Soal TWK KPK, Fahri: Pemberantasan Korupsi Harus Lebih Sistemik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah berharap perdebatan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk disudahi. Menurut dia, bangsa kita harus berjalan ke depan untuk menyusun bersama ide pemberantasan korupsi yang lebih sistemik.
"Inisiatif-inisiatif yang dilakukan KPK selama 20 tahun belakangan ini secara akademik sangat berbahaya sekali. Saya berpegang dari Prof Romli sebagai Ketua Tim Penyusun UU KPK dan juga Prof Andi Hamzah sebagai Tim Ahli. Mereka sangat senang sekali dengan adanya perubahan UU KPK, mengingat cara kerja KPK selama ini di luar harapan dari para pakar penyusun UU KPK tersebut," ujar Fahri dalam Webinar Series Moya Institute "Ujung Perjalanan Kelompok 51 KPK", Jumat (9/7/2021).
Menurut Fahri, KPK selama ini tidak ada kontrol dan tidak sesuai dengan semangat awal pembentukannya. Karena itu, dikhawatirkan lembaga ini justru akan mengambil jalan pintas daripada negara hukum.
"Birokrasinya tidak diperkuat, dibimbing dan ditata. Tapi justru sensasi geger-gegeran. Di situlah masalahnya. Demokrasi terancam. Birokrasinya kacau. Selama 20 tahun bekerja melawan korupsi yang ada gontok-gontokan. Lembaga ini justru menjadi oposisi bagi lembaga lain," kesal Fahri.
Pendiri Setara Institute, Hendardi mendorong ke depan dilakukan perbaikan sistemik menyangkut keuangan negara, dimana KPK menjadi bagian dari penyelamatan keuangan negara dengan pemberantasan korupsinya.
"Hal-hal yang terkait permainan politik atau respons-respons politik terkait polemik 51 pegawai KPK yang tidak lulus TWK sudah harus diakhiri karena tidak sehat buat publik," imbuhnya.
Hendardi menambahkan seringkali ada manipulasi atau pernyataan tendensius dari kelompok 51 KPK dimana mereka selalu menyebut tanpa mereka kasus-kasus besar tidak akan bisa dibongkar.
"Saya kira itu hanya kekonyolan saja. Karena kasus besar dimanapun memang selalu terkait kekuasaan dan partai politik, tapi kasus besar bukan hanya terkait tentang Bansos atau jual beli jabatan tetapi juga kasus Bank Century, Hambalang, Formula E DKI Jakarta, e-KTP juga itu kasus triliunan Rupiah," ujanya.
Aktivis HAM yang selama ini memperjuangkan kesetaraan dan keberagaman itu menegaskan pernyataan isu KPK akan runtuh tanpa mereka merupakan jurus pendekar mabuk.
"Mengkultus individukan mereka, padahal KPK yang kita kenal harusnya bekerja secara kolektif kolegial. Karena itu ke depan harus ada perbaikan sistemik dalam penyelamatan keuangan negara," harapnya.
Pengamat isu-isu strategis nasional Prof Imron Cotan menyebutkan,polemik TWK Pegawai KPK adalah peristiwa hukum. Kalau dianggap tidak memenuhi syarat, ia menyarankan untuk disalurkan ke saluran hukum yang ada.
"Misal ke Ombudsman kalau dirasa ada mal administrasi. Kalau ada unsur pidana, bisa ke pengadilan atau ke PTUN. Daripada ke PGI, MUI atau Komnas HAM. Dampaknya masyarakat terpecah. Timbul kontroversi. Padahal bangsa kita sedang mengalami pandemi dengan kondisi terparah selama 2 tahun belakangan ini," paparnya.
Sebagai satu kesatuan bangsa, Prof Imron meminta kita harus bersatu padu menyelesaikan berbagai persoalan strategis dibanding hanya berkutat dengan persoalan 51 orang tidak lulus.
"Inisiatif-inisiatif yang dilakukan KPK selama 20 tahun belakangan ini secara akademik sangat berbahaya sekali. Saya berpegang dari Prof Romli sebagai Ketua Tim Penyusun UU KPK dan juga Prof Andi Hamzah sebagai Tim Ahli. Mereka sangat senang sekali dengan adanya perubahan UU KPK, mengingat cara kerja KPK selama ini di luar harapan dari para pakar penyusun UU KPK tersebut," ujar Fahri dalam Webinar Series Moya Institute "Ujung Perjalanan Kelompok 51 KPK", Jumat (9/7/2021).
Menurut Fahri, KPK selama ini tidak ada kontrol dan tidak sesuai dengan semangat awal pembentukannya. Karena itu, dikhawatirkan lembaga ini justru akan mengambil jalan pintas daripada negara hukum.
"Birokrasinya tidak diperkuat, dibimbing dan ditata. Tapi justru sensasi geger-gegeran. Di situlah masalahnya. Demokrasi terancam. Birokrasinya kacau. Selama 20 tahun bekerja melawan korupsi yang ada gontok-gontokan. Lembaga ini justru menjadi oposisi bagi lembaga lain," kesal Fahri.
Pendiri Setara Institute, Hendardi mendorong ke depan dilakukan perbaikan sistemik menyangkut keuangan negara, dimana KPK menjadi bagian dari penyelamatan keuangan negara dengan pemberantasan korupsinya.
"Hal-hal yang terkait permainan politik atau respons-respons politik terkait polemik 51 pegawai KPK yang tidak lulus TWK sudah harus diakhiri karena tidak sehat buat publik," imbuhnya.
Hendardi menambahkan seringkali ada manipulasi atau pernyataan tendensius dari kelompok 51 KPK dimana mereka selalu menyebut tanpa mereka kasus-kasus besar tidak akan bisa dibongkar.
"Saya kira itu hanya kekonyolan saja. Karena kasus besar dimanapun memang selalu terkait kekuasaan dan partai politik, tapi kasus besar bukan hanya terkait tentang Bansos atau jual beli jabatan tetapi juga kasus Bank Century, Hambalang, Formula E DKI Jakarta, e-KTP juga itu kasus triliunan Rupiah," ujanya.
Aktivis HAM yang selama ini memperjuangkan kesetaraan dan keberagaman itu menegaskan pernyataan isu KPK akan runtuh tanpa mereka merupakan jurus pendekar mabuk.
"Mengkultus individukan mereka, padahal KPK yang kita kenal harusnya bekerja secara kolektif kolegial. Karena itu ke depan harus ada perbaikan sistemik dalam penyelamatan keuangan negara," harapnya.
Pengamat isu-isu strategis nasional Prof Imron Cotan menyebutkan,polemik TWK Pegawai KPK adalah peristiwa hukum. Kalau dianggap tidak memenuhi syarat, ia menyarankan untuk disalurkan ke saluran hukum yang ada.
"Misal ke Ombudsman kalau dirasa ada mal administrasi. Kalau ada unsur pidana, bisa ke pengadilan atau ke PTUN. Daripada ke PGI, MUI atau Komnas HAM. Dampaknya masyarakat terpecah. Timbul kontroversi. Padahal bangsa kita sedang mengalami pandemi dengan kondisi terparah selama 2 tahun belakangan ini," paparnya.
Sebagai satu kesatuan bangsa, Prof Imron meminta kita harus bersatu padu menyelesaikan berbagai persoalan strategis dibanding hanya berkutat dengan persoalan 51 orang tidak lulus.
(kri)