Pandemi, Ujian bagi Pemimpin untuk Keluar dari Krisis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi virus Corona (Covid-19) yang sudah berlangsung setahun lebih di Indonesia ini, cukup memberikan dampak cukup besar. Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J.Rachbini mengungkapkan, pandemi ini jadi ujian bagi pemimpin.
Didik yang juga Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) ini menjelaskan, kritik atas pola kepemimpinan di saat krisis pandemi harus terus disuarakan, sebab tidak mungkin lingkaran dalam kekuasaan melakukan kritik atas jalannya pemerintahan.
Ketika masalah ini ditanyakan lagi, Didik malah mengungkap pengalaman 9 tahun lalu ketika mendengar ceramah Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa dia butuh waktu pendekatan 51 kali untuk memindahkan sector informal tanpa harus menggusur.
"Kalau dengan pola ini ingin memindahkan transmgrasi, sampai kapanpun tidak akan berhasil," jawab Didik diplomatis.
Menurut Didik yang juga Rektor Unversitas Paramadina ini, menyatakan, tidak sulit memahami bagaimana APBN itu, karena tidak rumit dan mudah diteliti, apalagi jiak ada kejanggalan antara pemasukan dan pengeluaran.
"Jika anatara pemasukan dan pengeluaran adaperbedaan atau disparitas yang cukup tinggi , itu namanya defisit. Nah,defisit anggaran atau APBN kita saat ini sangat besar, tidak sesuai dengan penggunaannya," katanya.
Di sisi lain, Didik menegaskan, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 ini sangat besar yaitu sekitar seribu triliun rupiah.
Ini terlihat dari angka pendapatan yang bersumber dari pajak dan non pajak (hibah dan royalty) sebesar 1699 triliun, tapi pengeluaran atau belanja pemerintah pusat dan daerah sebesar Rp2.670 triliun.
Angka defisit 1.000 triliun rupiah ini naik naik tiga kali lipat dari defisit sebelum pandemi Covid-19 yang hanya sekitar 300 triliun rupiah. Kenapa demikian? Ketika APBN ini disusun, proyeksi penambahan anggaran untuk penanganan Covid dinaikan.
"Tapi apa yang terjadi, penanganan Covid-19 masih belum memperlihatkan keberhasilan, padahal sudah disokong anggaran yang besar," ungkap Didik.
"Ini terjadi karena tidak ada check and balance yang kuat. Dan di masa krisis biasanya ada ekonomi rente yang ikut bermain untuk mengutak atik APBN, tapi untuk kepentingan lain," tegasnya.
Sebenarnya lanjut Didik, angka defisit 1.000 triliun itu bisa dikurangi dengan langkah efesiensi yang dilakukan. Tapi hal ini malah tak terjadi, ujungnya generasi mendatang akanmenanggung utang yang sangat besar itu.
"Saya sudah sering kritik. Cari saja di google, pasti banyak pernyataan saya soal kritik APBN ini. Jika tidak mau juga diperbaiki, itu namanya bebal, dan DPR sepertinya diam. Jadi DPR kurang kritis, sehingga APBN yang defisitnya sangat besar bisa lolos," ujarnya.
Baca Juga
Didik yang juga Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) ini menjelaskan, kritik atas pola kepemimpinan di saat krisis pandemi harus terus disuarakan, sebab tidak mungkin lingkaran dalam kekuasaan melakukan kritik atas jalannya pemerintahan.
Ketika masalah ini ditanyakan lagi, Didik malah mengungkap pengalaman 9 tahun lalu ketika mendengar ceramah Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa dia butuh waktu pendekatan 51 kali untuk memindahkan sector informal tanpa harus menggusur.
"Kalau dengan pola ini ingin memindahkan transmgrasi, sampai kapanpun tidak akan berhasil," jawab Didik diplomatis.
Menurut Didik yang juga Rektor Unversitas Paramadina ini, menyatakan, tidak sulit memahami bagaimana APBN itu, karena tidak rumit dan mudah diteliti, apalagi jiak ada kejanggalan antara pemasukan dan pengeluaran.
"Jika anatara pemasukan dan pengeluaran adaperbedaan atau disparitas yang cukup tinggi , itu namanya defisit. Nah,defisit anggaran atau APBN kita saat ini sangat besar, tidak sesuai dengan penggunaannya," katanya.
Di sisi lain, Didik menegaskan, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 ini sangat besar yaitu sekitar seribu triliun rupiah.
Ini terlihat dari angka pendapatan yang bersumber dari pajak dan non pajak (hibah dan royalty) sebesar 1699 triliun, tapi pengeluaran atau belanja pemerintah pusat dan daerah sebesar Rp2.670 triliun.
Angka defisit 1.000 triliun rupiah ini naik naik tiga kali lipat dari defisit sebelum pandemi Covid-19 yang hanya sekitar 300 triliun rupiah. Kenapa demikian? Ketika APBN ini disusun, proyeksi penambahan anggaran untuk penanganan Covid dinaikan.
"Tapi apa yang terjadi, penanganan Covid-19 masih belum memperlihatkan keberhasilan, padahal sudah disokong anggaran yang besar," ungkap Didik.
"Ini terjadi karena tidak ada check and balance yang kuat. Dan di masa krisis biasanya ada ekonomi rente yang ikut bermain untuk mengutak atik APBN, tapi untuk kepentingan lain," tegasnya.
Sebenarnya lanjut Didik, angka defisit 1.000 triliun itu bisa dikurangi dengan langkah efesiensi yang dilakukan. Tapi hal ini malah tak terjadi, ujungnya generasi mendatang akanmenanggung utang yang sangat besar itu.
"Saya sudah sering kritik. Cari saja di google, pasti banyak pernyataan saya soal kritik APBN ini. Jika tidak mau juga diperbaiki, itu namanya bebal, dan DPR sepertinya diam. Jadi DPR kurang kritis, sehingga APBN yang defisitnya sangat besar bisa lolos," ujarnya.
(maf)