Slamet Riyadi, Gugur Tertembak di Usia 23 Tahun Jelang Operasi Berakhir

Selasa, 20 Juli 2021 - 06:08 WIB
loading...
Slamet Riyadi, Gugur Tertembak di Usia 23 Tahun Jelang Operasi Berakhir
Brigadir Jenderal (Anumerta) TNI Ignatius Slamet Riyadi terlahir dengan nama Soekamto di Surakarta, Jawa Tengah, Hindia Belanda, pada tanggal 26 Juli 1927. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Brigadir Jenderal (Anumerta) TNI Ignatius Slamet Riyadi terlahir dengan nama Soekamto di Surakarta, Jawa Tengah, Hindia Belanda, pada tanggal 26 Juli 1927. Dia adalah putra kedua dari pasangan Raden Ngabehi Prawiropralebdo, seorang perwira pada tentara Kasunanan, dan Soetati, seorang penjual buah.

Saat Soekamto berusia satu tahun, ibunya menjatuhkannya. Dia kemudian jadi sering sakit-sakitan. Untuk membantu menyembuhkan penyakitnya, keluarganya "menjualnya" dalam ritual tradisional suku Jawa kepada pamannya, Warnenhardjo. Setelah ritual, nama Soekamto diganti menjadi Slamet.

Seperti dikutip dari Wikipedia, Selasa(20/7/2021), meskipun setelah ritual secara formal ia adalah putra Warnenhardjo, Slamet tetap dibesarkan di rumah orangtuanya. Dia menganut Katolik serta dikatakan bahwa sejak kecil Slamet menyukai "'tirakat' berpuasa dan hal-hal 'mistik'".

Slamet umumnya menempuh pendidikan di sekolah milik Belanda. Sekolah dasar dilaluinya di Hollandsch-Inlandsche Schooll Ardjoeno, sebuah sekolah swasta yang dimiliki dan dikelola oleh kelompok agamawan Belanda.

Saat bersekolah di Sekolah Menengah Mangkoenegaran, dia memperoleh nama belakang Rijadi karena ada banyak siswa yang bernama Slamet di sekolah tersebut. Saat di sekolah menengah juga ayahnya kembali "membelinya" dari sang paman. Setelah tamat sekolah menengah dan saat Jepang menduduki Hindia Belanda pada tahun 1942, Slamet melanjutkan pendidikannya ke akademi pelaut di Jakarta. Setelah lulus, ia bekerja sebagai navigator di sebuah kapal laut.

Saat tidak bekerja di laut, Slamet tinggal di sebuah asrama di dekat Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, sesekali ia juga bertemu dengan para pejuang bawah tanah. Pada 14 Februari 1945, setelah Jepang mulai mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, Slamet beserta rekannya sesama pelaut meninggalkan asrama mereka dan mengambil senjata.

Slamet memilih pulang ke Surakarta dan mulai mendukung gerakan perlawanan di sana. Dia kemudian tidak ditangkap oleh polisi militer Jepang atau unit lainnya selama masa pendudukan yang berakhir dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Setelah Jepang menyerah, Belanda berupaya untuk kembali menjajah Indonesia. Karena tidak mau dijajah kembali, rakyat Indonesia pun melakukan perlawanan balik. Slamet memulai kampanye gerilya melawan Belanda dan dengan cepat memperoleh kenaikan pangkat.

Dia bertanggung jawab atas Resimen 26 di Surakarta. Selama Agresi Militer Belanda I, yaitu serangan umum yang dilancarkan oleh Belanda pada pertengahan 1947, Slamet memimpin pasukan Indonesia di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk Ambarawa dan Semarang. Dia juga memimpin pasukan penyisir di sepanjang Gunung Merapi dan Merbabu.

Setahun kemudian pada bulan September 1948, Slamet dipromosikan dan diserahi kontrol atas empat batalion tentara dan satu batalion tentara pelajar. Dua bulan setelahnya, Belanda melancarkan serangan kedua. Kali ini menyasar Kota Yogyakarta, yang saat itu menjadi ibu kota negara.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1003 seconds (0.1#10.140)