Konflik dengan Petani di Riau, PTPN V Bisa Dipanggil DPR
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR RI I Made Urip mendesak PT Perkebunan Nusantara ( PTPN) V segera menyelesaikan konflik dengan para petani. Kedua pihak diminta mematuhi aturan main yang sudah disepakati bersama.
"Untuk mengetahui duduk persoalannya, bisa saja Komisi IV DPR memanggil PTPN V dan juga pihak petani untuk mencari jalan keluar," kata I Made Urip yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan ini saat dihubungi, Senin (28/6/2021).
Berdasarkan pengalaman selama di Komisi IV yang antara lain membidangi perkebunan, pertanian dan kehutanan, tidak sedikit petani yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan. "Solusinya ya harus duduk bersama, bermusyawarah untuk mencari jalan keluar. Jika mentok, maka pihak yang merasa dirugikan bisa menempuh jalur hukum," ujar wakil rakyat dari Bali ini.
Baca juga: Tak Temukan Kerugian Negara, Jaksa Hentikan Kasus KKPA PTPN V
Aparat penegak hukum, apakah Polri atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata Made, jika sudah mendapat laporan, maka harus segera bertindak. "Itu supaya di lapangan tidak terjadi konflik fisik. Selesaikanlah konflik secara hukum," katanya.
Sebelumnya diberitakan, telah terjadi konflik antara PTPN V dan para petani yang tergabung dalam Koperasi Petani Sawit Makmur atau Kopsa M di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Kopsa M bahkan telah melaporkan PTPN V ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, dan KPK terkait dugaan tindak pidana korupsi.
Tim Advokasi Keadilan Agraria SETARA Institute bersama perwakilan petani yang tergabung dalam Kopsa M telah melaporkan sejumlah pejabat PTPN V ke KPK, Selasa (25/5/2021). Dugaan korupsi yang dilaporkan adalah pembiaran lahan 500 hektare yang diserahkan oleh Kopsa M ke negara melalui PTPN V sebagai upaya memenuhi kewajiban dilaksanakannya kerja sama pembangunan kebun.
Baca juga: Ramadhan, PTPN V Bagikan Dana Hibah untuk 25 Kelompok Masyarakat
"Oleh PTPN V, lahan tersebut dibiarkan dan sengaja tidak dibukukan sebagai kekayaan negara, sehingga beralih kepemilikan dan menimbulkan kerugian negara," kata Koordinator Tim Advokasi Keadilan Agraria-Setara Institute, Disna Riantina. Akibat tindakan tersebut, kata Disna, negara dirugikan kurang lebih Rp134 miliar.
Menurutnya, klaim beberapa pihak bahwa PTPN V menjadi "avalist" atau penjamin Kopsa M dalam pengambilan kredit pembangunan kebun adalah menyesatkan, dan bagian dari upaya menutupi dugaan praktik korupsi yang akut di tubuh PTPN V.
Hal yang sebenarnya terjadi, kata Disna, adalah PTPN V gagal membangun kebun, mengelola kredit secara tidak akuntabel dan sarat dengan korupsi, lalu menutupi kredit itu dari uang negara yang dikelola PTPN V. "Di sinilah letak korupsi yang dilakukan PTPN melalui akal-akalan menjadi Bapak Angkat para petani dalam skema Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA)," ungkapnya.
Bukan hanya Kopsa M, lebih dari 10 koperasi menjadi korban buruknya kinerja perusahaan perkebunan milik negara ini. Terbaru, PTPN V baru saja merampas 150 hektare lahan milik masyarakat adat Pantai Raja, Kampar.
"Jadi, dalam kasus yang dilaporkan oleh Setara Institute ke KPK, pangkal soalnya adalah pembangunan kebun gagal, kredit dikelola secara tidak benar dan pembengkakan utang yang disengaja untuk menjerat petani menyerahkan tanah-tanah yang tersisa kepada PTPN V," katanya.
Menurut Disna, sudah lebih dari 15 tahun uang negara dihamburkan PTPN V untuk menutupi perbuatannya yang tidak mampu menyelesaikan tanggung jawab dalam skema kerja sama dengan petani. Sehingga, selain Rp134 miliar, negara juga dirugikan sebesar Rp182.980.600.000 hingga 2023 nanti.
"Saat ini PTPN V sedang sibuk memutarbalikkan fakta dengan membangun opini yang menguntungkan dirinya untuk menutupi dugaan korupsi tersebut," ucap Disna.
Ia mengatakan pihak-pihak terkait kini mulai berupaya menghilangkan barang bukti, seperti mengaburkan alat bukti saksi dengan menghimpun anggota koperasi baru untuk mendukung PTPN, merebut kepemimpinan koperasi yang sedang memperjuangkan haknya, upaya melegalisasi kebun-kebun yang dihilangkannya, mengaburkan utang bank yang dikelola tidak akuntabel sebagai seolah-olah kebaikan PTPN, hingga menghilangkan bukti kerja sama pembangunan kebun.
Tujuan akhir dari seluruh proses kinerja yang buruk ini, lanjut Disna, adalah merampas seluruh tanah seluas lebih dari 2.000 hektare yang dimiliki oleh 997 petani yang tergabung dalam Kopsa M.
Upaya-upaya tersebut, menurutnya, jauh dari tugas BUMN perkebunan yaitu membantu petani meningkatkan kesejahteraannya. Alih-alih justru bernafsu merampas tanah petani. "Menteri BUMN, Erick Thohir dan Presiden Jokowi harus memastikan PTPN V bekerja profesional dan tidak merugikan petani," katanya.
"Untuk mengetahui duduk persoalannya, bisa saja Komisi IV DPR memanggil PTPN V dan juga pihak petani untuk mencari jalan keluar," kata I Made Urip yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan ini saat dihubungi, Senin (28/6/2021).
Berdasarkan pengalaman selama di Komisi IV yang antara lain membidangi perkebunan, pertanian dan kehutanan, tidak sedikit petani yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan. "Solusinya ya harus duduk bersama, bermusyawarah untuk mencari jalan keluar. Jika mentok, maka pihak yang merasa dirugikan bisa menempuh jalur hukum," ujar wakil rakyat dari Bali ini.
Baca juga: Tak Temukan Kerugian Negara, Jaksa Hentikan Kasus KKPA PTPN V
Aparat penegak hukum, apakah Polri atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata Made, jika sudah mendapat laporan, maka harus segera bertindak. "Itu supaya di lapangan tidak terjadi konflik fisik. Selesaikanlah konflik secara hukum," katanya.
Sebelumnya diberitakan, telah terjadi konflik antara PTPN V dan para petani yang tergabung dalam Koperasi Petani Sawit Makmur atau Kopsa M di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Kopsa M bahkan telah melaporkan PTPN V ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, dan KPK terkait dugaan tindak pidana korupsi.
Tim Advokasi Keadilan Agraria SETARA Institute bersama perwakilan petani yang tergabung dalam Kopsa M telah melaporkan sejumlah pejabat PTPN V ke KPK, Selasa (25/5/2021). Dugaan korupsi yang dilaporkan adalah pembiaran lahan 500 hektare yang diserahkan oleh Kopsa M ke negara melalui PTPN V sebagai upaya memenuhi kewajiban dilaksanakannya kerja sama pembangunan kebun.
Baca juga: Ramadhan, PTPN V Bagikan Dana Hibah untuk 25 Kelompok Masyarakat
"Oleh PTPN V, lahan tersebut dibiarkan dan sengaja tidak dibukukan sebagai kekayaan negara, sehingga beralih kepemilikan dan menimbulkan kerugian negara," kata Koordinator Tim Advokasi Keadilan Agraria-Setara Institute, Disna Riantina. Akibat tindakan tersebut, kata Disna, negara dirugikan kurang lebih Rp134 miliar.
Menurutnya, klaim beberapa pihak bahwa PTPN V menjadi "avalist" atau penjamin Kopsa M dalam pengambilan kredit pembangunan kebun adalah menyesatkan, dan bagian dari upaya menutupi dugaan praktik korupsi yang akut di tubuh PTPN V.
Hal yang sebenarnya terjadi, kata Disna, adalah PTPN V gagal membangun kebun, mengelola kredit secara tidak akuntabel dan sarat dengan korupsi, lalu menutupi kredit itu dari uang negara yang dikelola PTPN V. "Di sinilah letak korupsi yang dilakukan PTPN melalui akal-akalan menjadi Bapak Angkat para petani dalam skema Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA)," ungkapnya.
Bukan hanya Kopsa M, lebih dari 10 koperasi menjadi korban buruknya kinerja perusahaan perkebunan milik negara ini. Terbaru, PTPN V baru saja merampas 150 hektare lahan milik masyarakat adat Pantai Raja, Kampar.
"Jadi, dalam kasus yang dilaporkan oleh Setara Institute ke KPK, pangkal soalnya adalah pembangunan kebun gagal, kredit dikelola secara tidak benar dan pembengkakan utang yang disengaja untuk menjerat petani menyerahkan tanah-tanah yang tersisa kepada PTPN V," katanya.
Menurut Disna, sudah lebih dari 15 tahun uang negara dihamburkan PTPN V untuk menutupi perbuatannya yang tidak mampu menyelesaikan tanggung jawab dalam skema kerja sama dengan petani. Sehingga, selain Rp134 miliar, negara juga dirugikan sebesar Rp182.980.600.000 hingga 2023 nanti.
"Saat ini PTPN V sedang sibuk memutarbalikkan fakta dengan membangun opini yang menguntungkan dirinya untuk menutupi dugaan korupsi tersebut," ucap Disna.
Ia mengatakan pihak-pihak terkait kini mulai berupaya menghilangkan barang bukti, seperti mengaburkan alat bukti saksi dengan menghimpun anggota koperasi baru untuk mendukung PTPN, merebut kepemimpinan koperasi yang sedang memperjuangkan haknya, upaya melegalisasi kebun-kebun yang dihilangkannya, mengaburkan utang bank yang dikelola tidak akuntabel sebagai seolah-olah kebaikan PTPN, hingga menghilangkan bukti kerja sama pembangunan kebun.
Tujuan akhir dari seluruh proses kinerja yang buruk ini, lanjut Disna, adalah merampas seluruh tanah seluas lebih dari 2.000 hektare yang dimiliki oleh 997 petani yang tergabung dalam Kopsa M.
Upaya-upaya tersebut, menurutnya, jauh dari tugas BUMN perkebunan yaitu membantu petani meningkatkan kesejahteraannya. Alih-alih justru bernafsu merampas tanah petani. "Menteri BUMN, Erick Thohir dan Presiden Jokowi harus memastikan PTPN V bekerja profesional dan tidak merugikan petani," katanya.
(abd)