Ketua DPD RI Minta Jaksa Kasasi agar Terpidana 402 Kg Sabu Tak Lolos dari Hukuman Mati
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyoroti lolosnya enam terpidana kasus narkotika jenis sabu seberat 402 kilogram dari hukuman mati . LaNyalla mempertanyakan Pengadilan Tinggi Bandung yang meloloskan para terpidana tersebut, mengingat Indonesia darurat narkoba dan bahayanya sudah merusak berbagai sendi kehidupan.
Enam orang terpidana kasus narkotika jenis sabu seberat 402 kilogram itu diungkap oleh Satgas Merah Putih pada Rabu 3 Juni 2020. Barang haram tersebut diselundupkan jaringan internasional dengan dikemas mirip bola. Sebanyak 14 warga Iran, Pakistan dan Indonesia dibekuk.
Sebelumnya mereka mendapat vonis hukuman mati di Pengadilan Negeri Cibadak pada 6 April 2021. Namun, mereka mendapat keringanan hukuman belasan tahun penjara setelah pengajuan banding yang dilakukan oleh kuasa hukum mereka diterima majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.
Meski kecewa dengan putusan hakim, LaNyalla mengaku menghormati proses hukum yang berjalan. Menurutnya, independensi hakim harus dihormati. Namun dia berharap agar dilakukan upaya hukum selanjutnya.
"Masih ada langkah Jaksa untuk melakukan kasasi. Saya kira hal itu perlu diambil. Ini demi keadilan dan melindungi generasi yang lebih besar lagi," ujar LaNyalla, Senin (28/6/2021).
LaNyalla mengatakan, para pelaku kejahatan narkoba seharusnya diberikan hukuman yang berat. Hal ini perlu dilakukan karena sudah menjadi tugas negara untuk melindungi masyarakat dan menyelamatkan anak-anak bangsa dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang.
"Kita sekuat tenaga berjibaku menangkap pengedar narkoba. Diperlukan tenaga yang ekstra juga agar dapat menekan laju peredaran barang yang merusak anak bangsa tersebut. Tetapi dengan mudahnya terpidana narkoba dengan barang bukti dalam jumlah besar terhindar dari hukuman mati. Sangat ironis," kata LaNyalla.
Senator asal Jawa Timur itu menilai, dengan ringannya hukuman pengedar atau bandar narkoba kelas kakap, hal tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan Indonesia dalam penegakan hukum terkait narkoba.
"Bagi saya pribadi, ini tentu cukup mengherankan dan menimbulkan tanda tanya besar. Saya kira perlu ditelusuri keputusan hakim ini. Jangan-jangan ada mafia peradilan yang bermain," tuturnya.
Enam orang terpidana kasus narkotika jenis sabu seberat 402 kilogram itu diungkap oleh Satgas Merah Putih pada Rabu 3 Juni 2020. Barang haram tersebut diselundupkan jaringan internasional dengan dikemas mirip bola. Sebanyak 14 warga Iran, Pakistan dan Indonesia dibekuk.
Sebelumnya mereka mendapat vonis hukuman mati di Pengadilan Negeri Cibadak pada 6 April 2021. Namun, mereka mendapat keringanan hukuman belasan tahun penjara setelah pengajuan banding yang dilakukan oleh kuasa hukum mereka diterima majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.
Meski kecewa dengan putusan hakim, LaNyalla mengaku menghormati proses hukum yang berjalan. Menurutnya, independensi hakim harus dihormati. Namun dia berharap agar dilakukan upaya hukum selanjutnya.
"Masih ada langkah Jaksa untuk melakukan kasasi. Saya kira hal itu perlu diambil. Ini demi keadilan dan melindungi generasi yang lebih besar lagi," ujar LaNyalla, Senin (28/6/2021).
LaNyalla mengatakan, para pelaku kejahatan narkoba seharusnya diberikan hukuman yang berat. Hal ini perlu dilakukan karena sudah menjadi tugas negara untuk melindungi masyarakat dan menyelamatkan anak-anak bangsa dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang.
"Kita sekuat tenaga berjibaku menangkap pengedar narkoba. Diperlukan tenaga yang ekstra juga agar dapat menekan laju peredaran barang yang merusak anak bangsa tersebut. Tetapi dengan mudahnya terpidana narkoba dengan barang bukti dalam jumlah besar terhindar dari hukuman mati. Sangat ironis," kata LaNyalla.
Senator asal Jawa Timur itu menilai, dengan ringannya hukuman pengedar atau bandar narkoba kelas kakap, hal tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan Indonesia dalam penegakan hukum terkait narkoba.
"Bagi saya pribadi, ini tentu cukup mengherankan dan menimbulkan tanda tanya besar. Saya kira perlu ditelusuri keputusan hakim ini. Jangan-jangan ada mafia peradilan yang bermain," tuturnya.