HUT Bhayangkara ke-75, DPR: Transformasi Polri Belum Selesai
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto mengucapkan dirgahayu Polri ke-75 tahun pada perayaan HUT Bhayangkara yang jatuh pada Kamis (1/7/2021) hari ini, semoga Polri semakin profesional dan terpercaya. 75 tahun sudah Polri melakukan karya dan pengabdiannya, sudah banyak legacy atau warisan dan capaian yang sudah dihasilkan.
Baca juga: HUT ke-75, Pengamat: Polri Harus Inovatif, Sigap dan Tanggap Hadapi Ancaman Baru "Namun di sisi lain, reformasi kepolisian masih harus terus dilakukan khususnya reformasi kultural yang masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan secara tuntas," kata Didik kepada wartawan, Kamis (1/7/2021).
Didik melanjutkan, sejak dilakukannya pemisahan TNI dan Polri, reformasi Kepolisian yang meliputi reformasi struktural, instrumental dan kultural terus dilakukan, dengan harapan mampu membawa perubahan besar di institusi kepolisian dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya dalam menjaga keamanan dan ketertiban, memberikan pengayoman kepada masyarakat, melakukan penegakan hukum dan memberikan pelayanan bagi masyarakat.
Baca juga: Polri Raih Predikat WTP Delapan Tahun Berturut-turut dari BPK
"Meskipun reformasi struktural dan instrumental sudah banyak mengalami kemajuan. Namun hingga HUT Bhayangkara ke-75, reformasi kultural masih dihadapkan kepada berbagai tantangan dan membutuhkan waktu yang lebih panjang lagi karena mengubah mindset dan perilaku di lingkungan kepolisian ternyata tidak mudah," paparnya.
Dalam 5 tahun belakangan ini, Kepala Departemen Hukum dan HAM DPP Partai Demokrat ini melihat, ada tantangan yang bisa berpotensi membawa kemunduran reformasi Polri jika tidak segera diperbaiki, diantanya, Polri rawan “terseret” pada kepentingan politik elite dan politik praktis. Netralitas polisi dalam kepentingan politik menjadi tantangan yang harus dijawab dan dibuktikan. Polri harus lepas dari kepentingan elite dan politik yang dapat membahayakan kehidupan demokrasi, kebebasan sipil dan berpotensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan.
"Perwujudan Civilan Police di Kepolisian Republik Indonesia perlu komitmen dan konsistensi proses demiliterisasi dan depolitisasi Polri demi tercapainya pemolisian demokratis. Untuk itu memastikan profesionalitas dan independensi di tubuh Polri menjadi suatu keharusan," ujar Didik.
Kemudian, lanjut Didik, dalam tuntutan akuntabilitas Polri, reformasi kepolisian selama ini masih dianggap ada persoalan mendasar dalam hal akuntabilitas di lingkungan kepolisian sebagai bagian aparat penegak hukum. Setidaknya, ada tiga hal yang butuh perhatian khususnya dalam penanganan kasus pelanggaran hukum yakni, penetapan kebijakan yang berpotensi mengancam kebebasan sipil dan keterlibatan dalam aksi kekerasan terhadap masyarakat, tidak menggunakan kekuasaannya untuk melakukan tindakan diskriminatif, dan menjadi pengayom masyarakat secara adil.
Menurut Didik, praktik “represi” baik di ruang publik masih menjadi momok di masyarakat. Dalam beberapa kasus, masyarakat menganggap masih banyak arogansi yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap masyarakat sipil. Bahkan tidak sedikit yang kemudian berpotensi berujung kepada kriminalisasi yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Tindakan kekerasan yang berlebihan, arogansi aparat kepolisian ini harus menjadi bagian reformasi yang harus diwujudkan. Serta, perilaku koruptif dan gaya hidup mewah.
"Secara kelembagaan Polri harus mampu membangun zona intergritas dan memastikan segenap anggotanya terhindar dari perilaku korup dan gaya hidup mewah," saran Didik.
"Berdasarkan hal tersebut diatas, saya rasa Kapolri dihadapkan kepada pekerjaan rumah yang cukup fundamental yang masih harus diselesaikan. Perwujudan transformasi polri yang presisi akan optimal dapat diwujudkan jika beberapa hal fundamental tersebut dapat diselesaikan," pungkasnya.
Baca juga: HUT ke-75, Pengamat: Polri Harus Inovatif, Sigap dan Tanggap Hadapi Ancaman Baru "Namun di sisi lain, reformasi kepolisian masih harus terus dilakukan khususnya reformasi kultural yang masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan secara tuntas," kata Didik kepada wartawan, Kamis (1/7/2021).
Didik melanjutkan, sejak dilakukannya pemisahan TNI dan Polri, reformasi Kepolisian yang meliputi reformasi struktural, instrumental dan kultural terus dilakukan, dengan harapan mampu membawa perubahan besar di institusi kepolisian dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya dalam menjaga keamanan dan ketertiban, memberikan pengayoman kepada masyarakat, melakukan penegakan hukum dan memberikan pelayanan bagi masyarakat.
Baca juga: Polri Raih Predikat WTP Delapan Tahun Berturut-turut dari BPK
"Meskipun reformasi struktural dan instrumental sudah banyak mengalami kemajuan. Namun hingga HUT Bhayangkara ke-75, reformasi kultural masih dihadapkan kepada berbagai tantangan dan membutuhkan waktu yang lebih panjang lagi karena mengubah mindset dan perilaku di lingkungan kepolisian ternyata tidak mudah," paparnya.
Dalam 5 tahun belakangan ini, Kepala Departemen Hukum dan HAM DPP Partai Demokrat ini melihat, ada tantangan yang bisa berpotensi membawa kemunduran reformasi Polri jika tidak segera diperbaiki, diantanya, Polri rawan “terseret” pada kepentingan politik elite dan politik praktis. Netralitas polisi dalam kepentingan politik menjadi tantangan yang harus dijawab dan dibuktikan. Polri harus lepas dari kepentingan elite dan politik yang dapat membahayakan kehidupan demokrasi, kebebasan sipil dan berpotensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan.
"Perwujudan Civilan Police di Kepolisian Republik Indonesia perlu komitmen dan konsistensi proses demiliterisasi dan depolitisasi Polri demi tercapainya pemolisian demokratis. Untuk itu memastikan profesionalitas dan independensi di tubuh Polri menjadi suatu keharusan," ujar Didik.
Kemudian, lanjut Didik, dalam tuntutan akuntabilitas Polri, reformasi kepolisian selama ini masih dianggap ada persoalan mendasar dalam hal akuntabilitas di lingkungan kepolisian sebagai bagian aparat penegak hukum. Setidaknya, ada tiga hal yang butuh perhatian khususnya dalam penanganan kasus pelanggaran hukum yakni, penetapan kebijakan yang berpotensi mengancam kebebasan sipil dan keterlibatan dalam aksi kekerasan terhadap masyarakat, tidak menggunakan kekuasaannya untuk melakukan tindakan diskriminatif, dan menjadi pengayom masyarakat secara adil.
Menurut Didik, praktik “represi” baik di ruang publik masih menjadi momok di masyarakat. Dalam beberapa kasus, masyarakat menganggap masih banyak arogansi yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap masyarakat sipil. Bahkan tidak sedikit yang kemudian berpotensi berujung kepada kriminalisasi yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Tindakan kekerasan yang berlebihan, arogansi aparat kepolisian ini harus menjadi bagian reformasi yang harus diwujudkan. Serta, perilaku koruptif dan gaya hidup mewah.
"Secara kelembagaan Polri harus mampu membangun zona intergritas dan memastikan segenap anggotanya terhindar dari perilaku korup dan gaya hidup mewah," saran Didik.
"Berdasarkan hal tersebut diatas, saya rasa Kapolri dihadapkan kepada pekerjaan rumah yang cukup fundamental yang masih harus diselesaikan. Perwujudan transformasi polri yang presisi akan optimal dapat diwujudkan jika beberapa hal fundamental tersebut dapat diselesaikan," pungkasnya.
(maf)