Menteri LHK, Siti Nurbaya memimpin langsung rapat teknis membahas penjelasan prakiraan cuaca dan teknik modifikasi cuaca serta kesiapan patroli desa. Foto/Ist
AAA
JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya memimpin langsung rapat teknis membahas penjelasan prakiraan cuaca dan teknik modifikasi cuaca serta kesiapan patroli desa. Dalam rapat ini, Menteri LHK mengundang seluruh pihak terkait seperti BMKG, BNPB, TNI, POLRI, BPPT, serta ahli klimatologi dari IPB University.
Total jumlah MPA-Paralegal di seluruh Indonesia sebanyak 12 kelompok pada tahun 2020 dan tengah diusulkan penambahannya pada tahun 2021 sebanyak 28 kelompok. Sehingga pada akhir tahun ini, diharapkan dapat terbentuk sebanyak 40 kelompok MPA-Paralegal.
Upaya lain untuk mencegah terjadinya karhutla adalah dengan memanfaatkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk menciptakan hujan buatan di wilayah rawan karhutla. Upaya TMC di Provinsi Riau, pada fase pertama 10 Mar – 5 Apr 2021, secara umum, meningkatkan curah hujan sekitar 33–64 % terhadap curah hujan alamnya. Penambahan curah hujan di lokasi penyemaian awan adalah sekitar 194.3 Juta m3.
Sedangkan pada fase kedua, secara umum persentase penambahan curah hujan periode di Provinsi Riau pada bulan Juli 2021 adalah sebesar 2% terhadap curah hujan alamnya. “TMC ini telah kita intensifkan beberapa tahun terakhir dan akhirnya menjadi sesuatu yang sangat berguna untuk kita,” ungkap Menteri Siti.
Kemudian, terpisah dari semua hal disebutkan di atas, upaya lainnya adalah penegakan hukum, POLRI telah mengembangkan sistem terkait dengan pidana. KLHK juga memiliki pola penegakan hukum yaitu dengan memberikan peringatan kepada perusahaan pemilik kebun sawit dan sebagainya apabila muncul titik panas di lokasi usahanya.
Pada rapat kali ini, Kepala BMKG, Prof. Dwikorita Karnawati menyampaikan prediksi iklim dan cuaca tahun 2021 di Indonesia. Dwikorita dalam paparannya memberikan kesimpulan bahwa Indeks ENSO Juli 2021 menunjukkan kondisi Netral dan diprakirakan Netral hingga awal tahun 2022.
Kemudian, pada sekitar bulan Agustus hingga Oktober 2021, curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia masuk dalam kategori Rendah, sedangkan November hingga Januari 2022 masuk kategori Menengah-Tinggi. Oleh karena itu, pihaknya merekomendasikan untuk mewaspadai potensi karhutla kategori menengah hingga tinggi pada bulan Agustus 2021 di wilayah pulau Sumatera bagian tengah dan sebagian NTB dan NTT.
Selain itu, BMKG memprediksi puncak musim kemarau pada beberapa wilayah rawan karhutla antara lain Sumatera bagian selatan dan sebagian besar pulau Kalimantan berada pada bulan Agustus dan September.
Direktur Jenderal Pengendaliam Perubahan Iklim KLHK, Laksmi Dhewanti pada paparannya kepada Menteri LHK, melaporkan bahwa menurut data pantauan titik panas sejak 1 januari hingga 29 Juli 2021, terdapat dua wilayah yang titik panasnya telah berjumlah di atas 100. Dua wilayah tersebut yaitu Kalimantan Barat dengan total sebanyak 164 titik dan Riau yang telah menyentuh angka 170 titik.
Secara total, untuk tahun 2021 jumlah hotspot pada wilayah rawan karhutla berjumlah total 401 titik panas dan seluruh wilayah Indonesia terdapat 684 titik panas (data dari satelit Terra/Aqua NASA tahun 2021 s.d. tanggal 29 Juli 2021 Pukul 07.00WIB). Apabila dibandingkan dengan total jumlah hotspot tahun 2020 dengan periode yang sama, jumlah titik panas adalah sebanyak 1.008 (berdasarkan Satelit Terra/Aqua (NASA) Conf. Level ≥80%) Berdasarkan perbandingan tersebut, terdapat penurunan jumlah hotspot sebanyak 324 titik atau 32,14%.
Laksmi kemudian menyampaikan upaya pengendalian karhutla di tingkat tapak telah dilaksanakan bersama-sama dengan kolaborasi berbagai pihak yang tergabung dalam patroli terbadu. Hasil rekapitulasi kegiatan pemadaman darat menunjukkan bahwa sebanyak total 1.320 kegiatan telah dilakukan di seluruh wilayah di Indonesia. Provinsi Kalimantan Barat dan Riau menjadi wilayah terbanyak dilakukan pemdaman dengan total masing-masing 361 dan 282 kegiatan.
Pada kesempatan ini juga, Kepala BPPT, Hammam Riza juga melaporkan upaya TMC yang telah dilakukan di beberapa wilayah rawan karhutla. Penambahan volume hujan pada TMC periode Maret-April 2021 cenderung lebih baik dibandingkan periode Juni-Juli 2021. Hal ini sesuai dengan ketersediaan sumber awan potensial masing-masing periode.
Secara Historis, curah hujan di Pulau Sumatera pada bulan Juni mulai menurun, sedangkan di Pulau Kalimantan penurunan terjadi mulai bulan Juli, yang diikuti dengan peningkatan potensi kemunculan titik api. Untuk memaksimalkan potensi hujan sekaligus meminimalkan potensi kebakaran dengan menjaga tingkat kebasahan lahan, pelaksanaan upaya pembasahan sangat disarankan dilakukan secara kontinyu seperti upaya yang dilakukan Tahun 2020.
Kepala BNPB, Letnan Jenderal Ganip Warsito menegaskan bahwa selain fokus dalam upaya pengendalian Covid-19, pihaknya akan terus memberikan dukungan pendampingan dalam bentuk bantuan dana siap pakai serta sarana dan prasarana operasi pemadaman darat dan udara.
Kemudian, pihaknya juga berkomitmen dalam hal pengerahan sumber daya nasional pada saat keadaan darurat bencana. BNPB juga membangun keterpaduan dalam peningkatan sosial ekonomi masyarakat di daerah rawan kebakaran hutan dan lahan dan mendukung KLHK dalam harmonisasi peraturan perundangan untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan
Setelah mendengarkan beberapa paparan, Menteri Siti kembali mengingatkan bahwa pada tahun 2015, masa paling sulit dan cukup berat yang dihadapi adalah pada awal-awal bulan September. Kemudian tahun 2019, hal yang sama juga terjadi pada minggu pertama dan kedua bulan September.
"Dari rapat kali ini kita bersama-sama telah mengetahui polanya, pada bulan Agustus kita harus mewaspadai beberapa wilayah seperti Kalimantan Barat dan sekitar Kalimantan Selatan," ungkap Menteri Siti.
Provinsi Kalimantan Tengah pun juga diharapkan Menteri Siti untuk menaikkan level siaga daruratnya. Terkait hal ini, KLHK juga telah mengirimkan surat kepada Gubernur Kalimantan Tengah.
“Kita punya keyakinan dalam upaya pengendalian karhutla karena didukung oleh data empirik dan pemahaman baik kita secara teoritik, kita percaya bahwa dari emisi GRK yang dihasilkan, karhutla memiliki pengaruh sebesar 50-60 persen dari emisi yang dihasilkan dari sektor kehutanan, artinya apabila kita membereskan karhutla, maka kita juga berhasil mengendalikan emisi GRK dari sektor kehutanan,” terang Menteri Siti.