Seorang sering terjebak pada pola pikir keliru, yang kurang akurat menilai keadaan, sehingga respons, emosi, atau perilakunya juga salah. Berpikir katastrofis merupakan salah satu jebakan tersebut, dimana seorang menilai buruknya satu situasi, lebih parah dari kondisi aktualnya. Terjadi yang disebut “paronoid macan kertas”; seperti berhadapan dengan macan yang mematikan, padahal sebenarnya cuma macan kertas tak bergigi. Bias negatif, yakni kecenderungan memberi perhatian pada hal yang negatif, biasanya akan memperparah situasi. Momen beremosi negatif memang kerap seakan “berteriak” pada kita, sedangkan emosi positif hanya seperti “berbisik”. Efek hoaks, informasi tidak valid dari sumber-sumber tak bertanggung jawab, bekerja dengan mekanisme ini. Kecemasan yang tercipta tidak produktif, dan malah bisa merusak seperti kasus panik pembelian satu produk susu atau tabung oksigen walau pembeli tidak membutuhkannya.

Sistem kecemasan yang teraktivasi terus menerus, sayangnya, akan melemahkan sistem imun. Di tahap ini, adagium dari Nietzsche “what doesn’t kill you makes you stronger”, tidak lagi valid. Jelas kecemasan dan stres semacam ini mengganggu sumberdaya psikologis, biologis, kognitif dan kemampuan menyelesaikan masalah. Kombinasi emosi negatif lain bisa mencuat: rasa takut, marah, sekaligus juga merasa kewalahan, tidak berdaya, dan mungkin pupusnya harapan.

Ketenangan adalah bahan baku resiliensi yang dibutuhkan saat ini, karena akan menghasilkan penilaian yang lebih jernih atas situasi. Memungkinkan kita mengambil jarak dari keadaan, dan fokus pada sumberdaya yang dimiliki, serta mengatur rencana untuk mengatasi masalah. Kita lebih bijak melihat ancaman; kemungkinan terjadinya, keparahan dampaknya, atau kerumitan penanganannya. Menganalogikan warna zona saat pandemi, ketenangan menjaga kita berada pada zona hijau. Para ahli menganjurkan strategi mudah untuk menenangkan diri, seperti praktik pengaturan napas, menghilangkan ketegangan dengan pemijatan, dan juga bergerak aktif. Jika anda berkomitmen berolah-raga setiap hari, anda sudah di jalur yang benar.

Seiring dengan itu, menantang pikiran buruk dengan membingkai ulang situasi yang ada, dapat pula dijalankan. Ini membantu kita mengidentifikasi bukti dan fakta yang ada, memfasilitasi kita dalam mengantisipasi dan menyelesaikan masalah.
Pengelolaan emosi positif, adalah bahan resiliensi berikutnya yang juga “murah-meriah”. Emosi positif meluaskan pandangan kita atas kemungkinan-kemungkinan, opsi dari solusi, dan menjadi pendorong menyelesaikan solusi itu. Di sisi lain, emosi positif meredam efek buruk dari emosi negatif yang kita peroleh.

Aktif menciptakan momen yang menghasilkan emosi positif berperan sentral dalam resiliensi. Ada yang bilang, kita harus “menciptakan kebahagiaan”. Tapi “bahagia” terlalu generik untuk satu momen emosi positif. Emosi positif sesungguhnya punya rentang kategori yang lebih luas. Setidaknya 10 yang penting untuk dikenali: Rasa riang, terhibur, kedamaian, bersyukur, penuh harap, ketertarikan, terinspirasi, rasa kagum, dan rasa cinta. Mengenali kategori emosi positif ini, membantu kita dalam mengelolanya.

Kita perlu secara sengaja dan rutin menciptakan emosi positif, baik dengan kognitif, maupun perilaku. Ini yang dikenal dengan intervensi aktivitas positif. Niatkan dan kerjakan apa saja yang bisa membuat anda menghasilkan emosi positif sejak bangun pagi. Apapun itu, mulai dari nonton filem, menjalankan hobi, mencicil pekerjaan, berdoa, menulis, membaca buku favorit, atau main game. Pendeknya, apapun yang menghasilkan emosi positif. Bersyukur misalnya, termasuk aktivitas yang paling sederhana.

Rasa syukur mungkin emosi positif yang paling tersedia pada setiap orang. Sir John Templeton (1912-2008), seorang philantropis dari Amerika, pernah meyakinkan seorang gadis yang ragu apakah ada yang dapat ia apresiasi. “Sepertinya, tidak ada satu pun yang bisa aku syukuri”, keluh gadis itu. Templeton menjawab, “cobalah berhenti bernapas selama tiga menit, dan kamu akan bersyukur karena bisa bernapas kembali.” Ada banyak hal yang bisa kita syukuri; alami, resapi, dan jadikan sebagai kapasitas resiliensi.

Pandemi Covid-19 menghadirkan berbagai kesulitan, dan ketidakpastian masih menggelayut untuk masa depan. Selayaknya kita mengandalkan resiliensi yang bahan bakunya ada pada diri kita, beradaptasi, dan mengurangi ketergantungan pada aspek di luar kita. Penyair Rumi pernah bilang, “Kita terlahir dengan sayap, mengapa memilih untuk melata dalam hidup?” Resiliensi adalah sayap kita. Sayap yang menjadi modal, tenaga, serta daya hidup kita untuk bertahan dan bangkit.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1362 seconds (0.1#10.140)